Epilog - You Are The Reason

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deburan ombak terdengar dengan langit terbentang luas sejauh mata memandang. Angin yang bertiup mengacaukan rambut seolah menggoda. Di kejauhan nelayan-nelayan bersiap untuk melaut malam hari nanti.

"Cuaca yang cerah." Seseorang berdiri di sampingku sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Kuanggukkan kepala tanpa berkata-kata atau menoleh.

"Kamu mau masuk ke dalam? Matahari masih sedikit terik."

"Tidak! Aku mau menikmati ini semua," kataku menoleh dan menatap mata cokelat yang balas memandang. Kuarahkan kaki ke bibir pantai membiarkan jilatan ombak mempermainkan jemari kaki.

"Banyak hal sudah terjadi beberapa tahun terakhir." Dia menganggukkan kepala mendengar ucapanku.

Tiga tahun terakhir memang banyak hal yang sudah terjadi. Pengadilan menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara untuk si topi baseball. Hukuman itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut. Entahlah, mungkin karena aku tidak benar-benar menjadi korban atau karena dia menyesal dan memutuskan untuk berkelakuan baik.

Kak Arthree tidak mendapat hukuman penjara. Sampai sekarang dia masih dirawat di Rumah Sakit Jiwa untuk memulihkan kondisi kejiwaannya yang tidak stabil. Ada masa-masa kakak cukup stabil untuk dikunjungi. Aku ingat, pertama kali dia berperilaku sama seperti saat ayah dan ibu masih ada, sekitar sepuluh bulan setelah dia dirawat.

Kakak menangis cukup lama lalu tersenyum, mengatakan bahwa aku terlihat bahagia. Kala itu, tangisanku pecah sepanjang perjalanan pulang. Aku juga sudah bertemu dengan tante Arlen. Dia berulangkali mengucapkan permintaan maaf karena tidak bisa melindungiku. Jika maaf bisa membuat perasaan lebih baik, maka kumaafkan tante Arlen. Dia toh hanya tidak tahu dan tidak mau melihat lebih jelas apa yang terjadi padaku dan Kak Arthree.

Perlahan, kuhela napas. Menikmati udara laut yang jauh dari segala hingar bingar perkotaan. Kuangkat tangan ke arah langit, seolah hendak menangkap cahaya matahari yang jatuh ke laut. Orang di sampingku ikut mengangkat tangannya. Kami berdiri berdampingan menangkap cahaya.

"Aku mau kamu tahu, Cloud. Selamanya kamu akan selalu disayangi." Suara itu lembut diiringi dengan senyum yang menghias wajah tampan dengan lesung di kedua pipinya. Tangan besarnya mengusap kepalaku.

Mendadak, rasa haru itu timbul. Menyeruak begitu saja tanpa aba-aba. Seperti halnya cinta yang datang tanpa pemberitahuan, terjadi dalam perjalanan waktu. Sebuah teriakan mengalihkan pandangan kami.

Seorang anak laki-laki berusia dua tahun berlari dengan kaki mungilnya sambil berseru-seru diikuti oleh seorang laki-laki dewasa. Rambut si anak yang tebal, berantakan tertiup angin. Dalam satu lompatan, anak itu masuk dalam rengkuhanku.

"Mamma!" serunya lalu langsung menciumi kedua belah pipiku. Laki-laki di sampingku ikut tertawa.

"Mamma ngapain?" Si laki-laki kecil itu bertanya dengan wajah polos.

"Langit, Mamma lagi mau lihat laut. Kita main pasir di sebelah sana, yuk?" Anak itu melompat dalam dekapan laki-laki di sampingku sambil menganggukkan kepala.

"Gana!" seruku menahan langkah mereka. Keduanya menolehkan kepala. Mata mereka tampak mirip satu sama lain. Gen keluarga mereka terlalu kuat.

"Hati-hati!" Mereka berdua tertawa sambil mengacungkan jempol lalu melangkah pergi.

Aku kembali menikmati semilir angin sambil memejamkan mata. Rambut panjangku kembali berantakan tertiup angin. Butuh waktu untuk mengalahkan rasa takut dan trauma. Pada akhirnya, setiap perjuangan membuahkan hasil. Rambut panjang ini salah satu buktinya.

"Kamu ngobrolin apa sama Gana?" Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara ini. Jemarinya menyelusup, mengalirkan kehangatan dalam genggaman.

"Nggak ngobrol. Cuma berdiri dan diam menatap laut." Kutolehkan kepala dan kembali menemukan mata cokelat yang amat mirip dengan laki-laki sebelumnya.

Di kejauhan terlihat Gana dan anak kecil yang sedang mencoba membuat kapal dari pasir. Seorang perempuan berambut panjang dan memakai topi menghampiri mereka lalu berjongkok. Bisa kulihat, binar di wajah Gana saat melihat kedatangan perempuan itu.

"Butuh waktu lama sampai dia memenangkan hati Gana. Mungkin ketulusan dan kegigihan hatinya yang luar biasa itu akhirnya membuahkan hasil."

"Kamu cemburu?"

"Hemm ... kamu cemburu kalau aku cemburu?" Dia tertawa dan seperti biasa tawanya menular. Suara tawa kami yang terbawa angin sampai pada tiga manusia yang sedang bermain pasir. Mereka melambaikan tangan, tampak seperti keluarga yang sangat bahagia.

Langit, sang laki-laki kecil kembali berlari menghampiriku lagi secepat kaki mungilnya bisa. Dia berteriak sambil melompat-lompat bagaikan memiliki per. Laki-laki di sampingku tertawa dan mengangkat anak itu.

"Aku cuma mau cium Pappa," katanya dengan nada merajuk yang menggemaskan, mencium pipi Pappa-nya lalu kembali berlari.

"Dia begitu mirip dengan kamu dan Gana, sampai aku bingung bagaimana bisa tiga langit bisa serupa?" gumamku.

Laki-laki itu tertawa, kembali menggenggam jemariku lalu memandang langit sore yang merona. "Terima kasih sudah menemaniku sejauh ini, Cloud," katanya pelan.

"Akulah yang berterima kasih. Kamu bersedia menerimaku yang seperti ini." Ditariknya tubuhku mendekat. Lengan kokohnya memeluk pinggangku. Berdampingan kami menatap langit.

Kulihat Gana menghampiri kami dengan satu tangan menggendong Langit dan tangan yang lain menggandeng orang nomor satu yang paling kusayangi di dunia. Siapa lagi kalau bukan Oceana, si ratu bawel tapi sahabat dengan kadar setia kawan tertinggi.

"Jangan nangis," bisik laki-laki di sampingku.

"Aku nggak nangis." Dia menggelengkan kepala dan tertawa kecil.

"Muka kamu itu, selalu seperti ini kalau lihat mereka. Segitunya kamu sayang sama mereka. Iri aku." Kucubit pelan pinggangnya dan tertawa.

"Itu terharu namanya, Skyyy," ujarku gemas.

Pada akhirnya Oceana mengakui bahwa dia memang menyukai laki-laki jangkung yang saat ini berjalan dengan tenang. Si sexy available boss, begitu julukannya yang diberikan pada Gana. Oceana banyak menemani hari-hari Gana. Bukan hal yang mudah untuk menaklukkan hati laki-laki itu, tapi sahabatku pantang menyerah. Mereka menikah setahun yang lalu, tepat dua tahun setelah pernikahanku dan Sky. Akhirnya kami menjadi keluarga tanpa ikatan darah.

"I love you, Cloud. Always love you. My cloudiest sky." Ucapan lirih Sky mengalun bersamaan dengan matahari yang tergelincir dari peraduan sementara bintang bersiap mengambil alih dunia.

There goes my hand shaking
And you are the reason
My heart keeps bleeding
I need you now

If I could turn back the clock
I'd make sure the light defeated the dark
I'd spend every hour, of every day
Keeping you safe

And I'd climb every mountain
And swim every ocean
Just to be with you
And fix what I've broken
Oh, 'cause I need you to see
That you are the reason, oh
(You Are the Reason - Calum Scott)

- Fin

*
Setiap perjalanan memiliki akhir, seperti halnya sebuah cerita yang diakhiri kata tamat.

Terima kasih untuk semua yang telah membaca, memberi komentar serta ikut menyayangi para tokoh terutama Cloud, Sky, Gana dan Oceana. Tanpa kalian mereka akan hampa dan kosong. Semoga ending yang bahagia ini bisa membuat kalian tersenyum. Demi jutaan awan di langit cerah, kukirimkan rasa sayang untuk kalian. ☁️☁️☁️☁️🌥🌥⛅⛅⛅⛅

Sampai jumpa di karya Ayas berikutnya, Beyond the Ice yang akan mulai di upload tanggal 3 Desember besok.

😘😘😘
Love,
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro