48. Love of My Life

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gana tersenyum tenang, lalu melanjutkan ucapannya. "Tenang saja, Cloud. Saya tahu saat ini kamu lebih menyukai si bodoh itu." Gana menunjuk sepupunya yang sedang tertidur dengan dagu.

"Kamu tahu?" bisikku heran.

"Sampai kemarin lusa, saya merasa bisa memenangkan hatimu. Saya ada saat si bodoh nggak ada. Yah, dia ada sih tapi nggak berani muncul di hadapanmu. Dia takut melukaimu lagi." Gana tertawa kecil lagi, kali ini dengan nada pahit.

"Kamu memang mencintai Sky. Dalam keadaan sadar atau tidak. Barusan kamu manggil-manggil dia saat tidur. Tapi saya nggak akan nyerah loh." Wajahku memerah mendengar ucapannya. Crap! Ketahuan mengigau itu memalukan jenderal! Hanya saja lebih malu lagi mendengarnya tidak akan menyerah.

"Lebih bagus kalau lo sekarang nyerah." Aku langsung terbatuk-batuk ketika mendengar suara Sky. Bibirku yang robek mengerang dalam rasa sakit ketika terpaksa bergerak. Pipiku juga berkedut dan mengirimkan sinyal luar biasa nyeri yang langsung direspon oleh otak.

"Lo pura-pura tidur?" Gana berdiri ketika Sky berjalan menghampiri.

"Tadinya gue tidur. Suara Cloud jerit-jerit bangunin gue. Lo tau kan kalau gue nyaris nggak pernah tidur nyenyak tiga minggu ini." Sky menguap lalu berjalan ke sampingku.

"Kenapa juga kamu bisa tersedak sih? Minum juga nggak." Dia mengelus punggungku perlahan sampai batukku mereda.

"Oke! Gue keluar!" Aku kaget lagi ketika Gana mendekatiku sebelum melangkah keluar dan mencondongkan dirinya ke arahku lalu berkata, "Kalau dia nyakitin kamu lagi, kamu tahu harus ke siapa?"

"Gue dengar, loh. Tadi lo juga bilang gue bodoh. Gue catat itu!" seru Sky sementara Gana hanya melambaikan tangan tanpa menoleh dan keluar dari kamar.

"Kenapa dia?" tanyaku bingung.

Sky tertawa, kali ini lepas dan tanpa beban. Garis matanya tertarik ke atas dan sudut bibirnya melengkung sempurna. Tanpa sadar, tanganku terulur dan menyapu wajah indah itu. Dia terdiam, tangannya menangkup tanganku dan menahan di pipinya lalu memejamkan mata.

"Terima kasih, Cloud! Untuk mempercayaiku. Untuk hidup dan tetap ada."

Aku selalu percaya laki-laki itu sekokoh karang. Tidak pernah sekalipun dalam hidup aku melihat seorang laki-laki menangis. Tapi kini, orang di hadapanku meneteskan air mata. Dia memelukku dengan lembut karena wajahku masih sangat sakit namun hatiku mencair dalam kehangatan.

"Tapi apa ya maksud ucapan Gana tadi?" tanyaku dalam hati.

Setelah itu, tiga hari kemudian aku pulang ke rumah Sakhi. Masih ada waktu-waktu ketika aku mendadak ketakutan seperti saat mendengar dering bel pintu rumah atau suara ketukan. Aku juga takut dengan cahaya berlebih atau suara ramai. Itu sebabnya Sky dan Gana melarang orang-orang menjenguk sampai aku siap.

Terkadang Sky pulang larut malam atau tidur di sofa ruang kerja Steve agar bisa menungguiku sampai tertidur. Dia sepertinya jadi memiliki pendengaran setajam Edward Cullen. Sky selalu sigap ketika aku terbangun dengan air mata atau pekik ketakutan akibat mimpi buruk.

Pilihan menempatkanku di rumah Sakhi adalah hal tepat. Perempuan cantik itu mendampingiku terus menerus, memastikan aku bisa hidup nyaman dan aman dengan menghilangkan trauma.

"Jadi ... itulah yang terjadi sebelum aku berakhir di rumah Sakhi untuk sementara." Oceana yang mendengarkan ceritaku hanya mengganggukkan kepala. Dia sibuk menyusut air matanya saat aku bercerita. Dia tidak menyela atau menanggapi, hanya menangis dan terisak. Aku baru tahu sisi lain sahabatku yang luar biasa iseng.

"Sekarang lo udah baikan, Cloud?" tanya Oceana saat ceritaku selesai. Dia mengambil lagi selembar tisu dan langsung membuang ingus.

"Mendingan sih. Oh iya, kemarin Nadine main ke sini."

"Hah? Sahabat si angin liar yang suka peluk-peluk cowok orang itu?" Kupukul ringan bahunya sambil tertawa karena Oceana melambai-lambaikan tisu beringus itu di depan mukaku saat bicara.

*

Pagiiii ...
Happy Monday!

Jangan lupa bahagia hari ini untuk jutaan awan di langit. ☁️☁️☁️☁️☁️☁️🌥🌥🌥🌥

Love
Ayaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro