Part 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga pria membawaku masuk ke sebuah Villa. Villa ini terletak di bagian timur dari desa tempat tinggalku. Mereka kemudian menyetel musik keras-keras. Dari tas masing-masing, mereka mengeluarkan bungkusan plastik yang berisi sabu juga alat hirupnya dan sebungkus rokok linting berisi ganja. Tak ayal minuman keras pun tersaji.

Aku menatap barang-barang yang dinilai haram itu, kemudian beralih memandangi mereka satu persatu.

"Aku butuh ke toilet," sahutku acuh tak acuh.

"Silahkan Manis. Ahh gunakan kamar yang itu," tunjuk pria bernama Kalim pada sebuah kamar berpintu ukiran klasik. Aku mengangguk lalu beranjak memasuki kamar tersebut.

Meski aku tak melihat. Dapat kupastikan mereka saling memandang, tanpa ucapan mereka telah memutuskan suatu rencana. Namun, itulah yang kuinginkan.

***

Kucuran air dari keran membasahi tanganku yang diliputi busa sabun. Belum selesai aku membersihkan seluruh busa, pintu toilet terbuka. Pria yang mengenalkan dirinya sebagai Kalim, masuk dengan senyum mesum tersungging di bibirnya.

"Manis, kau lama sekali di toilet." Ia mendekat dan berdiri di belakangku. Aku mendongak menatapnya melalui kaca westafel. Kulihat matanya merah, entah karena alkohol atau karena pengaruh narkoba yang ia pakai.

"Apa aku tak boleh berlama-lama di sini?"

"Tidak, Manis. Kau boleh melakukan semaumu, tapi ...." Tangannya terangkat lalu mengelus-elus bahuku.

"Bukankah lebih asyik jika bersamaku." Bau alkohol menyeruak dari mulutnya.

Aku mendecih dalam hati. Jijik akan belaian tangannya yang semakin merambat ke pinggulku.

"Apa yang kau mau?" tanyaku sambil berbalik menghadapnya. Ia menyeringai, tatapan matanya langsung tertuju ke buah dadaku.

"Manis ... kau ...." Matanya beralih menatap mataku, tetapi tiba-tiba ia terbelalak. Kemudian berbalik memastikan sesuatu.

"Ada apa?" tanyaku heran.

Tubuhnya gemetar. Ia kembali berbalik menghadapku. Diusap-usapnya kedua tangan pada wajahnya.

"Wajahmu pucat, kau baik-baik saja, Mas?" tanyaku basa-basi.

Ia mengangguk canggung, tapi kulihat tubuhnya masih gemetar.

"Kau mungkin perlu mencuci wajahmu, Mas."

Ia memandangku lalu mengangguk dengan kaku. Aku tersenyum simpul kemudian keluar dari toilet.

Baru saja pintu kututup, pekik jeritan pria itu terdengar. Beberapa kali suara benturan demi benturan, barang yang jatuh dan pecah di lantai, lalu jeritan Kalim yang awalnya keras kemudian menghilang dengan cepat.

Aku kembali berbalik dan menatap pintu toilet yang terbuat dari kaca buram itu penuh noda merah pekat. Darah terlihat mengalir hingga merembes keluar. Kututup hidung saat bau amis tercium.

Penasaran dengan kondisi di dalam toilet tersebut, aku memutar daun pintu lalu mendorongnya hingga terbuka.

Pemandangan di sana membuatku ingin muntah. Rindi yang menjelma menjadi kuntilanak merah tengah merogoh dada pria bernama Kalim itu, lalu mencabut jantungnya. Dengan rakus ia menggigit, melahap dengan bunyi menjijikan. Kedua tangannya berlumuran darah, tapi tak ia pedulikan.

Kembali tangannya merogoh, bahkan kali ini dengan tak sabar ia merobek paksa dada pria mati itu sampai ke arah perut hingga beberapa organ dalam dan usus terjulur keluar.

Tak kuat lagi melihat hal itu, aku langsung menutup pintu dan memuntahkan isi perut ke lantai. Puas memuntahkan isi perutku aku beranjak dengan tertatih. Tubuhku gemetar terbayang-bayang adegan di toilet itu.

Pintu untuk keluar dari kamar ini terasa jauh sekali. Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin menjauh dari Rindi. Rasa mual kembali bergejolak, tetapi aku tak bisa memuntahkannya karena semua isi perut telah keluar sebelumnya.

Tanganku terulur menggapai gagang pintu. Namun, belum sampai aku menariknya. Tangan pucat dengan kuku panjang hitam pekat mencengkeram pergelangan tangaku. Terasa dingin dan kuat.

Aku menoleh dan mata ini bertatapan dengan mata yang sepenuhnya hitam itu.

"Bawa kedua orang itu untukku," sahutnya serak.

Refleks aku menggelengkan kepala. Otak dan hatiku dipenuhi selaksa teror. Rasa takut semakin membuncah, tetapi untuk melawan aku tak bisa.

Aku takut mati.

"Bawa mereka untukku," ucapnya dengan suara mengerikan. Pada akhirnya aku tak bisa menolak. Lalu saat dia melayang, tubuhku langsung bergerak sendiri tanpa bisa kukendalikan.

Dua pria teman Kalim itu menatapku yang terlihat kusut. Bagi mereka pakaianku yang kusut menjadi pemandangan indah. Namun, tanpa mereka sadari aku adalah umpan yang akan membawa mereka ke dalam kematian mengerikan.

Kedua pria itu, dengan mata memerah karena alkohol, mendekatiku. Pandangan mereka seakan menelanjangiku. Lalu, tanpa aba-aba keduanya bergerak membuka resleting celana jins. Dengan gerakan kasar mereka menarik tanganku.

Aku tak menjerit. Entah mengapa bibirku kelu. Dan ketika mereka kembali membawaku masuk ke kamar, tubuh mereka tersentak kaku.

Suara kikik kuntilanak membuat dua pria yang menggamitku gemetar. Mereka berubah kaku. Bibir membuka, tetapi tak ada suara apa pun keluar. Kugerakan tangan melepas apitan mereka dengan mudah.

Mereka menoleh padaku dengan pandangan meminta pertolongan. Akan tetapi, siapa yang mau menolong? Aku hanya menjawab dengan tersenyum sinis lagi dingin.

Kuputar badan ketika teriakan keduanya menggema. Kali ini suara benturan terdengar lebih keras. Bau darah kembali tercium. Lebih pekat dan manis. Bahkan rasa hangat beberapa kali menerpaku karena cipratan darah dua pria itu.

Srruuup!

Sruupp!

Ssruuppp!

Hanya kudengar suara seruputan itu. Aku tak ingin melihat apa yang dilakukan Rindi. Karena sekarang pun tubuh ini gemetar tak terkendali. Hingga akhirnya tak lagi bisa menopang berdiri, aku luruh ke lantai dengan air mata berlinang.

Beberapa menit kemudian, suasana mulai hening. Aku setengah menengok memastikan keadaan di belakang. Merasa aneh, aku akhirnya menoleh. Menatap dua tubuh yang terkoyak mengerikan. Usus berhamburan, bola mata berceceran di tanah, pun dengan darah yang membasahi hampir seluruh ruangan.

Kubekap mulut untuk menghentikan rasa ingin muntah, lalu menarik pandanganku. Namun, aku terkesiap kaget ketika wajahku berhadapan langsung dengan Rindi. Ia telah kembali ke bentuk manusia, terlihat cerah dan lebih mempesona. Namun, bagiku ini sangat menakutkan.

"Ayo, Menik. Kita pulang," sahutnya mengulurkan tangan.

Aku merasakan rasa dingin tak terkira pada punggungku. Rindi tersenyum seperti biasanya. Namun, bagiku itu bukanlah senyuman manis, tetapi mengerikan dan keji.

"Bagaimana kau berubah seperti ini?" Tak sadar aku melontarkan pertanyaan.

Senyum Rindi yang menghiasi wajahnya perlahan meredup lalu menatapku dengan dingin.

"Kenapa? Kau takut padaku?"

"Selama kau mengikuti perintahku, aku akan menjamin keselamatanmu. Kau mengerti?" Rindi menarikku hingga berdiri.

Kaki dan tubuh ini masih terasa lemas. Namun, dengan mudah Rindi membawaku hanya dengan menggamit tanganku. Kulirik tangannya, semua berubah seperti sedia kala. Sebenarnya ilmu apa yang dianut Rindi?

"Kali ini kita ke mana? Aku, aku ingin mencari Mas Romi." Aku berdalih mencari alasan agar terbebas darinya.

Namun, Rindi hanya tersenyum dan meneruskan langkah hingga kami tiba di pelataran Villa. Dengan mudah ia membuka pintu mobil, mendorongku masuk lalu kami pergi dari tempat itu.

"Rin, Rindi ... kita akan ke mana?" Hatiku mulai kalut.

Rindi terkekeh, lalu menoleh menatapku.

"Bukankah kau ingin mencari Mas Romi? Kita akan mendapatkannya kembali."

Jantungku berdetak cepat. Kedua tangan gemetar. Baru kali ini aku berharap, Mas Romi menghilang saja dan jangan pernah ditemukan oleh Rindi.

Tuhan ... aku tertawa miris dalam hati. Masih pantaskah aku menyebut nama Tuhan? Namun, aku tulus berdoa dan berharap. Lindungi Mas Romi, jangan biarkan Rindi menemukannya.

"Apakah kau tahu di mana Mas Romi berada?" tanyaku pelan.

Rindi tersenyum dingin. "Jika tebakanku benar, dia dibawa oleh ibu Kania. Orang yang waktu itu bertemu denganmu."

Ada kelegaan di hatiku. Dan berharap Mas Romi tetap terlindungi.

"Namun, kini wanita itu terjebak. Bagai ikan yang jatuh ke tanah, lemah dan akan terbunuh pada saatnya."

Rindi tertawa terbahak-bahak. Tawa yang berubah menjadi mengerikan dan menambah ketakutan di hatiku.

Suara gemuruh lantang terdengar. Langit yang terang benderang tiba-tiba meredup lalu berubah gelap bagaikan malam.Dan baru kusadari, ratusan makhluk mengerikan tengah mengiringi mobil kami.

Bersambung


Vote dan komen jangan lupa ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro