35. Love Somebody

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan harinya, setelah Oceana berangkat kerja, Gana menjemputku. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kamu susah tidur tadi malam?" tanya laki-laki di sebelahku, yang anehnya terlihat cukup gelisah.

"Sedikit," jawabku sambil lalu.

Tadi malam sepertinya aku tertidur di depan televisi. Tidak nyenyak, pastinya karena aku takut. Namun di antara rasa itu, ada sesuatu yang membuatku nyaman. Seolah-olah Ibu memelukku setiap saat aku merasa takut atau sedih lalu mengecup dahiku dengan lembut.

Gana kembali melirikku sekilas ketika mobil yang dikendarainya mengarah ke sebuah rumah di daerah Jakarta Utara. Kami berhenti di sebuah rumah dengan nuansa putih dan cokelat. Taman yang indah dihiasi bunga Begonia beraneka warna. Mandevilla yang berwarna cerah juga terlihat merayap di tembok pembatas rumah. Secara keseluruhan, rumah ini sangat indah.

"Sakhi tinggal di sini sejak beberapa tahun lalu. Sebenarnya dia udah nggak praktek lagi, tapi dia senang bisa dapat teman baru katanya. Kamu bisa cerita apa saja ke dia." Gana, yang hari ini memakai baju lengan panjang berwarna hitam, melepas kacamata hitamnya lalu memandangku.

"Kamu siap?" Dia bertanya.

"Kenapa kamu sebaik ini?" Pertanyaan yang sejak kemarin mengganggu pikiranku, melompat keluar tanpa bisa tertahan. Bagaimana bisa seseorang sebaik ini? Meminjamkan rumahnya, mengajak ke psikolog, mendengarkan masa laluku dan bahkan tetap bersikap baik saat aku menangis. Ini sangat tidak masuk akal.

Gana tidak langsung menjawab pertanyaanku. Sebagai gantinya, dia membuka pintu mobil dan menungguku keluar sambil mengulurkan tangan untuk membantu. Kami berjalan menuju rumah Sakhi dan mengetuk pintunya.

"Anggap saja, sebagai seseorang yang menyayangimu dan bersedia melakukan apapun asalkan kamu bahagia." Ucapan itu sangat pelan sampai aku tidak yakin Gana yang bersuara. Kutolehkan kepala dan menatap mata cokelat indahnya lalu tersentak kaget. Dia memandangku dengan pandangan yang bercampur antara tekad dan gelisah.

Seorang perempuan yang membukakan pintu berdehem, membuatku memalingkan muka dari Gana dengan wajah memerah. Hampir saja aku melompat ke belakang. Bukan karena takut, melainkan karena takjub. Di hadapanku berdiri perempuan serupa boneka jepang yang memiliki rambut gelap panjang dengan mata almond yang juga berwarna gelap. Dia cantik sekali.

"Hai, Sakhi!" Gana merangkum perempuan itu dalam pelukan yang dibalas dengan gerutuan. Aku tertawa kecil melihat keakraban mereka.

"Ini pastilah Claudia? Hai, Claudia! Gana sudah bercerita tentangmu tadi malam. Tidak kuduga, ternyata orangnya lebih cantik dari apa yang dideskripsikan oleh Gana."

"Jangan bicara yang tidak penting, Sakhi." Gana melangkah masuk begitu saja seolah dia bukan tamu.

"Steve ada kan? Gue ngobrol sama Steve dulu sementara lo bisa berkenalan dengan Cloud." Laki-laki itu berkata lagi sambil terus berjalan ke arah taman belakang.

Sakhi menatapku dengan pandangan tenang. "Gana adalah sahabatku dan Steve. Oh, Steve suamiku. Nanti saja kamu berkenalan dengannya. Kalau mereka sudah mengobrol, dipastikan akan sangat lama. Mulai dari bisnis sampai curhat segala macam."

Perempuan cantik ini membimbingku untuk masuk ke sebuah ruangan yang nyaman dengan nuansa cokelat. Dia menawariku minuman hangat lalu memintaku duduk dengan santai. Permintaan yang tidak sulit. Kami mengobrol banyak hal. Sakhi teman bicara yang sangat menyenangkan. Tidak terasa, aku banyak tertawa bersama Sakhi sampai akhirnya dia menanyakan hal yang membebani hatiku.

"Coba ceritakan tentang keluargamu, Cloud. Bagaimana rupa Ayah dan Ibumu? Ibumu pastilah cantik, melihat wajahmu juga cantik," kata Sakhi sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum pahit. Ibu dalam ingatanku memang sangat cantik. Tubuhnya kecil dan ramping dengan rambut bergelombang. Senyumnya selalu mengembang indah ketika menyambutku sepulang sekolah.

Ayah memiliki fitur wajah tegas yang tampan dengan tubuh tinggi. Bagiku, Ayah adalah matahari yang bersinar. Sewaktu kecil, aku suka sekali jika Ayah menggendong lalu mengangkatku berputar.

Tiba-tiba saja aku begitu merindukan mereka berdua. Jika mereka masih hidup, akankah Kak Arthree tidak berubah menjadi aneh seperti sekarang? Kukerjapkan mata, mengusir kabut yang hendak datang tanpa aba-aba. Sakhi mengelus punggung tanganku dengan lembut.

"Nanti kita cerita-cerita lagi ya. Sekarang, mau bantu aku siapin makan siang?" Kuanggukkan kepala dan mengikuti langkah Sakhi menuju dapur.

Terdengar suara tawa dari arah dapur. Kakiku berhenti melangkah seketika. Suara itu seakan menggema dalam hati dan menimbulkan kenangan manis. Kemudian kulihat orang yang sedang tertawa itu menoleh menatapku.

"Kamu kenapa, Cloud?" tanya Gana. Mungkin dia bingung melihatku seperti ini. Tidak mungkin kubilang kalau dia kukira Sky, kan? Lagipula laki-laki itu pasti sudah melupakanku sekarang. Kembali rasa pahit yang menyekat kerongkongan terasa menyiksa.

Setelah sekian menit yang terasa menyiksa akhirnya aku bisa bergumam pelan, "Nggak apa-apa, kok." Aku berjalan kembali, mencoba tersenyum.

*
Wadaw ... Gana ngegas nih kasih kode-kodenya. 😁😁😍😍😍

Untuk jutaan awan di langit, jangan lupa klik bintang di kiri bawah, comment dan follow ayas ya. ☁️☁️☁️🌥🌥🌥⛅⛅⛅⛅⛅

Love love

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro