7. Hari Bersamanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa sih lo sepet banget kaya pisang yang masih muda tapi udah dipetik?" Cerocos Oceana begitu kakiku melangkah masuk ke ruangan content. Anak ini pasti habis bergosip ria dengan Mas Prama, atasanku yang baru saja masuk setelah cuti.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku meletakkan sling bag, duduk lalu menyalakan laptop. Oceana melirik Mas Prama sejenak lalu menarik bangku dan duduk di sampingku.

"Lo nggak kerja?" tanyaku tanpa mengalihkan pandang dari laptop.

"Gimana bisa kerja kalau sahabat gue lemah letih lesu lunglai loading lama? Gue kan khawatir kalau kaya gini lo bisa lemah syahwat." Sekarang aku memelototi Oceana yang menatap balik tanpa dosa.

"Apa hubungannya gue lagi lemes sama lemah syahwat?" Manusia laut itu terbahak. Mas Prama menyamarkan tawanya dengan batuk kecil.

"Nggak ada, sih. Emang harus ada hubungan, Cloud? Hubungan kekeluargaan atau kebatinan?" Kesal, aku berdiri. Oceana yang menyadari kutukan maut hampir datang padanya, langsung kabur sambil menyambar oleh-oleh dari Mas Prama.

"Temen kamu itu mungkin kecemplung masuk ke dalam kuali ramuan Panoramix kali, ya?" Mau tidak mau, tawaku langsung tersembur.

"Kalau iya dia kecemplung, berarti sekuat Obelix, Mas. Dia mah cuma kuat ngoceh. Mungkin karena kebanyakan ngemil beling." Kali ini Mas Prama yang terbahak-bahak.

Suasana kerja di tempatku bekerja ini tidak terlampau formal. Kami lebih ditekankan pada target dan hasil pencapaian. Lagipula, untuk memancing kreativitas dibutuhkan suasana yang mendukung. Itulah sebabnya ada ruang menulis yang disekat-sekat dan berbentuk menarik, juga ada ruang games yang biasanya jadi favorit kami dalam mengolah ide.

"Liburan gimana, Mas?" tanyaku sambil mengambil sebatang cokelat yang diberikan Mas Prama.

"Menyenangkan. Kamu ambil liburan juga dong, Cloud. Sekali-kali memanjakan diri sendiri." Ucapan Mas Prama membuatku meringis. Kondisi tidak memungkinkan untukku berlibur.

Belum sempat aku menjawab, Gana sudah muncul di depanku. Dia mengedarkan pandang lalu menatap Mas Prama dan mengajaknya meeting. Sepeninggal atasanku, sambil mengulum sisa cokelat, aku membuat dua content baru mengenai Bicycle Lane. Kontraknya adalah tiga bulan dan sepanjang itu pula aku harus membuat content secara berkala.

Baru saja tulisan kedua rampung dan kukirimkan pada Sky, terdengar denting tanda pesan WhatsApp masuk ke gawaiku. Tadinya aku mau mengabaikan pesan itu, namun nama yang tertera di sana membuat gagal fokus.

Sky
Cloud, saya suka tulisannya.
Cuma, ada beberapa istilah yang terbalik.

Cloud
Oh, Hai, Sky!
Terima kasih sudah suka tulisannya.
Terbalik di bagian mana ya?

Sky
Hammer dan dancing. (1)

Cloud
Nanti aku perbaiki.
Thanks, Sky.

"Kenapa hayo senyum-senyum sendiri?" Suara Mas Prama tiba-tiba terdengar membuatku reflek melempar gawai. Untungnya atasanku itu sigap menangkap, kalau tidak pasti mukanya sudah tercetak bentuk gawai.

"Haduh, Mas! Jangan ngagetin, dong! Jantungan nanti," sungutku sambil menerima gawai dari tangan Mas Prama.

"Lagian itu latah belum sembuh juga sih, Cloud? Coba deh kamu periksa kenapa latahan?" Ini Mas Prama kenapa sih sepagi ini tumben menyindirku terus?

"Iya, nanti aku periksa." Jawaban ini sebenarnya hanya untuk membuat bosku yang berambut hitam bergelombang itu diam. Namun peristiwa bersama Sky kemarin, kembali berulang dalam memori.

Kemarin aku terpaksa bersepeda bersama anak-anak kecil yang memandangku seakan-akan badut Mcdonald sedang naik sepeda. Mereka bahkan menyemangatiku saat terjatuh. Harga diriku hancur hingga remahan kecil. Namun dua jam kemudian, aku sudah cukup lancar bersepeda. Trauma tidak ada apa-apanya dibanding harga diri yang pecah berantakan.

Setelah melihat aku cukup lancar bersepeda, Sky mengajakku mengelilingi Bike Corner. Bagian ini lumayanlah, aku jadi bisa mengumpulkan serpihan harga diri karena di sekitar kami tidak hanya anak kecil. Sore-sore begini, ternyata banyak keluarga kecil yang bersepeda. Kebanyakan ibu dengan anak-anak mereka. Aku sedang tertawa senang menyambut angin ketika kejadian itu datang.

Serpihan harga diri yang baru separuh terkumpul, terpaksa kembali pecah ketika aku hampir menabrak sepeda di depan yang mengerem tiba-tiba. Aku membuang setir ke sebelah kanan, yang malangnya adalah tempat tiang lampu berada. Alhasil aku sukses menabrak tiang. Luar biasa! Sukses sekali aku bersepeda, bukan?

*
(1)
Hammer: bersepeda sambil berdiri saat menanjak.
Dancing: bersepeda sambil berdiri saat menanjak dan terus mempertahankan ritme.

*

Si Cloud ini kalau dipikir-pikir anaknya takutan ya. Gampang trauma. 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro