Melody: Yume no Tsubasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

We came together from so far away.
You can never return to the days 
of your childhood laughter.

Manik biru seorang gadis menatap surat di tangannya dengan perasaan takut. Bagaimana tidak takut? Surat dengan amplop putih itu memiliki bercak darah di ujung amplopnya membuat sang gadis berpikir bahwa itu surat ancaman untuknya. Belum lagi nama yang terpampang di surat itu. 

Gavin

Gadis dengan rambut hitam legam tersebut memilih untuk menyimpan suratnya dan kembali beraktifitas hingga melupakan eksistensi surat tersebut.

.

.

.

.

.

.

.

.

Metanoia Melody Collab Project Present

Yume no Tsubasa by Yui Makino feat Miyu Irino

Love Producer Fanfiction

GavinxOC

Disclaimer: Elex Paper Games

Story by: Asakura_Haruka

Happy Reading!

.

.

.

.

.

.

.

.

Asakura membuka matanya perlahan merasakan sinar mentari menembus kaca jendela apartemennya. Ia bangun perlahan, berusaha mengingat mimpinya semalam. Merasakan hasil nihil, ia turun dari ranjangnya untuk segera bersiap bekerja.

Sebelum berangkat, ia sempatkan untuk mengecek ponsel pintarnya. Namun dalam semalam tak ada panggilan ataupun pesan yang masuk ke ponselnya.

Kurasa dia masih sibuk. Pikir Asakura. 

Sebagai seorang guru TK, Asakura cukup profesional dengan pekerjaannya. Baginya, dikelilingi anak-anak balita adalah pelipur lara dan kesepiannya.

"Sensei! Coba lihat ini!" Salah satu anak menggambar sebuah pohon ginko yang tengah menguning efek musim gugur dan dibawahnya ada dua anak kecil yang duduk dengan wajah ceria. Asakura tertegun melihat gambar itu.

"Kenapa kau menggambar itu?" tanya Asakura penasaran.

"Aku pernah melihat Sensei berdiri di bawah pohon ginko dengan seorang laki-laki. Jadi aku ingin menggambarnya!" seru sang anak bangga.

Asakura hanya tersenyum menanggapi ucapan sang anak. Sambil mengelus kepala sang anak, gadis bermanik biru itu berujar,

"Terima kasih banyak, Terry."

Anak yang bernama Terry itu tersenyum makin lebar dan mengangguk puas.

Ketika bel berdering menunjukkan waktu pulang, Asakura segera membantu anak-anak kelasnya untuk bersiap pulang. Ia sendiri bergegas membereskan barang-barangnya sebelum pulang.

Saat keluar dari gedung sekolah, ia melihat Terry tengah duduk di ayunan dengan wajah agak lesu. Asakura bergegas menghampirinya.

"Kamu belum dijemput?" tanya Asakura. Terry hanya menggeleng pelan.

"Ayahku hari ini berjanji untuk menjemputku." ujar Terry.

Jika Asakura tidak salah ingat, ayah Terry juga bekerja di Special Task Force, sama seperti Gavin. Gadis itu tahu karena Gavin pernah bercerita soal hal itu padanya.

Anak itu menunggu.

Sama seperti dirinya.

Asakura tahu seberapa sibuknya orang yang bekerja di STF, jadi dia memahami penantian Terry.

Gadis itu duduk di ayunan di samping Terry sambil tersenyum.

"Kalau begitu, aku akan menemanimu sampai ayahmu datang."

Mendengar hal itu, wajah Terry mencerah. Ia tersenyum lebar pada Asakura.

"Terima kasih, Sensei!"

Senyum polos itu, mau tak mau membuat Asakura ikut tersenyum. Betapa ia menyukai senyuman orang-orang di sekitarnya. Pun ia tahu, orang yang paling disayanginya kini berdiri di garis depan untuk melindungi senyuman dan kedamaian orang-orang di sekitar Asakura.

"Terry!"

Asakura dan Terry menoleh ke arah pintu gerbang sekolah, dimana seorang lelaki tersenyum lebar sambil melambaikan tangan pada mereka.

"Ayah!" Terry langsung berlari ke arah sang ayah dan memeluknya. Ayah Terry pun menyambut pelukan anaknya dengan gembira. Ia membungkuk pelan pada Asakura sebelum pergi bersama wajah bahagia Terry di gendongannya.

Gadis berambut hitam itu hanya tersenyum menyaksikan bayang Terry dan ayahnya yang semakin menjauh. Hingga hembusan angin cukup kencang membuat Asakura melindungi kepalanya dari debu yang terbang bersama angin. Setelah reda, ia kembali membuka matanya dan terkejut melihat seorang pemuda yang tak asing baginya berdiri di hadapannya.

"Gavin!" Seru Asakura tak percaya. Pemuda bernama Gavin itu hanya tersenyum. Ah, betapa lelaki itu merindukan suara sang gadis dan wajah manisnya yang selalu tersenyum padanya di mimpi-mimpinya.

***

I love the world of your smiles,
I want to be by your side... only that.
I forgot how much love hurt.

Gavin mengantar Asakura untuk pulang di apartemennya. Melihat Gavin yang masih mengenakan seragam STF miliknya membuat Asakura berasumsi bahwa lelaki itu baru saja pulang dari misinya.

"Istirahatlah dulu. Aku akan ke tempatmu nanti untuk memasak makan malam untukmu." Ujar Asakura begitu ia turun dari motor Gavin. Gavin membuka helmnya dan berdehem pelan.

"Boleh aku istirahat di apartemenmu? Aku terlalu lelah untuk pulang ke apartemenku."

Asakura tersenyum dan hanya menganggukkan kepalanya.

Mereka berdua terbiasa dalam kondisi seperti ini. Dimana Gavin pulang dari misinya dan menghabiskan waktu bersama Asakura. Karena bagi Gavin, senyuman Asakura lah yang menjadi tujuan hidupnya. Ia akan melakukan apapun untuk melindungi gadis itu.

Asakura sendiri yang menyadari pentingnya eksistensi dirinya untuk Gavin, selalu tersenyum untuk pemuda tersebut.

Kenyataannya, mereka menyembunyikan luka masing-masing demi menjaga perasaan satu sama lain.

"Kau terluka lagi?" Asakura berujar pelan menyadari goresan baru di sekitar lengan Gavin saat pemuda itu memakai kaos tanpa lengan sesudah dari kamar mandi.

Gavin menatap lengannya mengikuti tatapan Asakura.

"Goresan seperti ini tidak bisa kau sebut luka." Jawab Gavin sedikit acuh. Ia mengambil tempat duduk di ruang makan dan menatap hasil masakan Asakura yang membuat perutnya mendesak segera diisi.

Asakura yang sudah menduga jawaban Gavin hanya menghela napas dan ikut duduk di depan Gavin. Menyadari ekspresi khawatir gadisnya, Gavin memegang pipi Asakura.

"Tadaima,"

Asakura tertegun dengan bisikan pelan Gavin namun terdengar bergema di ruang makan apartemen Asakura. Gadis itu memasang senyum hangat.

"Okaerinasai."

Ah, betapa Gavin benar-benar menyukai gadis di depannya ini.

***

Time goes by, 
Even though the stream of time changes us,
I can even remember the things I lost and the dreams I had
when I hold your hands.

Always, I am by your side.

"Kemarikan tanganmu!" Asakura duduk di sofa di samping Gavin yang tengah bersantai setelah makan malam.

"Hm?" Gavin menyodorkan tangan kanannya.

"Bukan yang itu…" Asakura menarik tangan kiri Gavin dan melihat luka barunya. Saat itu, Gavin baru menyadari bahwa di atas meja di depan sofa tempat mereka duduk, ada kotak medical first aid kit yang memang selalu disediakan Asakura.

Dengan penuh perhatian, Asakura mengobati luka Gavin tanpa mengatakan apapun pada sang lelaki.

"Kau tahu, aku bisa melakukanya sendiri…"

"Sudah kau diam saja." Ucap Asakura tanpa menatap Gavin.

"Tapi kupikir kau terlalu khawa…"

"Sudah kubilang diam saja." Asakura mulai cemberut. Membuat Gavin terkekeh pelan dan membiarkan sang gadis melanjutkan pekerjaannya.

Wajah serius dan telaten Asakura menarik Gavin pada ingatan saat mereka masih duduk di bangku SMA.

"Asakura-san, maukah kau… berkencan denganku?" Gavin yang hendak pergi ke kantin tak sengaja mendengar suara seorang lelaki menyebutkan nama sang gadis yang selama beberapa waktu terakhir selalu menyita perhatiannya.

Gavin menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara tersebut. Dan ia menemukan Asakura berdiri berhadapan dengan seorang lelaki yang sepertinya teman sekelasnya.

Gavin segera bergegas terbang ke pohon terdekat dan mengawasi situasi sambil mendengarkan percakapan mereka.

"Aku sudah lama menyukaimu. Jadi, maukah kau berkencan denganku?"

Gavin tak bisa menatap wajah Asakura, tapi dia bisa mendengar respon sang gadis dengan jelas.

"Maaf, kurasa kau salah sangka. Tidak ada hal yang membanggakan dariku. Jadi aku tidak bisa menerima perasaanmu."

Ah ya, Gavin selalu ingat. Bahwa Asakura adalah sosok yang berusaha keras demi orang lain hingga tidak menyadari potensinya sendiri yang terlihat luar biasa di mata orang lain.

Dengan kata lain, Asakura tidak peka dengan eksistensinya yang sudah menolong banyak orang.

Termasuk Gavin.

"Kurasa ini sudah cukup." Suara Asakura kembali menyadarkan Gavin dari lamunan masa lalunya.

Jika dulu Asakura adalah orang yang tidak peka dengan eksistensinya, kini gadis itu tahu bahwa kehidupannya sangat berharga. Apalagi setelah Gavin kembali hadir di kehidupan sang gadis.

Ia mulai sadar, bahwa kehidupannya berharga bagi orang lain.

Terutama Gavin.

Gavin tersenyum menatap hasil kerja Asakura dan mengecup keningnya.

"Terima kasih."

Wajah Asakura menghangat dan dia hanya mengangguk singkat.

***

Because I even want to remember the sad times,
Leave a page in your map
for me to find my way.

Asakura berdiri di depan gerbang taman Loveland City. Di tangan kirinya ada tas kertas berisi makan siang kesukaan Gavin. Hari ini mereka berencana untuk melihat karnaval musim semi bersama.

10 menit

20 menit

30 menit

1 jam

Asakura mengecek ponselnya dan kembali membuka pesan Gavin untuk memastikan dia tidak salah waktu. Setelah memastikan semua benar, perasaan tak nyaman menyelimuti Asakura.

Tak lama kemudian, ponsel gadis itu berdering.

"Halo, Asakura?"

"Gavin! Aku khawatir kau tidak segera datang!"

"Aku tak apa. Tapi tiba-tiba tadi aku mendapat misi di luar kota. Maaf, baru memberitahumu sekarang. Aku janji sepulang dari misi, aku akan mengajakmu jalan-jalan ke tempat yang kau sukai."

Ya, selalu saja begini. Asakura selalu ditinggal demi misi. Tapi gadis itu juga tahu, itulah panggilan jiwa Gavin. Gavin bagaikan merpati yang bebas di angkasa dan Asakura adalah sarang dari merpati tersebut. Jadi gadis itu yakin, Gavin akan kembali padanya. 

Sambil mengeratkan pegangannya pada tas kertas yang dia bawa, Asakura hanya menjawab,

"Pastikan kau pulang tanpa luka." Ia bisa mendengar suara kekehan Gavin.

"Iya. Tenang saja."

Setelah menutup teleponnya, Asakura menatap makan siang Gavin yang dia bawa.

Ia mengamati sekelilingnya dan menemukan sebuah pohon cukup besar tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan lihai, gadis itu memanjat pohon tersebut dan meletakkan tas berisi makan siang Gavin di ranting tertinggi pohon itu.

Selanjutnya, ia memetik sehelai daun dari pohon tersebut dan meniupnya pelan. Sebelum akhirnya memasukkan daun itu ke dalam tas kertas yang berisi makan siang Gavin.

Setelah itu, Asakura bergegas pulang.

Malam itu, Loveland City memiliki suhu cukup dingin walau musim semi sudah datang.

Gavin berdiri di beranda kamar Asakura sambil membawa kotak makan siang yang ditinggalkan gadis itu di pohon tempat mereka seharusnya bertemu. 

Pemuda itu membuka pintu berandanya perlahan dan masuk kamar Asakura yang agak remang-remang efek cahaya bulan malam ini.

Ia bisa melihat sang gadis pujaan hatinya tertidur sambil memegangi bracelet ginko miliknya. Walau samar, Gavin juga melihat kilauan bekas air mata di sudut mata Asakura.

Gavin berjalan mendekati Asakura, mengelus rambut hitam sang gadis sebelum akhirnya mengecup kepalanya pelan.

"Maaf, sudah membuatmu selalu khawatir." Bisik Gavin pelan.

***

That day, you believed in
the wind that blows from the future
Tomorrow will dance even higher for us...

Asakura terbangun perlahan merasakan sinar mentari menyerang wajahnya. Bracelet ginko masih tergenggam di tangannya. Matanya masih terasa agak berat, mungkin karena efek menangis semalam.

Ya, semalam gadis itu sepulang dari taman entah kenapa ia menenggelamkan diri di tempat tidurnya dan menangis.

Asakura tahu, ia tidak boleh selemah ini. Ini bukan kali pertama Gavin pergi tiba-tiba saat mereka seharusnya menghabiskan waktu bersama.

Asakura sudah terbiasa. Tapi tetap saja, kekhawatirannya terhadap Gavin tak bisa ia sembunyikan.

Karena itu, gadis itu bertekad untuk tetap tersenyum di depan orang lain, terutama di depan Gavin. Pemuda itu rela menggantungkan nyawanya demi kota yang dia cintai. Agar gadis yang dia cintai sepenuh hati bisa tersenyum bebas dan merasa aman di dalamnya.

Asakura merasa dia berkhianat jika terlihat menangis di depan Gavin. Itulah alasan dia selalu menangis di malam hari saat Gavin pergi. Dengan harapan,sang polisi tidak mengetahui kelemahannya.

Namun Gavin juga tidak bodoh. Beberapa kali ia memergoki Asakura tertidur, memegang ginkgo bracelet miliknya dengan bekas air mata di sudut wajahnya.

"Hm?" Asakura heran melihat pintu berandanya terbuka sedikit.

Perlahan ia turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah beranda. Wajahnya langsung disambut angin sejuk pagi hari dengan sinar mentari yang perlahan menghangatkan tubuhnya.

Mata abu-abunya menatap pot kecil di pojok beranda. Disana ada pohon ginkgo kecil yang sengaja Asakura buat jika dia merindukan Gavin.

Ia masih ingat, beberapa daun ginko yang menguning ia ambil dari pohon kecil itu dan ia buat sebagai omamori untuk Gavin. Selama Asakura hidup, daun itu akan tetap menguning dan tidak akan pernah layu.

Ah ya, pada saat seperti itu, Asakura bersyukur hidup sebagai evolver yang bisa mengendalikan tumbuhan. Baik dia maupun Gavin, menyukai warna ginko yang menguning.

Asakura berjongkok di depan pot ginko dan dengan evolnya, ia merapikan ranting-ranting kecil pohon ginkgo tersebut hingga terlihat lebih rapi.

Saat itu angin kembali berhembus, membuat beberapa daun dari pohon ginkgo kecil milik Asakura berterbangan. Tatapan Asakura mengikuti arah terbang beberapa daun tersebut hingga salah satu daunnya mendarat di tangan lelaki yang berdiri di belakangnya.

"Gavin!"

Gavin hanya tersenyum dan mengangguk merespon panggilan Asakura.

***

Time goes by,
Even though time passes, there are things that never change.
Because I can't reach it, because I want to find it,
I go to search for the wings of dreams,
Stay by my side, forever…

"Maaf, kemarin aku tiba-tiba membatalkan acara kita." Ujar Gavin saat mereka sarapan bersama di ruang makan Asakura.

Asakura hanya tersenyum dan menggigit roti panggang kejunya.

"Kau tidak perlu minta maaf. Aku sudah terbiasa kok. Lagipula, itu pasti penting. Hingga Chief of Commander sendiri yang turun tangan." Goda Asakura sambil terkikik geli.

Tapi justru hal itu membuat Gavin semakin merasa bersalah.

Kenapa gadis itu rela mempercayakan kebahagiannya pada lelaki seperti Gavin? Gavin mengakui bahwa ia memiliki banyak kekurangan. Tapi karena itu juga dia berusaha menjadi yang terbaik agar bisa berada di samping Asakura selalu.

"Gavin, apapun yang terjadi, aku selalu percaya dan mendukungmu." Seolah mengetahui pikiran Gavin, Asakura berujar pelan. Membuat pemuda bermanik madu di depannya menatap Asakura intens.

"Karena aku tahu, kau adalah orang memiliki hati tulus untuk orang lain."

Detik berikutnya, Asakura sudah tenggelam di pelukan Gavin. Gadis itu sedikit tertegun karena Gavin tiba-tiba memeluknya.

"Terima kasih." Bisik Gavin. Asakura hanya tersenyum dan membalas pelukan Gavin.

I'll stay by your side






(Fin)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro