[σ] KEBENARAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nigel! Zea dan Tris tertinggal di belakang." Ann menegur Nigel yang masih terus berjalan di depannya.

"Oi, kamu mau meninggalkan mereka berdua? Bisa-bisa mereka mati." Cass pun ikut memperingatkan Nigel akan nasib kedua temannya itu.

Walau Ann dan Cass sudah mencoba menghentikan Nigel, tetapi pemuda bertindik dua itu tidak bergeming sedikit pun.

"Kamu budek, apa? Woi--" Cass mengejar Nigel dan meraih pundaknya. Dari samping, Cass dapat melihat mata Nigel berkaca-kaca.

"Aku tahu ... tapi kita tetap harus maju. Aku yakin Zea juga berpikir demikian," kata Nigel dengan suara berat.

"Pikiran macam apa itu? Kamu tidak mau menyelamatkan mereka? Gitu? Pantas kamu sering dibilang Men sama Zea. Ternyata artinya CEMEN!" Cass berbalik dan mulai berlari ke jalan yang sebelumnya mereka lewati.

Namun, langkahnya terhenti ketika Ann memasang badan untuk menghadang Cass berlari lebih jauh.

"Minggir!" perintah Cass marah.

Ann menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Air mata tidak henti-hentinya mengalir di pipinya yang mulus.

Cass terus mencoba untuk menyelip Ann. Tapi pertahanan gadis itu tidak bisa ditembus dengan mudah. Dia terlalu gesit. Akhirnya Cass menyerah.

"Sial! Sial! Bangsat!" Cass mengumpat terus menerus hingga kakinya lemas dan terduduk di atas tanah.

Nigel mendekati Cass, lalu menarik lengan pemuda yang bersedih itu dengan paksa.

"Woi! Apa maumu Nigel? Aku bisa berdiri sendiri." Cass menepis rangkulan tangan Nigel.

Setidaknya Cass sudah tidak berniat untuk membunuh dirinya secara bodoh. Lebih baik Cass membenci dirinya dan tetap hidup, daripada mati sia-sia. Begitu yang dipikirkan Nigel sekarang. "Cepat. Tidak ada waktu untuk beristirahat." Nigel kembali berlari.

"Aku tau!" Cass bangkit dan mulai mengikuti langkah Nigel.

Ann yang tersisa di belakang, menoleh ke arah di mana Zea dan Tris terlihat terakhir kalinya. "Zea ... Tris ... semoga kalian baik-baik saja," gumam Ann sedih sembari mulai mengejar kedua pria yang sudah memimpin di depan.

Langkah demi langkah. Jarak demi jarak. Mereka terus berlari, tanpa tahu akan di bawa ke mana. Tanpa tahu bahaya apa yang sedang menunggu mereka di depan sana.

Cass yang mulai kelelahan, sedikit demi sedikit memperlambat jalannya. Sesekali dia memandang sekeliling. Mendadak, Cass merasa terkena deja vu.

"Perasaanku saja atau tempat ini memang tidak asing?" Cass memandang pohon-pohon yang berjejer di sekitar mereka.

"Apa kamu pernah ke sini sebelumnya, Cass?" sahut Ann.

"Tidak, bukan itu maksudku. Sepertinya kita memang pernah ke sini. Bukan dalam keadaan seperti ini, tapi saat kita ada di dunia nyata."

"Kamu yakin akan hal itu?"

"Hei, jangan remehkan ingatan visualku. Seorang gamer sejati pasti memiliki ingatan visual di atas rata-rata."

"Sepertinya Cass memang benar." Nigel menunjuk pohon yang berdiri kokoh, paling besar dari semuanya. Satu-satunya pohon yang tidak mengeluarkan cahaya merah dan memiliki celah yang membubung tinggi di tengah-tengah batangnya.

Bukan hanya itu saja yang membuat mereka takjub. Ada seorang gadis berambut pendek, mengenakan kaos tipis dan celana kain selutut, tertidur di celah pohon.

"Itu ... betulan Nia, kan? Ya, kan? Tapi ... kok beda sama yang kulihat sama Xanor," ucap Cass dengan nada ragu. "Eh--Nigel!"

Tergesa-gesa, Nigel menghampiri Nia yang terbaring di bawah pohon. Ann pun ikut menyusul di belakang.

"Nia, Nia? Bangun. Kamu tidak apa-apa? Nia," panggil Nigel sembari menggoyangkan bahu Nia lumayan kasar.

"Nigel! Jangan kasar, dong." Ann menyenggol tangan Nigel agar menjauh dari Nia. "Nia? Ini Ann. Bangunlah."

Perlahan-lahan kelopak mata Nia mulai terbuka. Gadis berambut pendek itu mengerjap-ngerjap dengan cepat.

"Syukurlah ... kamu selamat, Nia," kata Ann lega.

"Ann .... Lalu Nigel, Cass," ucap Nia pelan, masih ada nada mengantuk di dalamnya. Setelah melihat ketiga temannya secara bergantian, terlihat ada kemurungan di mimik wajahnya.

***

"Begitu ya. Aku turut sedih." Mata Nia mulai berkaca-kaca. "Maaf, ini semua salahku," Nia berusaha untuk menahan tangisnya.

"Ini bukan salah siapa-siapa. Apa yang menimpa sekarang, jauh dari kemampuan kita. Tidak ada yang bisa menghentikan roda takdir." Nigel berusaha menenangkan Nia yang mulai meneteskan air mata.

"Tidak. Kita bisa menghentikan roda takdir itu. Mencegah korban berjatuhan lebih banyak lagi."

"Nia, apa yang kamu bicarakan?" tanya Ann.

"Karena kalian sudah ada di sini, kita bisa menghentikan orang yang memulai ini semua."

"Kamu tahu orangnya!" Cass kaget dengan apa yang dia dengar.

"Ya, dan sekarang kita bisa menghentikannya," kata Nia optimis. Namun, matanya hanya tertuju kepada Nigel. "Ayo, waktu kita terbatas."

Ann yang tambah kebingungan dengan situasi yang berubah drastis, spontan berdiri dan menghentikan pembicaraan. "Tidak. Aku tidak akan pergi dari sini sebelum Nia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya selama terperangkap di sini."

Nia kelihatan tidak setuju dengan pernyataan Ann. "Ann, tapi--"

Cepat-cepat Ann memotong. "Jujur, aku tidak percaya denganmu. Begitu banyak kemalangan yang terjadi tiba-tiba ketika kita sampai di Kalimantan. Bukannya kamu yang menyarankan tempat penelitian ini? Bukankah kamu juga yang mengatur jadwal keberangkatan sampai tempat tinggal untuk kita selama ada di sini? Apalagi kamu orang yang sudah lama tinggal di sini, sebenarnya apa maumu, Nia? Katakan alasanmu. Sekarang." Ann menatap kedua iris Nia dengan intens.

"Aku juga mau tanya," tambah Cass menyela perdebatan di antara kedua gadis itu. "Kamu beneran Nia? Karena Nia yang kulihat sebelumnya mengenakan terusan putih. Ah, jangan tersinggung dengan perkataanku. Tapi kalau yang ini memang Nia yang asli ... jadi, siapa yang kulihat?"

Ann melayangkan kepalan tangannya ke kepala Cass tanpa ragu. "Jangan bicara yang aneh-aneh! Kamu buat aku merinding lagi, tauk!"

Cass mengelus belakang kepalanya yang nyeri akibat ulah Ann tadi. "Ya ... maaf. Aku kan cuman mau memastikan."

"Ann, kamu memang gadis yang cerdas." Nia tersenyum lirih. "Baik, akan kujelaskan semuanya, agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita semua." Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan menghela napas panjang.

"Benar. Aku yang merencanakan semua ini. Kisah tentang Desa Tanpa Nama, penculikan pada malam hari. Ya, aku tahu akan hal itu. Tapi rencanaku mulai tidak bisa terkontrol saat malam itu--malam ketika aku diculik. Benar-benar di luar perkiraanku." Nia tertawa getir. "Apa kalian tahu bahwa ritual penyegelan desa ini berhasil, tetapi bayarannya adalah warga desa itu sendiri?"

Mereka bertiga mengangguk pelan.

"Apakah kalian tahu bahwa ternyata ada satu orang yang berhasil selamat dari malapetaka itu?"

"Siapa?" tanya Ann setengah berbisik.

Nia kembali tersenyum. "Nenekku. Pemilik rumah yang kita tinggali sekarang. Dia adalah seorang tabib."

Nigel teringat dengan buku catatan yang dia baca bersama Tris. Ternyata buku itu milik nenek Nia.

"Dua tahun yang lalu, nenekku sakit keras. Ayah dan ibuku sudah bersikeras untuk membawa nenek ke kota. Sayangnya nenek tidak mau meninggalkan hutan. Dia bilang, dia harus tetap menjaga segel desa sebab ada orang jahat yang ingin merusak segel itu.

"Orang jahat?" sela Cass.

"Ya, dialah yang memanggil Eberus ke sini. Aku yakin kalian juga sudah mengetahuinya. Dia menggunakan kemurkaan penghuni hutan sebagai batu loncatannya. Untuk tujuannya, aku belum mengetahuinya. Semakin hari, kesehatan nenek semakin menurun. Di hari terakhirnya, dia berpesan kepadaku. Dia bilang, bawa pria yang kukenal sangat baik, pria yang memiliki tato di sekujur tubuhnya, ke sini. Dialah yang akan menghentikan penderitaan hutan ini. Dan orang itu adalah dirimu Nigel. Aku yakin itu."

"Sejak kapan kamu tahu aku memiliki tato di sekujur tubuh?" tanya Nigel penasaran.

"Dari Zea," jawab Nia sembari tertawa geli.

"Sial ... si Mulut Ember itu. Kalau sama cewek enggak bisa jaga rahasia."

"Maksudnya apa Nigel?" Ann bertanya perihal sohib Nigel yang satu itu. Memastikan bahwa perasaannya sudah diketahui oleh Nigel atau belum.

"Dia itu, walau mulutnya kasar sama cewek. Tapi kalau masalah rahasia, dia rela bungkam atau malah jadi informan untuk mereka. Baru dia ngaku-ngaku lagi jadi penganut kesetaraan gender, omong kosong." Nigel kesal ketika mengingat tingkah tanduk Zea, namun matanya kembali terasa pedih. Teringat dengan waktu-waktu yang sudah dihabiskan bersamanya.

Cass berdeham. "Bisa lewat aja iklannya? Ada pembicaraan serius di sini."

Ann mengatupkan kedua tangannya pertanda maaf, sedangkan Nigel menggaruk-garuk kepalanya.

"Sebenarnya aku tidak ingin mencelakai kalian semua. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri, atau hanya berdua dengan Nigel. Apalagi, kenyataan bahwa kita dijadikan satu grup penelitian. Maka hal ini tidak bisa dihindari." Nia menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Maaf, maafkan aku. Kalian boleh membenciku tapi aku ingin kita segera menghentikan orang ini, sebelum terlambat."

"Lalu, kenapa kamu bisa aman-aman saja berdiam diri di sini, Nia? Padahal banyak monster berkeliaran." Ann masih curiga dengan Nia.

"Kalau itu berkat pertolongan warga desa."

"Warga desa?"

"Mereka yang terus mengarahkanku ke tempat yang aman, dari tulisan peringatan."

"Tulisan ... bukan tulisan yang berasal dari noda darah?" tanya Nigel memastikan.

"Ya, itu ulah warga desa. Baik, kan?"

"Baik apanya. Bagiku itu mengerikan sekali," cibir Ann sembari mengiggil ketakutan.

"Lalu, kemungkinan yang Cass lihat itu salah satu warga desa. Dia mungkin mengambil sosokku agar menarik perhatian kalian."

Cass merinding ketika mendengar spekulasi dari Nia. "Ngeri amat! Untung mereka tidak bermaksud menjebak kami."

Sementara mereka masih membicarakan niat baik warga desa, Nigel terlihat pesimis. "Tapi ... bagaimana aku bisa menghentikan semua ini, sedangkan aku tidak punya kekuatan apa-apa."

"Hei, jangan merendah. Kamu punya kelebihan, bukan? Kamu kan satu-satunya dukun ilmu hitam di sini," kata Cass sekaligus menyindir.

"Jangan panggil aku dukun ilmu hitam." Nigel masih tidak nyaman dengan sebutan itu.

"Kamu juga punya kekuatan penyembuhan. Apalah daya kami yang hanyalah manusia lemah dan tak berguna." Perkataan Cass terdengar sangat mengesalkan.

"Jangan mulai lagi, Cass. Atau sepatuku akan melayang tepat ke mulutmu." Ann sudah bersiap menyumpal mulut Cass dengan sepatu pantofelnya.

"Aku masih tidak mengerti. Kenapa harus diriku?" Nigel masih tidak bisa menerima kebenaran yang ada.

"Karena kamulah satu-satunya orang yang bisa menghentikan dia," jawab Nia. Ada rasa simpati dan kesedihan dalam suaranya. "Dia--"

Tiba-tiba suara raungan besar membahana seluruh hutan. Sampai-sampai tanah yang mereka pijak sedikit bergetar. Setelah itu, mereka mendengar suara langkah besar yang mulai mendekat.

"Jangan-jangan ... monster gorila yang bermutasi gajah itu!" pekik Cass panik.

***

Bagaimana kisah mereka sampai di sini? Apakah kalian suka? Jangan lupa vote dan komentarnya. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro