56. That Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin, pada akhirnya tidak akan ada lagi sakit hati dan air mata di wajah kami semua. Aku akan menantikan masa-masa itu datang seperti ucapan Sakhi. Hanya waktu yang akan membawa kami semua dalam tawa kenangan masa lalu.

"Kamu tahu kenapa latahku bisa berkurang?" Sekarang kami mulai serius.

"Perkiraanku, berdasarkan terapi yang kita lakukan, kamu latah karena ada sesuatu hal yang ingin dikejar. Jangan tersinggung ya, Cloud. Kurasa, dulu kamu butuh perhatian dan cinta. Suatu hal lumrah yang diinginkan setiap manusia. Latah juga bisa terjadi karena adanya kecemasan dan perasaan tertekan yang coba kamu sembunyikan. Itu sebabnya latahmu terlihat spontan dan tidak mengeluarkan kata kasar atau bahasa yang jorok." Sakhi menggunakan kedua jari telunjuk dan tengah saat membuat tanda kutip dengan jemarinya saat bicara kata jorok.

"Sekarang, kamu sudah lebih baik. Kamu merasa disayangi dan itu semua menimbulkan perasaan aman serta nyaman. Itu sebabnya latahmu semakin berkurang dan mudah-mudahan pada akhirnya bisa lenyap. Tentu, kamu tetap harus percaya pada diri sendiri kalau semua orang menyayangimu, Cloud." Ucapannya panjang lebar, namun mengena di hati.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa latahku adalah culture bound syndrome yang disebabkan oleh keinginan untuk dicintai dan perwujudan dari rasa cemas juga tertekan. Sebuah harapan timbul di hati.

Jika kini aku sudah merasa aman dan nyaman, berarti aku akan siap memaafkan kakak. Teringat lagi kata-kata Ayah dan Ibu saat terakhir kali kami berjumpa dalam mimpi saat kondisiku menurun setelah babak belur.

"Maafkan kami, maafkan Arthree, Claudia. Kemudian kamu akan merasakan hidupmu menjadi tenang dan damai."

Kalimat itu terdengar seperti angin sejuk di tengah teriknya matahari. Air mata mengalir tidak tertahankan. Aku berjuang keras untuk sembuh dari latah. Awalnya karena salah paham saat Sky berkata dia tidak suka perempuan latah. Teringat betapa banyaknya sariawan yang kudapat ketika berjuang menahan latah dengan mengigit pipi bagian dalam. Kemudian teringat masa waktu latahku dijadikan hiburan pelepas lelah oleh teman-teman sekantor. Bagaimana tawa mereka diam-diam kunikmati. Ternyata itu adalah bentuk keinginan diperhatikan oleh sekitar.

Kupeluk Sakhi dengan hangat. Berterima kasih sekali lagi atas kesabarannya mendampingiku sekian lama ini. Aku berhutang banyak hal padanya dan Steve. Mereka yang telah menerima dengan tangan terbuka saat aku terpuruk.

"Auntieeee!" Aku tertawa. Lupa dengan keberadaan makhluk kecil lucu ini. Caramel berlari secepat kakinya bisa, langsung melompat dalam pelukanku.

"Jangan nangis! Ada aku! Apa lukanya sakit lagi? Apa ada yang lebam lagi? Sini, Amel peluk biar semua sakitnya hilang!" Caramel memelukku erat sampai aku tidak bisa bernapas. Sakhi juga turut melingkarkan lengannya memeluk kami berdua. Bagaikan trio yang sedang bermain sandiwara, kami berpelukan sambil tertawa sekaligus menangis. Aku bersyukur Gana membawaku pada mereka.

Hari persidangan tiba tidak lama setelah kunjunganku ke rumah Sakhi. Rok lipit berwarna hitam selutut sudah lembab dengan keringat dingin dari telapak tanganku. Semua orang memandang ketika aku memasuki ruangan itu dengan gugup. Kemudian orang yang menyebabkan trauma itu keluar. Tanganku mulai bergetar tidak terkendali. Seperti masukan dari Sakhi, aku mencoba menenangkan diri dengan bernapas teratur.

Persidangan dimulai dan seseorang memanggil namaku. Aku dipersilakan maju seorang diri untuk duduk di kursi saksi. Sky dan Gana tersenyum menyemangatiku dari jauh ketika aku duduk dengan gugup. Mulanya semua lancar, sampai aku melihat pandangan laki-laki itu. Dia menyunggingkan senyum miring lalu menjulurkan lidah seolah sedang menjilati udara. Dadaku menjadi sesak akan rasa takut dan lututku melemas.

Apa yang terjadi pada hari mengerikan beberapa minggu yang lalu, seakan berputar dalam memoriku. Kali ini tidak ada seorang pun yang bisa menenangkanku. Suara dalam ruangan menjadi samar-samar dan semua terlihat berputar-putar. Keringat dingin mulai meluncur di punggung dan perutku bergolak dengan rasa mual. Detik berikutnya, aku sudah tidak bisa mengingat apa-apa.

*
Padahal Gana udah bilang kalau dia belum siap. Nggak percaya sih ya? 😢😢

Jangan lupa voment untuk jutaan awan di langit. 🌧🌧🌧🌧🌧

Love
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro