23. Walk It, Talk It

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bungalow yang disewa oleh Sky berada di antara rimbunnya hutan bakau dan tepat berada di atas pantai pasang surut. Bangunan ini dibangun dengan kayu kelapa. Aku menyusuri serat kayu dengan jemari. Kami baru sampai hampir tengah malam. Mungkin mereka semua kelelahan.

Aku terbangun tepat jam setengah enam pagi. Jam biologisku sudah terbiasa bangun jam segitu. Kuputuskan berjalan-jalan ketika tidak bisa tidur lagi. Oceana masih tertidur dengan kedua tangan terangkat. Pose ini tentu mengundangku untuk berbuat iseng. Setelah entah berapa foto kuambil, kuputuskan untuk berjalan-jalan.

Udara laut pagi hari yang segar langsung menerpa. Kuhirup udara segar itu sambil memandang laut di kejauhan. Terdengar derit pintu terbuka. Sosok jangkung dengan kaus dan celana pendek selutut berwarna hitam, tersenyum saat melangkah mendekatiku. Dia menguap dan merenggangkan punggung.

"Kenapa kamu udah bangun sepagi ini?" tanya Gana.

"Mungkin karena terbiasa bangun pagi," kataku sambil tertawa.

"Kupikir karena mau memotret sunrise."

"Terlambat untuk sunrise. Belakangan matahari lebih cepat terbit."

Sejenak kami terdiam dan menatap langit. Suara burung-burung laut terdengar merdu, menyatu dengan alam. Gana mengajakku berjalan ke arah jembatan kayu yang menghubungkan antar bungalow

"Cloud ...." Suara Gana terdengar ragu-ragu. Kutatap wajahnya dan menunggu ucapannya.

"Kalau kamu butuh cerita, anytime kamu bisa cari saya. Anggap saja sebagai teman." Aku tersenyum, menghargai perhatian laki-laki jangkung yang kini duduk di tepi jembatan dengan kaki berayun-ayun.

Gana menatap kejauhan seperti mengingat sesuatu. Aku tertegun ketika melihat wajahnya yang tampak sedih. Sepertinya, dia menyimpan banyak rahasia juga, seperti halnya diriku.

"Waktu Ayah dan Ibu meninggal, Kakak menyalahkanku. Dia menganggapku sebagai anak sial." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Laki-laki di sampingku menoleh, sedikit terkejut namun tidak berkata apa-apa.

"Aku keluar rumah tepat saat masuk kuliah, bekerja sambilan di sana sini supaya bisa membayar kos dan kuliah dengan biaya sendiri." Hari-hari penuh kerja keras mengalir deras dalam memori. Itu sebabnya aku tidak bisa menikmati masa-masa remaja dan kuliah seperti halnya orang lain.

Jangankan mencari pacar, setiap hari aku harus berpikir bagaimana caranya agar bisa membayar kos tepat waktu dan bisa makan setidaknya sehari sekali. Bagi orang yang tidak memiliki banyak dana, tidak boleh sakit adalah peraturan mutlak.

Sebuah tangan besar dan berat tiba-tiba menyentuh puncak kepalaku. Kutolehkan kepala dan menatap mata cokelat yang menatap sambil tersenyum. Tangannya terus mengelus kepalaku.

"Kamu anak baik dan kuat, Claudia. Setiap orang memang punya tantangannya sendiri dalam menjalani hidup. Mau menjalani dengan baik atau tidak adalah pilihan dan kamu sudah memilih untuk menjalaninya sebaik mungkin." Kupalingkan wajah, menyembunyikan kabut dalam mata.

"Saya besar dengan mengemban nama keluarga. Semua mengharapkan saya menjadi penerus bisnis keluarga. Tapi saya nggak mau. Sudah cukup saya menuruti permintaan mereka dengan bersekolah di Inggris dengan jurusan yang tidak saya inginkan. Terkadang, saya berharap bisa hidup dengan sederhana. Tidak memusingkan hal-hal yang menekan. Hanya mengerjakan apa yang saya sukai." Giliran aku yang terkejut. Ternyata orang seperti Gana pun punya banyak masalah.

"Apa yang kamu sukai?"

"Membangun lapangan pekerjaan bagi yang lain. Dalam hal ini hanya Sky yang mengerti. Tentu saja, karena dia juga memiliki impian yang sama." Gana tertawa kecil. Tampaknya dia sangat menyayangi Sky.

Kurasa Gana memahami apa arti tatapanku karena dia berkata, "Sky adalah sepupu terdekat saya sejak kecil. Kami besar bersama. Bahkan kamar saya boleh dibilang adalah kamar dia juga saking seringnya dia menginap."

Kami berjalan kembali menuju bungalow sambil mengobrol. Gana tidaklah sekaku seperti saat di kantor. Mungkin karena aku membuka diri untuk bercerita padanya jadi dia menganggapku sebagai teman.

"HEI!"

"Astaga! Ya, Tuhan!" Aku yang kaget, reflek mencengkram pergelangan tangan Gana. Begitu sadar, sambil menggumam minta maaf, aku melepaskan cengkraman itu. Sementara laki-laki di sampingku seperti tidak terganggu. Kami menolehkan kepala memandang arah suara yang mengagetkan itu.

*
Photo credit from Beejay Bakau Resort.

Tebak siapa yang manggil mereka?
Yang bisa tebak, aku kasih jutaan awan di langit. 😆😆☁️☁️☁️☁️🌥🌥🌥⛅⛅⛅⛅

Love love
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro