4. Date

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning!
• OOC
• Absurd

"Besok, oke?"

"A-ah, iya...."

"[Name]...."

"Iya, kenapa Suna?"

"Pffttt...muka merah mu masih teringat dengan jelas."

"AAAA SUNAAA!!!"




[Name] POV

Tidak terasa, sudah setahun lebih kami menjalin hubungan ini. Sekarang kami sudah berada diakhir tahun kelas 3 dan sebentar lagi kami akan lulus.

Aku pernah bertanya kepada Suna, kemana ia akan lanjut setelah lulus. Ia menjawab, mungkin dirinya akan fokus mengejar karirnya dibidang olahraga voli yang sudah ia jalani semasa SMA ini.

Hari-hari kami seperti biasanya, saling mengirim pesan, menelpon hingga larut malam, membicarakan hal-hal random, dan terkadang menggibah.

Aku terkejut saat mengetahui sebuah fakta tentang Suna, ku pikir ia adalah tipe cowo yang tidak begitu peduli dengan pembicaraan seperti gosip. Namun, siapa sangka kalau ia malah cocok dijadikan teman ngobrol untuk bergosip?




Hari ini kami sudah sepakat untuk pergi berkencan, ini bukan kencan pertama kami. Hanya saja, sebagai seorang pasangan kami sangat jarang melakukan hal tersebut.

Salahkan hal tersebut kepada Suna. Ia begitu sibuk latihan voli, terutama sejak kami naik kelas 3. Aku paham kalau tahun ini adalah tahun terakhirnya untuk bermain voli di tingkat SMA, tentu saja ia menginginkan sebuah kenangan yang membanggakan. Memenangkan kejuaraan nasional bersama anggota tim yang lainnya.

"Dimana?" Diriku melihat sekeliling, mencari seseorang bernama Suna Rintarou.

"Lihat kebelakang." Langsung saja aku membalikkan badanku.

Sial, aku terpanah. Penampilannya sangat sederhana tapi aura tampannya terpancar dengan jelas. Suna menggunakan hoodie berwarna hitam, celana jeans, dan sneakers berwarna putih.

Ku putuskan sambungan telfon tadi, berjalan mendekat kearah Suna. "Lama."
Tuturku malas.

Suna tertawa pelan, "maaf tadi macet, lagian sudah kubilang lebih baik ku jemput saja. Tapi kau malah menolak."

Memang benar aku menolak untuk dijemput, tapi tetap saja aku kesal karena ia terlambat dari waktu yang sudah ditentukan.

"Eh?" Suna tersenyum kikuk. "Jangan ngambek dong, keke. Makan dulu yuk."

Makan, kata-kata tersebut berhasil menbuatku kembali merasa senang. "Yuk."

Suna kembali tertawa pelan. "Kalau soal makan, kamu emang cepat ya." Ia menggenggam tanganku.

"Mau makan apa, cantik?" tanya Suna kepadaku.

Aku berpikir sejenak. "Hmmm...." Ah! tiba-tiba aku kepikiran 1 makanan. "Burger! aku mau makan buger!"

"Oke." Suna tersenyum, mengangkat genggaman tangan kami keatas. Lalu menurunkannya kembali.



Beruntung, masih ada tempat kosong untuk kami berdua. Aku langsung duduk dan menunggu Suna yang sedang memesan.

Ku lirik handphone miliknya yang sengaja ia taruh diatas meja, layarnya menyala menampilan sebuah notifikasi chat.

Oh ternyata itu dari grup voli miliknya, sepertinya Suna akan semakin sibuk latihan agar mereka dapat memenangkan kejuaraan nasional kali ini.

"Nggak ada cewe yang chat kok, tenang aja." Aku terkejut, ia cepat sekali memesan makanan.

"Kok cepat banget?"

"Ini kan makanan cepat saji."

Oh, benar juga. Jawaban apa sih yang aku harapkan darinya?

"Udah simpen dulu hpnya, makan." Suna mengambil handphone miliknya dari genggaman tanganku. "Nggak bakalan ada chat dari cewe lain kok, aku cuman fokus sama kamu." ucapnya sambil tersenyum tipis kearahku.

"Si-siapa juga yang mikir kesana!"

"Terus kok kamu gugup?"

"Udah ah, makan dulu."

"Cuci tangan dulu, cantik."

Ugh, bukannya aku tak menyukai panggilan tersebut. Hanya saja itu sendikit memalukan.

Setelah mencuci tanganku dengan bersih, aku mulai menyantap burger tersebut. Suna juga sama.

"Enaaak!" sahutku senang, untung saja aku memilih untuk makan ini.

Suna hanya berdehem sebagai jawaban, fokus memakan burger miliknya. Hanya butuh waktu 2 menit baginya untuk menghabiskan burger itu.

"Kok kamwy cepet bangyt makann, nyam nyam," tanyaku kepada Suna, sambil mengunyah.

Ia terkekeh, "telan dulu, baru bicara."

"Brwsik," jawabku, masih sambil mengunyah.

Tiba-tiba jempol Suna berada diatas sudut kiri bibirku, menyeka saos tomat yang menempel lalu menjilatnya.

"Enak, apalagi bekas kamu." entah sudah berapa kali ia tersenyum hari ini.

Aku hanya diam, rasanya jantungku berdetak dengan cepat.




Selesai makan, kami berdua berjalan menuju game center. Karena pemutaran film yang tiketnya sudah kami pesan akan dimulai sejam lagi.

Kami memainkan begitu banyak permainan, dimulai dari hockey meja, animal kaiser, maximum tune, dance-dance revolution, capitan boneka, dll.

"Ih payah," ejek Suna.

"Ih piyih, ini susah tau!" jawabku ketus, ini sudah kesepuluh kalinya aku gagal mengambil boneka rubah dari mesin capitan boneka itu.

Ia terkekeh, "sini serahin ama ahlinya." Dengan percaya dirinya ia berkata seperti itu.

Aku tersenyum mengejek. "Coba saja, pasti ngak bakalan dapat juga."

Suna memasukkan 1 koin kedalam mesin capitan tersebut, mengarahkan capitan itu tepat diatas boneka rubah yang ku inginkan lalu menekan tombol hijau untuk mengambilnya.

Aku diam, kenapa dia dengan mudahnya melalukan hal itu? bahkan boneka yang ku incar itu sudah berada ditangannya hanya dalam sekali percobaan.

Ia tersenyum remeh kepadaku. "Gampang tuh." Nadanya mengejek.

"Hoki!"

"Udah jangan ngambek terus, nih ambil."

Suna mengacak rambutku pelan, kembali tersenyum ramah sambil memberikan boneka rubah tersbeut tersebut kepadaku.

Kami hendak berjalan keluar dari game center, namun ku hentikan langkah kakiku. Mataku menangkap sebuah tempat berfoto bernama photobox.

Kuajak Suna untuk kesana. "Eh eh, kesana dulu yuk."

Ia melihat apa yang ku tunjuk. "Emang sempat?"

"Sempat kok sempat." Kutarik Suna paksa, dan ia hanya pasrah dengan itu.

Kami berdua duduk ditempat yang disediakan, langsung saja ku masukkan beberapa koin untuk menjalankan photobox itu. Mencari stiker-stiker lucu untuk kami gunakan.

Kami melakukan berbagai macam pose, awalnya Suna tak mau sambil berkata itu hal yang kekanak-kanakan. Hanya saja aku terus memaksanya. Jadilah ia mengikuti pose yang kusuruh.

Melihat dirinya menurut seperti itu, membuatku geli sendiri.



Jam menunjukkan pukul 4 sore, sudah saatnya kami untuk pulang. Diperjalanan pulang hanya aku yang bersuara, menyatakan berbagai komentar untuk film yang baru saja kami tonton.

Suna hanya menganggukan kepalanya, kadang tertawa pelan mendengarkan ocehanku.

"Kok belok?" mataku menyipit, ini bukan arah jalan pulang menuju rumah. "mau kemana?" ku tatap Suna heran.

"Bentar juga tahu," jawabnya singkat.

Ku perhatikan jalan, rasanya sedikit familiar dengan jalan ini.

Ah, ternyata ia menyetir menuju taman sepi itu.



Aku penasaran, kenapa Suna tiba-tiba membawaku kemari. "Kenapa kesini?"

Ia melirik ku sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. Kedua matanya memperhatikan bunga-bunga yang dikelilingi kupu-kupu.

Ku lakukan hal yang sama, entah kenapa. Rasanya reflek saja tubuhku mengikuti apa yang dilakukannya.

Bedanya ia berjongkok sedangkan aku berdiri.

"[Name]."

Ku alihkan pandanganku, menatap Suna. "Kenapa?"

"Nanti kalau lulus, kamu lanjut kemana?" Suna masih melihat bunga-bunga tersebut.

Aku mengernyitkan dahiku. "Entahlah, belum kepikiran." kedua bahuku ku naik turunkan.

"Begini." Suna menggantungkan ucapannya, ia berdiri lalu mencari sesuatu dikantong hoodie miliknya.
"Ada sesuatu yang ingin ku katakan."

Suasananya tiba-tiba berubah, ia terlihat serius.

"Kuliah paling lama 4-5 tahun kan?" Suna menatapku sendu.

"I-iya? sepertinya." Aneh, kenapa tiba-tiba dia bahas soal kuliah?

"Kamu kalau kuliah...ehm, kamu kalau kuliah kira-kira berapa tahun ya?" Suna menggaruk pipinya canggung.

"Apasih? Kuliah nggak semudah membalikkan telapak tangan tau nggak?" Aku yang tak paham dengan alur pembicaraan ini hanya bisa menatapnya penuh tanda tanya.

Ia menarik salah satu tanganku, memberikan sebuah kotak berwarna merah. Aku dibuat bingung terus dari tadi.

Ku buka kotak merah tersebut.




Aku kaget bukan main.

































Kotak tersebut berisikan sebuah cincin.

"Suna...ini?" ku lihat Suna sedang menahan malu, pipinya memerah.

"Nanti nikah ama aku ya, [name]." ucapnya malu.

Aku bingung mau jawab apa, rasanya ini terlalu mendadak bagiku.

Greb

Aku kaget, Suna tiba-tiba memelukku dan menaruh wajahnya dipundakku.

"Su...suna?" Badanku seketika kaku.

"Nggak mau tau, pokoknya nikah sama aku. Aku maunya cuman sama kamu."

Jadi ini yang namanya maksa?

"Kalau nolak, ya aku paksa terus sampe mau!" Ia masih menyembunyikan wajah malunya dipundakku.

Kalau begini caranya, bagaimana bisa aku nolak?

"Pfffttt, Suna kita masih SMA tau nggak. HAHAHAHA, kok kamu random banget tiba-tiba?"

"Tenang, calonmu kaya kok."

Dasar anak orang kaya.

Aku benar-benar nggak menyangka, mungkin maksud dari Suna adalah bentuk dia akan setia. Tapi menikah? Aku sangat yakin Suna adalah seseorang yang memilih untuk tidak melakukan pernikahan dimasa depan, aku sangat yakin Suna adalah orang yang fokus pada karir.

Tapi, aku senang karena dia memilih ku. Untuk saat ini akan ku anggap sebagai gombalan berat, meski aku berharap kami akan bersama nantinya. Lagipula, tidak ada salahnya kan merencanakan sesuatu dari sekarang?

[End]
























Maaf kalau endingnya rada maksa, author nggak punya pengalaman kencan jadi nulis chapter ini rasanya frustasi sendiri. (Jungkir balik)



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro