44. Fragment of Fear

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah itu terdengar berdentam-dentam di lantai berwarna putih. Kupercepat langkah di lorong itu lalu mulai berlari. Kaki di belakangku pun ikut berlari. Sambil berlari, kulirik sesosok orang di belakang yang semakin mendekati.

Tiba-tiba orang itu mencengkram pergelangan tanganku sampai langkah kami terhenti. Aku mencoba melepaskan cengkraman itu, namun dia sudah semakin dekat dan menyeringai. Wajah orang yang tertutup topi itu tiba-tiba terlihat jelas saat dia membukanya. Ada bekas luka panjang di salah pipinya. Dia menyeringai menyeramkan lalu mulai mencekik leherku.

"Claudia! Claudia!" Mataku terbuka dengan susah payah. Air mata yang mengalir, membasahi pipi dan badanku gemetar hebat.

"Dia butuh penenang, Dok!" Sebuah suara terdengar.

"Tidak! Jangan! Biarkan saya menenangkannya, Dok."

Aku menoleh, tidak fokus dengan penglihatan dan terus gemetar. Seseorang memelukku, rasanya aku mengenal aroma itu. Perlahan isakanku mereda. Setelah tenang, barulah kusadari siapa yang memeluk dan terus menggumamkan namaku lirih.

"S-sky?"

"Ya?"

"Ke-kenapa kamu di sini?" Laki-laki itu terlihat muram. Wajahnya terlihat tirus dengan kantung mata kehitaman dan rambut berantakan. Wajahnya sedikit berkerut saat mencoba menjawab pertanyaanku.

"Aku dan Gana bergantian menjagamu, Cloud. Kalau kamu menanyakan Gana, dia sedang berganti pakaian."

Sky mengulurkan tangannya lalu mulai menyisir rambutku dengan jemari. Tiba-tiba aku terkesiap kaget dan menjauhkan kepalaku lalu menutup muka. Sejenak kami terdiam dan rasa yang canggung menyeruak.

"Ja-jangan lihat, Sky! Mukaku berantakan!" seruku.

Dia menghela napas berat. Kenapa tingkah lakunya mirip sekali dengan Gana? Hela-hela napas terus kaya hidup mereka itu super duper berat banget.

"Claudia, aku nggak peduli muka kamu gimana. Buat aku, yang penting kamu ada, hidup dan bernapas. Lihat aku, Cloud!" Perlahan dia mengambil kedua jemariku.

"Aku harus bicara sama kamu. Ini memang bukan waktu yang pas, tapi aku sudah tidak tahan lagi." Cukuplah, sudah! Sky pasti akan pergi meninggalkanku.

"Aku minta maaf. Untuk semuanya." Ucapan Sky membuatku terbelalak. Hal yang sulit dilihat mengingat mataku sangat bengkak.

"A-aku ngerti, Sky. Pasti kamu mau cepat-cepat pergi." Isakan pertama mulai lolos.

"Pergi kemana?" tanyanya bingung melihatku menangis.

"Pergi meninggalkanku,kan? Itu maksudnya, kan?" Kali ini terdengar tawa lirih. Kupelototi laki-laki yang malah tertawa. Ini tuh maksudnya tertawa di atas penderitaan orang lain?

"Aku nggak pernah ninggalin kamu, Cloud. Kamu yang kabur dari aku tanpa mau mendengar penjelasan." Kembali dia menghela napas.

"Aku minta maaf sudah menyakiti kamu di hari itu. Sungguh, saat itu Winda memang akan memeluk tapi aku menahannya. Itu sebabnya kedua tanganku ada di bahunya."

Kutatap mata muram, kerlip yang tadi muncul saat tertawa kecil, hilang lenyap. Entah mengapa, melihatnya saat ini membuat hatiku nyeri.

"Kenapa kamu nggak ngomong?" tanyaku.

"I tried, remember? Aku coba nelepon kamu, nggak diangkat. Lalu Gana yang lagi marah-marah, kirim WhatsApp kalau kamu ketakutan gara-gara ... kamu-tahu-siapa. Sepupuku itu bilang kalau mau bawa kamu ke rumahnya." Kali ini suaranya terdengar pahit.

Hari itu aku mendengar penjelasan Sky tentang semuanya. Bagaimana dia mengusulkan agar Gana tinggal di apartemennya yang tepat di seberang apartemen sepupunya itu, juga tentang dia yang tinggal sepanjang hari di apartemen untuk menjagaku selama Gana pergi.

"Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya?" tanyaku heran.

"Coba aja kamu ngomong kalau Gana lagi ngamuk. Dia nyaris bikin aku jadi sate. Gila! Dia bilang aku melanggar kesepakatan. Selain itu dia juga bilang kamu ada masalah berat. Aku mencoba memberimu ruang supaya tidak semakin terbebani. Entah kenapa, itu juga membuatku nyaris gila."

Kutatap wajah tampan yang diam-diam selalu kurindukan. Dia tersenyum lalu sorot matanya menjadi tajam saat mengelus pipiku perlahan, "Aku tidak akan memaafkan orang yang telah membuatmu seperti ini, Cloud."

Kali ini kupejamkan mata, menikmati sentuhan di atas lebam-lebam mengerikan. Mungkin wajahku seharusnya memerah karena malu, tapi lebam membuatnya tersamar. Tiba-tiba pintu kamar rawatku terbuka dan aku yang kaget, terlonjak sambil berteriak dan mengangkat tangan. Gerakan tiba-tiba membuat infus yang ada di tangan kiriku nyaris tercabut.

Aku meringis kesakitan sementara Sky memarahi Gana yang baru saja masuk. Pemandangan itu terasa sangat normal di tengah hidupku yang gila beberapa bulan belakangan. Lalu aku mulai menangis dan tertawa bersamaan.

*

Pagi ...
Sky sudah datang yaaa.
Kira-kira Claudia bakal milih siapa? 🤔🤔

Jangan lupa vote untuk jutaan awan di langit. ☁️☁️☁️☁️☁️☁️🌧🌧🌧

Love
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro