Part 15 (Menik)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak kejadian hari itu, Rindi memenjarakanku di suatu tempat. Meski dia sering tak muncul, aku merasa diawasi dari berbagai sudut. Bahkan aku sendiri tak tahu berada di mana sekarang.

Jauh dari jangkauan nalar sebagai manusia. Setiap pintu yang kubuka akan menyambung dengan ruangan lainnya. Berputar dan kembali ke ruangan yang sama. Tak ada celah untuk kabur.

Setiap saat dapat kudengar rintihan arwah-arwah gentayangan yang menghuni tempat ini. Membuat rasa takut semakin bertambah. Hingga akhirnya aku tak mempunyai keinginan untuk pergi. Karena setiap pintu yang kubuka, arwah gentayangan dengan darah berceceran, seakan menjadi penjaga agar aku tak berani kabur dari tempat ini.

Rindi datang menemuiku hanya ketika mengantarkan makanan dan minuman. Awalnya aku tak ingin menyentuh makanan itu, tetapi lagi-lagi ia mengancam membunuh Mas Romi hingga akhirnya aku pun memakan makanan itu dengan setengah hati.

Di sini tak ada jam atau pun celah yang dapat mengidentifikasi waktu di luar sana. Aku juga tak tahu sudah berapa lama Rindi mengurungku.

Cklek!

Pintu terbuka. Sosok rindi masuk membawa nampan berisi sepiring nasi dan segelas air. Aku hanya menatapnya sejenak sebelum kembali menunduk. Meski tak melihat ke arahnya, aku tahu Rindi tersenyum. Senyum yang sangat tak kusukai.

"Ini, makanlah!" Ia menyodorkan nampan itu di depanku.

Sepiring makanan itu terlihat menggiurkan. Nasi dengan berbagai lauk pauk yang kusukai. Harum makanan itu membuat perut berdendang, membuat Rindi terkekeh.

"Kau pasti lapar, 'kan? Makanlah selagi hangat." Suaranya lembut, tetapi aku tetap tak berani menatapnya.

Karena rasa lapar yang tiba-tiba muncul, disertai hidangan yang menggugah selera. Aku tak tahan lagi untuk bersikap diam.

Kuraih sendok dan langsung manyantap makanan itu. Suap demi suap kulahap dengan rakus. Tak kupedulikan Rindi yang menatap disertai seringai. Rasa lapar kali ini sangat berbeda. Bahkan ketika tinggal beberapa suap lagi, aku masih ingin terus merasakan rasa makanan ini.

Kekehan Rindi membuatku yang akan kembali memasukan sendok terdiam. Dengan kernyitan di dahi aku memandangnya aneh.

"Apa yang kau tertawakan?" tanyaku dengan kesal.

"Tidak. Aku suka melihatmu makan seperti ini," sahutnya sambil mengedikan bahu.

Aku mendengkus dan kembali berniat menyuapkan sesendok makanan. Namun, gerakanku langsung berhenti ketika aku melihat sendok yang berisi makanan itu.

Bibirku kelu. Napas seketika tercekat di tenggorokan ketika melihat sekumpulan belatung dalam sendok itu.

Dan ketika belatung-belatung mulai merayapi gagang sendok, sebagian kembali terjatuh ke piring, perutku bergolak. Rasa jijik dan mual menyerang.

Aku menjerit dan melemparkan sendok serta piring ke lantai. Kakiku berjingkat, menghindari belatung yang sebagian telah merayap di sprei.

Aku berusaha memuntahkan kembali belatung yang kumakan. Namun, meski terasa mual aku tak bisa memuntahkannya.

"Apa yang kau lakukan padaku, Rin?"

Mataku berkaca-kaca menatap Rindi yang hanya menatapku datar. Satu pikiran melintas. Kugelengkan kepala tak ingin memercayai apa yang ada di benakku.

"Apa ... Apakah kau selalu memberiku makanan seperti ini? Sejak aku di sini?"

Rindi tak menjawab. Ia melihat ke bawah, ke arah belatung-belatung yang merayapi lantai gelap itu.

"Jawab aku, Rindi!"

"Aku tak perlu menjawab apa pun. Ini memang sudah seharusnya kau lakukan, Menik."
Aku menggelengkan kepala, tak percaya dengan apa yang diucapkan Rindi.

"Aku tak ingin menjadi sepertimu, Rin. Tidak! Aku tak mau!"

Rindi tertawa terbahak-bahak. Ia seakan mengejekku dengan tatapan penuh cemooh.

"Menik, Menik, apa kau pikir dengan begini kau akan menjadi orang baik? Suci dengan dosamu yang bertumpuk itu? Menik, kita sama-sama tahu. Bahkan jika sekarang kau berhenti, neraka akan tetap jadi tempat kita."

Suara Rindi sangat dingin. Menusuk hati, membuat tubuhku menggigil. Pandangannya yang tajam seakan membekukan otakku yang tak mau berpikir atau sekedar membantahnya. Bagaikan seorang budak, aku hanya diam dengan pikiran yang penuh ketakutan.

"Kau akan berterimakasih padaku sesaat lagi, Nik. Karena, ketika Romi datang nanti, dia akan membencimu. Kebencian yang tak akan pernah terpikirkan olehmu."

Perkataan Rindi bagaikan sihir. Kata-kata yang terdengar olehku hanya satu kalimat yang terus berulang-ulang.

"Romi membencimu, Menik."

***

Aku berdiri di sebelah Rindi. Menatap arah pintu utama ruangan yang mirip gua besar ini.

Tak jauh dari tempatku berdiri, dua kerangkeng besi berisi Kania dan Bu Rahma. Kuperhatikan Kania begitu tenang di tengah cekaman ketakutan. Ia hanya menampakan wajah datar tanpa emosi. Sedangkan di kerangkeng satunya lagi, Bu Rahma tampak acak-acakan, kotor, serta terlihat kosong.

Beberapa kali Kania menatap ibu mertuanya dengan pandangan penuh kecemasan. Ya! Hanya ketika melihat ibu kandung Romi itulah emosi memenuhi wajahnya.

Aku mendengkus. Rasanya lelah dengan perasaan benci ini. Namun, jika kembali pada egoku yang terluka, aku kembali membenci wanita itu.

"Romi sudah dekat." Kudengar Rindi lirih berbisik ke telingaku.

Netraku memancar harapan. Dua harapan yang sma-sama kuat. Harapan untuk Romi tak datang ke mari dan harapan ingin melihatnya karena sebuah rindu. Gila memang, tetapi hati manusia mana yang dapat menghalangi rasa cinta itu sendiri.

Dari sudut mataku Rindi terkekeh. Aku tahu, ia pasti menertawakanku yang maih saja berharap pada pria itu.

Degub jantungku semakin kencang. Dua rasa yang saling bertentangan, bergejolak dalam hati. Lalu saat siluet tubuh pria jangkung, berkemeja biru, berjalan dengan langkah yang amat kukenali. Hatiku mencelos. Rasa rindu ini menguat, mematahkan rasa khawatir dan keinginan awal agar Mas Romi tak datang.

Tak sadar bibirku tersenyum.

Mas Romi semakin mendekat. Namun, ketika ia melihat dua kerangkeng berisi wanita-wanita yang pria itu sayangi, langkahnya berhenti. Tubuh Mas Romi membeku Kaku. Matanya menajam.

Dan ketika Rindi terkekeh, pria itu baru beralih menatap kami. Hatiku sakit. Tak ada lagi sorot cinta di matanya untukku.

Mataku memburam karena air mata yang tiba-tiba saja menggenang. Aku tak ingin mendengar kata-katanya yang tajam dan penuh amarah. Hanya ada rasa sakit di hatiku.

Kata-kata Rindi terus bergema di pikiran.

"Romi membencimu, Menik!"

"Dia membencimu!"

"Lihat sekarang! Dia hanya menatap istrinya."

Terus menerus kata-kata itu bergema di otakku. Hingga ketika kulihat pria itu menggapai tangan Kania, rasa panas membakar sekujur tubuh. Tanganku terkepal, ingin rasanya menyerang mereka. Mencabik-cabik tubuh Kania. Memperlihatkan pada Mas Romi bahwa aku sangat mencintainya.

Dan ketika amarahku memuncak, dapat kurasakan energi negatif berkumpul, memerangkapku, mendesak, dan mendorong ke sudut tergelap. Aku tak tahu apa yang terjadi, hanya saja dari tempat gelap in, aku dapat melihat tubuhku diambil alih oleh sekumpulan arwah gentayangan.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro