Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tekadku sudah bulat. Apapun konsekuensi nanti akan kutanggung. Tak ada bandingannya dengan cinta suci dari hati ini untuk Mas Romi. Aku tak bisa menerima pahitnya hati karena ia meninggalkanku demi wanita lain.

Tunggu! Tunggu saja, aku akan membuatmu jatuh kembali ke pelukanku, Mas!

"Tekadmu sudah bulat?" Mbah Ulun bertanya. Wanita tua yang memakai sanggul dengan dua bunga kantil tersemat itu menatapku dengan pandangan menyelidik.

Aku mengangguk dengan sorot penuh tekad. "Aku siap, Mbah!"

"Nduk, masih ada waktu untuk berpikir matang-matang. Jika kau sudah memasuki ritual-ritual, kau tak bisa lagi kembali." Mbah Ulun menasihati dengan suara lembut, tetapi matanya mengandung provokasi agar aku tetap melaksanakan tekadku.

"Aku siap, apa pun yang terjadi nanti, aku siap lahir batin."

Mbah Ulun terkekeh. "Baiklah, kurasa memang tekadmu sudah sangat kuat. Maka dari itu, ritual pertama akan kita laksanakan malam ini juga. Ayo ikut denganku," ajaknya sambil berdiri.

Aku melihatnya berbalik lalu berjalan keluar gubuk tempat tinggalnya. Kuikuti saja jalan yang ia tempuh.

Ingin sekali aku bertanya, ia akan membawaku ke mana. Namun, baru saja satu kata yang ingin keluar dari bibirku, Mbah Ulun mendelik seakan berkata bahwa aku tak boleh berbicara sama sekali.

Kami menyusuri jalan berkelok-kelok di lereng bukit Sindodari. Bukit yang terkenal angker bagi penduduk sekitarnya. Di jalanan yang kami lewati pun, banyak tumpukan sesajen yang telah mengering atau yang masih baru.

Langkah Mbah Ulun berhenti di sebuah goa kecil yang tertutupi semak belukar. Keningku mengernyit. Mbah Ulun berbalik dengan senyum yang bukan sebuah senyuman.

"Apa kau masih tetap dengan tekad bulatmu?" Tanyanya dengan suara penuh tekanan.

Aku mengintip goa kecil yang berada di belakang Mbah Ulun. Goa itu sangat gelap dengan percik air yang menetes-netes dari atas. Lumut hijau berkerak di sekitarnya menyajikan pandangan kotor dan tak tersentuh tangan-tangan manusia.

"Apa aku harus bersemedi di sana?" Tanyaku ragu.

Mbah Ulun menyeringai, menengok ke belakang lalu kembali menatapku.

"Kau takut? Jika tekadmu tak sebesar itu, kau boleh kembali ke rumahmu." Nadanya mengejek seakan menertawai niatku yang menciut.

"Memangnya tak ada yang lebih mudah, Mbah? Ajian jaran goyang atau semar mesem gitu? Aku sanggup bayar mahar berapa pun untuk ajian itu."

Mbah Ulun tertawa. Tawanya yang serak membuatku bergidik ngeri sehingga pandanganku langsung kutundukan.

"Pelet yang akan kuberikan padamu lebih manjur dari pelet mana pun di muka bumi ini. Amalannya tak mudah, kau harus siap lahir batin bersemedi di dalam tempat yang kutunjukan ini. Jika kau berhasil melewatinya, maka tak akan ada yang dapat menghapus pelet itu. Seumur hidup, Mas Romimu akan menjadi milikmu."

Mbah Ulun menatapku dengan tatapan tajam. Meyakinkan tekadku kembali. Kupandangi goa gelap di belakang Mbah Ulun itu sambil mengatupkan rahang.

Bayangan pernikahan Mas Romi dengan kekasihnya kembali berkelebat. Ucapan Mas Romi yang mengakhiri hubungan denganku, juga kata-kata penolakan dari keluarga Mas Romi yang tak menyetujui hubungan kami. Selalu menyakitkan dan semakin membuat hatiku berdarah-darah.

Aku tak ingin hidup jika melihat Mas Romi menjadi milik orang lain. Ini sudah jalan yang benar untuk mendapatkan pria pujaanku kembali.

"Baik Mbah, aku bersedia," ucapku penuh tekad membara.


Bersambung 


vote dan komen jangan lupa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro