[α] KUTUKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Paman, apakah aku monster?"

Air yang kebiruan beriak-riak di bawah jembatan. Kapal-kapal putih berlalu-lalang dengan indah di atas laut Golden Horn. Langit kemerahan mulai menjadi kanvas untuk lampu-lampu di kota Istanbul. Seorang pria berambut kelabu yang tampaknya sudah berkepala empat sedang menikmati makan malam bersama dengan seorang bocah lelaki pada salah satu restoran di Galata Bridge; sebuah jembatan bertingkat dua, di mana tingkat pertamanya berbaris kedai-kedai dengan berbagai jenis makanan laut yang menggoda selera.

Bocah itu resmi berumur dua belas tahun. Sebagai hadiah dari pamannya, dia diajak ke restoran yang terkenal dengan menu balik ekmek (1) terbaik di Negeri Seribu Masjid itu.

Sang bocah memulai pembicaraan yang tidak disangka-sangka oleh pamannya. Membuat pria setengah baya itu terbatuk-batuk mendengar pertanyaan keponakannya, padahal dia baru saja menyesap air putih yang dituangkan dari pelayan. Dia pun menatap keponakannya lekat-lekat.

"Kenapa kamu berkata seperti itu? Kamu mau buat Paman kena serangan jantung?" tanya pria itu heran.

Bocah itu memalingkan wajah, menatap nanar bayangan dirinya yang terpantul samar di jendela restoran yang juga menampakan para pejalan kaki yang sedang menikmati waktu akhir pekan mereka. "Teman-temanku ... mereka bilang aku bukan manusia."

Pria itu segera mengembang senyum lebar. Mempertegas garis-garis tajam di wajahnya, bekas luka yang tidak akan bisa hilang walau tertutupi oleh keriput. "Paman rasa, kamu bukan monster."

"Kalau begitu alien?"

Tiba-tiba pria itu tertawa terbahak-bahak. Semua pengunjung restoran menatap heran ke arah meja yang mereka tempati. Ternyata si bocah masih penasaran tentang dirinya. Dia tidak menyangka bahwa putra tunggal dari adik laki-lakinya bisa berpikir di luar nalar. Oh ya, dia kan masih anak kecil.

Reaksi dari pria itu malah membuat keponakannya tersinggung dan mulai melayangkan pukulan ke lengannya. Sayang, mau berapa banyak si bocah menyerang, tangan mungilnya tidak dapat membuat pria itu berhenti tertawa. Malah membuatnya semakin menjadi-jadi.

Puas melihat tingkah laku keponakannya yang menggemaskan, dia pun membungkukkan badannya hingga mata mereka berdua bisa saling bertemu. "Nigel ... dengarkan paman," ucap pria itu dengan lembut. "Kamu bukanlah monster, alien, iblis, ataupun dewa--kamu adalah manusia yang spesial. Apapun yang terjadi, Nigel tetap Nigel yang Paman sayangi."

Nigel tercengang. "Spesial? Artinya aku lebih hebat daripada teman-temanku?" tanyanya memastikan.

"Ya, kamu adalah anak yang istimewa. Jadi ... gunakan keistimewaanmu untuk membantu orang lain. Kamu paham, Nigel? Karena--"

Raut wajah Nigel yang tadinya berseri-seri berubah seketika. Dia langsung menompang dagunya dengan malas. "Manusia hidup untuk tolong menolong. Ya, aku tahu, Paman. Sudah ribuan kali Paman mengatakannya."

Melihat reaksi Nigel yang merajuk, pria itu mencoba berdamai dengan mengelus pelan kepala keponakannya. Bukannya menolak, Nigel tampak menyukainya. Mirip anak anjing yang ingin dimanja oleh majikannya. Namun, lambat laun elusannya mulai menguat. Dipenuhi rasa gemas, paman Nigel malah mengaduk-aduk rambut pria cilik itu dengan tangannya yang besar.

"Paman ... hentikan," rengek Nigel tak suka yang diikuti gelak tawa pamannya.

Sisa malam itu mereka habiskan dengan berjalan santai di sekitar jembatan. Tepat jam sembilan malam, Nigel sudah terlelap didekapan pamannya.

Keesokan harinya, Nigel bersama kedua orang tuanya pergi menuju bandara untuk kembali pulang ke Indonesia. Sedangkan paman Nigel yang ikut mengantarkan kepergian mereka, akan naik ke pesawat yang berbeda menuju Italia. Dia tidak menjelaskan secara mendetail alasan kepergiannya, namun Nigel percaya bahwa pamannya itu akan kembali dan menceritakan perjalanannya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mendengar petualangan si Paman yang biasa keliling dunia demi mencari bahan mengajarnya di kampus.

"Paman!" panggil Nigel yang sudah berada di balik pagar keberangkatan. "Ingat janji kita. Paman harus ke rumah Nigel dan membawakan buku-buku itu. Jangan lupa, ya!"

Paman Nigel mengangguk kecil sembari melambaikan tangannya hingga ketiga orang itu telah hilang di ujung lorong.

Hingga kini, keberadaan paman Nigel tidak diketahui oleh siapapun.

●●●

Udara dalam ruangan tidak begitu panas, tetapi juga tidak begitu dingin. Kata sejuk kurang tepat untuk menjelaskannya. Itu semua akibat banyaknya manusia dalam satu tempat, satu waktu. Entah berapa ratus atau ribu orang di sana, saling berebut menghirup oksigen yang melayang di udara. Membuat ruangan megah itu terus berada pada temperatur yang konstan, walau semua pendingin ruangan telah menyala dengan suhu di bawah normal.

Sinar matahari menembus dinding kaca di sisi kanan, tampak landas pacu yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Sedangkan di sisi kiri berjejer kios-kios mewah, menjual berbagai jenis barang maupun jasa yang diberikan. Langit-langit berbentuk kubah dengan pola yang berkesinambungan menghiasi dari ujung ke ujung. Kursi tunggu dengan empat set dudukan tersusun rapi dan telah diambil alih oleh para penumpang.

Suara pengumuman keberangkatan pesawat ke berbagai tujuan terus berulang-ulang tiap menitnya. Begitu pula dengan penumpang yang ada, datang dan pergi dari ruang tunggu sambil membawa barang bawaannya.

Di salah satu tempat duduk yang terletak di sudut kanan, ada seorang pemuda yang mengawasi semua aktivitas tanpa terganggu dengan kebisingan yang ada. Tentu saja, karena dia mengenakan wireless headphone untuk membendung lubang telinganya. Harmoni musik dapat mementalkan suara gaduh dari sekitarnya.

Bosan dengan pemandangan di depannya, pemuda itu menoleh ke sisi kanan dan segera disuguhkan panorama hijau yang menenangkan, membuat dirinya semakin larut ke dalam lamunannya. Kembali dikuasai rasa bosan, dia hanya bisa menatap samar-samar pantulan dari kaca besar yang memisahkan dirinya dengan dunia luar.

Dia pandang rambut hitamnya yang belum dipotong beberapa bulan terakhir, sengaja melakukan hal itu untuk menyembunyikan sepasang tindik di kedua telinganya. Berharap tidak mengundang perhatian orang lain, dirinya malah menjadi sorotan dari dua wanita yang duduk di seberangnya. Mereka berbisik satu sama lain, tertawa cekikikan seperti hyena yang sedang mengintimidasi mangsanya.

Ah ... sia-sia saja, Nigel. Muka gado-gado rasa kebab Turki-mu malah pas dengan rambut ala Marcel Chandrawinata jaman Alexandria, curhat Nigel dalam hati.

"Bego! Bukan kayak gitu caranya!" Suara makian seorang gadis berhasil melewati bantalan headphone milik Nigel. Tanpa sadar, pria yang bosan setengah mati itu mencari sumber suara menggelegar tadi.

Tidak jauh dari posisinya, terlihat ada sepasang anak muda sedang berselisih di depan vending machine. Nigel menghelah napas berat, hanya bisa meratapi dua insan yang tidak akan bisa dipersatukan itu.

"Hah? Sotta (2)! Kamu juga enggak bisa, kan?" sindir pemuda bermata sipit itu.

Gadis berkepang dua itu menggigit bibirnya. Tanpa malu dia mengajungkan jari telunjuk ke lawan bicaranya. "Ini semua gara-gara kamu. Liat! Uangnya kusut gini, mana mau mesinnya terima."

"Heleh ... cari-cari alasan lagi. Kalau gitu, pakai uangmu, deh. Ribet amat sih."

Dengan wajah masam, gadis itu meroggoh dompetnya dan berhasil mengeluarkan selembar uang berwarna biru, lalu memasukannya ke dalam lubang yang tersedia. Pada akhirnya mereka berdua mendapatkan dua botol teh dingin. Walaupun pertengkaran itu ternyata masih berlanjut.

"Astaga! Ini teh kok enggak manis?" Pemuda itu kembali berkomentar pedas.

Secepat kilat, gadis itu mengadahkan tangannya. "Ini kan zero sugar. Bayar."

Secepat kilat pula, pemuda itu menempelkan uangnya yang sudah lusuh ke jidat si gadis. "Nih! Mamam tuh uang!"

Spontan Nigel membuang wajah. Dia berharap semua orang tidak sadar akan sebuah kenyataan pahit, bahwa mereka adalah temannya. Nasib, dua manusia pembuat onar itu malah berjalan menuju tempat duduknya.

"Kenapa sih kita harus satu tim penelitian, Bu Diah udah pikun kali, ya," keluh Zea sambil mendaratkan pantatnya di kursi, tepat di sebelah Nigel. Padahal Ann sudah ancang-ancang untuk duduk di sana.

"Hei, enggak boleh bilang gitu sama orang tua. Pamali. Nanti kena karma, baru tau rasa," sergah Ann pada Zea.

"Dasar boneka dosen, ya, kan, Men?" Zea menyikut tangan Nigel.

Namun sayangnya, Nigel sama sekali tidak memberi respon. Dia berpura-pura sibuk menggeser layar ponselnya, membuka tutup aplikasi yang tidak jelas. Agar meyakinkan, dinaikan volume musik yang dia dengarkan hingga samar-samar orang lain dapat mendengarkannya juga.

Melihat Zea diabaikan, Ann dengan bangganya menjulurkan lidah kepada cowok bertindik satu itu.

"Kenapa pada ribut-ribut di sini?" Bagai malaikat turun ke bumi, Nia datang menghampiri domba-domba yang tersesat--maksudnya teman-temannya.

"A-ah, tidak! Tidak ada apa-apa kok, ha ha ha." Zea hanya bisa tertawa canggung.

"Betulan?" tanya Nia sekali lagi kepada Zea.

"Iya ... Nia sendiri, dari--panas!"

Tanpa Zea sadari, cowok yang menemani Nia jalan-jalan bernama Xanor, sedang meletakkan roti di atas pahanya. Sepertinya Xanor lupa roti itu masih fresh from oven.

"Maaf," ujar Xanor singkat, padat, dan jelas.

Zea sudah kehabisan kata-kata, hanya bisa mengelus pahanya yang perih. Dia tahu akan buang-buang waktu saja bila berargumen dengan Xanor. Malah nantinya, dia terlihat seperti orang sinting yang berbicara dengan gunung, sebab Xanor sangat hemat dalam berbicara atau lebih tepatnya, pelit untuk membuka mulutnya.

Tidak mempedulikan tatapan sinis dari Zea, Xanor segera membagikan sebungkus roti ke masing-masing temannya. Tugasnya selesai. Xanor duduk dan diam, menikmati rotinya dengan penuh hikmat.

Beberapa menit yang lalu, Nia dan Xanor sempat izin dengan kawanannya untuk berkeliling menikmati suasana bandara. Tidak ingin pulang dengan tangan kosong, mereka memutuskan untuk membeli cemilan sebelum kembali ke ruang tunggu.

"Xanor, terima kasih. Berapa harganya?" tanya Ann sembari membuka tas tangan bermotif kupu-kupu violet miliknya.

Xanor yang masih menguyah, malah menatap ke arah Nia.

"Makanlah. Aku yang traktir," ucap Nia tulus.

"Ah--begitu. Te-terima kasih, Nia." Ann tersenyum kecil. Sempat terdengar keraguan dalam suaranya, tetapi tidak ada yang menyadarinya.

Kondisi mulai kondusif. Mereka berlima melahap kudapan dengan tenang. Tiba-tiba dari arah toilet, seorang wanita menawan melangkah cepat ke tempat mereka dengan gusar. Nia yang penasaran, segera menyahut kedatangan Tris.

"Tris? Ada hal buruk terjadi?"

"Buruk? Hah! Mengerikan, tepatnya." Tris menyibakkan rambut ikalnya yang tebal. "Kalian harus tau! Aku sedang mengantri di toilet lamaaa sekali. Ternyata orang yang masuk sebelumku lagi kena diare. Bayangkan ... aroma neraka ada di sana. Aku langsung menyuruh cleaning service membersihkan. Dan itu membuatku harus menunggu lebih lama lagi."

"Kenapa enggak pindah ke toilet yang lain? Pasti bukan cuman satu bilik aja," sambung Zea setelah Tris selesai dengan curhatannya.

Tris berkacak pinggang. "Maunya gitu! Kalau saja tidak ada antrian panjang di bilik yang lain, paham?" ujar Tris ketus.

"Yes, my lady," sindir Zea seolah-olah dia adalah salah satu babu cinta Tris. Sebagai ratunya angkatan, Tris adalah satu-satunya mahasiswi di Fakultas Kehutanan yang memiliki fans club tersendiri. Walaupun isinya dipenuhi oleh cowok-cowok jones yang sudah tidak memiliki masa depan percintaan yang cerah.

Nigel memperhatikan satu per satu kawannya. Sejujurnya dan dengan berat hati, Nigel suka akan ketenangan. Dengan berada di dekat salah satu dari mereka saja sudah membuatnya risi, apalagi kalau semuanya ada.

Selamat tinggal kedamaian, sampai jumpa lagi dua bulan ke depan, pikir Nigel, menangis dalam batinnya.

"Fuck! Shit! Dasar bocah!"

Nigel hampir lupa dengan keberadaan manusia satu ini. Cass yang sedang lesehan di depan kaca jendela, tanpa malu mengutuk pemain lain dari game online yang sekarang dia mainkan di ponsel pintarnya.

"Cass ... jaga mulutmu," kata Nigel memperingatkan.

Cass seketika kembali ke dunia nyata. "Oh ... astaga. Kukira masih di rumah. Sorry ...." Seperti biasa, Cass selalu lupa diri jika sudah masuk dalam dunia paralel itu.

Baru saja dia mengalihkan pandangannya, sebuah pop-up muncul di layar. "SUSU! KECAP! BAWANG!" Dan Cass melanjutkan sumpah serapahnya dengan menggunakan bahan-bahan dapur.

Lengkap sudah koleksi Nigel. Mereka pastinya akan merusak hidupnya sepanjang menetap di tanah Borneo. Kecuali Nia, tentunya.

[Perhatian-perhatian. Para penumpang pesawat udara dengan nomor penerbangan MX-323 tujuan, Samarinda. Dipersilakan naik ke pesawat udara, melalui pintu nomor lima. Terima kasih.]

Sesaat pengumuman mengudara, saat itu pula ketujuh mahasiswa kehutanan itu segera bangkit dan membawa barang bawaannya menuju pintu keberangakatan. Mereka mendapat tempat duduk yang sejajar. Kursi A, B, C; diisi oleh Nigel, Ann, dan Zea. Lalu untuk kursi D, E, F; ditempati Tris, Cass, dan Xanor.

Nigel sejenak berhenti dan kebingungan ketika Nia berjalan semakin ke belakang pesawat.

Ann yang menyadarinya, langsung menghentikan langkah Nigel yang ingin menyusul gadis itu. "Nia dapat di belakang. Maaf, aku lupa bilang."

Rasa kecewa terpahat jelas di wajah Nigel. Setelah memasukkan tas ranselnya di bagasi atas, Nigel duduk di kursinya dalam diam.

Belum selesai satu masalah, Zea mengerutkan alisnya. "Hei ... tunggu dulu, kenapa kamu duduk di sebelah Nigel? Masa cewek duduk di tengah," sindir Zea melihat Ann yang duduk setelah Nigel berada di tempatnya.

"Loh? Emang enggak boleh? Kukira kamu menganut paham kesetaraan gender?"

Ranjau darat. Pertikaian antara Zea dan Ann masuk ke babak dua. Zea mulai membantah dengan teori-teorinya, sedangkan Ann tidak mau kalah.

Nigel berusaha untuk tidak mempedulikan dua serigala yang berkelahi atas teotorinya. Dia naikkan volume headphone-nya hampir penuh dan menikmati hentakan musik rock yang bersemangat.

Apalagi yang harus dia alami di Kalimantan Timur bersama sekumpulan teman yang uratnya pada putusan?

●●●

(1) Roti lapis ikan. Makan yang terkenal di Galata Bridge.

(2) Sok tahu dalam bahasa Makassar.

●●●

Nama-nama tokohnya panjang dan susah dibaca, ya?🤣

Maklum, nama Latin tanaman memang begitu, tapi artinya engga disangka-sangka, loh. 🤭

Nanti perkenalan tiap tokoh akan dipublikasikan bersamaan dengan bab 4, jadi buat yang bingung apa itu, harap bersabar, ya .... ☺️

Kuy, vote-vote-vote. Koment-koment-koment. 😻😻😻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro