Part 16 (Kania)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jantungku berdegub cepat ketika Mba Rindi menyeret Mas Romi dan membantingnya ke lantai. Di sisi lain, Mba Menik menjerit-jerit. Aku melihat cahaya kemerahan di dahinya. Yang dapat kuartikan, bahwa dia telah dirasuki.

Namun, yang menyebabkanku cemas adalah posisi suamiku. Mas Romi hampir saja bangkit, akan tetapi kekuatan tak kasat mata membuatnya terjerembab kembali. Kali ini dari dalam tanah muncul tangan-tangan pucat yang langsung mengekang kedua kaki dan tangannya.

Mba Rindi tertawa sambil menahan tangan Mba Menik yang menjerit-jerat serak. Aku semakin yakin, bahwa wanita itu tengah dirasuki arwah.

Mba Rindi mengangkat tangannya lalu mengeluarkan cahaya merah. Dengan sekali hentakan, tangannya menempel pada kening Mba menik, kemudian cahaya itu masuk perlahan. Seketika wanita itu terdiam dengan pandangan kosong.

Hatiku menggigil. Namun, bukan saatnya aku takut. Aku harus mencari cara agar fokus mereka berubah padaku. Akan tetapi, dengan cara apa?

“Kalian sudah berjanji melepaskan Kania dan Mama jika aku datang. Jadi, lepaskan dia sekarang!” Kudengar Mas Romi berkata lantang pada Mba Rindi.

Mba Rindi melirikku, sudut bibirnya terkembang dengan sinis. “Aku harus memastikan sesuatu,” ucapnya.

Jantungku kembali berdegup saat wanita itu melangkah menuju kerangkeng yang kutempati. Dengan mudah ia membuka gembok besar pengunci pintu kerangkeng besi ini. Lalu, entah kekuatan apa tubuhku tiba-tiba berubah jadi kaku saat menatap matanya.

“Apa yang kaumau, Mbak?” tanyaku lirih. Mba Rindi hanya tersenyum sinis kemudian setengah menyeretku keluar kerangkeng.

“Jangan sakiti dia!” Suamiku kembali berteriak saat Mba Rindi mendorongku hingga tersungkur.

Tepat ketika aku menyentuh tanah, rasa nyeri berputar di sekitar perut bagian bawahku. Aku menjerit tertahan. Wajah Mas Romi pias. Kulihat ia mencoba memberontak, tetapi cengkeraman tangan-tangan pucat itu tak bisa ia lepaskan.

“Kau menyalahi perjanjian,” desis Mas Romi.

Mba Rindi menatap Mas Romi sambil berkacak pinggang. Ia mendengkus kemudian berkata, “Ada pepatah, jangan pernah mempercayai janji makhluk bernama iblis.” Ia terkekeh ketika melihat Mas Romi menatapnya tajam.

Dengan gerakan anggun, Mba Rindi berbalik, melangkah ke tempat altar kecil yang berisi beraneka ragam sesaji.

Rasa sakit membuatku meringis. Namun, aku tak ingin menjerit. Karena jika aku menjerit, wanita itu hanya akan tertawa bahagia.

Peluh besar keluar di area dahi dan menetes menyusuri dagu. Barangkali kandunganku yang tak terawat kini melemah. Hidup sebagai tahanan dengan asupan makanan yang serba kekurangan membuat tubuhku kurus. Hal ini mungkin menyebabkan kandunganku menjadi bermasalah.

Kuraba dan elus perlahan perut bagian bawahku. Memanjatkan doa-doa yang kuketahui. Meski dengan menahan sakit, aku tetap harus bertahan. Aku tak ingin membuat wanita itu menang.

“Bertahanlah, Nak!” ucapku dalam hati.

“Ibu akan berjuang bersamamu, bertahanlah! Kau kuat, Nak!” lirihku berbisik.

Aku tahu, perkataan ini mungkin tak sampai padanya. Namun, ini juga sebagai penguat diriku sendiri. 

Peluh kembali menetes. Rasa sakit membuat wajahku pucat. Mas Romi menatapku tak berdaya, air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Pandangan itu seakan melontarkan kata maaf tak terucap untukku. Aku membalasnya dengan senyum lemah, mengatakan bahwa diri ini baik-baik saja.

Kulihat Mba Rindi membawa nampan bulat berisi sekumpulan bunga melati. Di tengah-tengah bunga melati tersebut terdapat prapen kemenyan dengan bara yang menyala. Bau kemenyan menguar mengisi ruangan ini. Sayup kudengar teriakan-teriakan makhluk tak kasat mata entah berasal dari mana.

Kedua tanganku refleks menutupi perutk. Gerakan alami seorang ibu melindungi kandungannya. Mba Rindi menoleh dan menatap perutku dengan tajam.

“Kau pikir dapat melindunginya?”

“Aku tak akan mengijinkanmu menyentuhnya,” desisku. Mba Rindi terkekeh dengan wajah penuh kesombongan.

“Kau terlalu yakin, Kania.” Dia mengambil sejumput melati lalu melemparkannya padaku.

Kukibaskan rambut dan beberapa melati yang menempel di bahu. Melihatku bertingkah demikian, wanita itu menyeringai. Ia lalu berbalik dan berjalan ke sisi Mas Romi.

“Romi, Romi, Romi, sulit sekali menangkapmu, ck!”

“Tapi … sekarang aku bisa melakukan ritual persembahan sekali lagi, hahahahaha ….” Mba Rindi terbahak. Ia menoleh pada sosok wanita yang hanya mematung dengan pandangan kosong.

“Kau lihat di sana, satu wanita yang tergila-gila padamu.”

“Menik, temanku yang bodoh itu. Selalu dapat kukibuli hanya dengan menyebut namamu.” Mba Rindi terkikik.

“Perempuan bodoh yang mengejar cinta hingga menggadaikan akal sehatnya, tapi … memang semua yang berhubungan dengan keluargamu pasti akan membuang akal sehat.”

Mba Rindi mendesah, pandangannya menerawang. “Dulu, jika saja kau tetap menerimaku. Aku tak mungkin terjerumus dalam lingkaran setan ini. Menghiba pada pamanmu yang terkutuk itu,” desisnya dengan gigi bergemelutuk.

Aku memandang interaksi itu dengan tatapan lemah. Rasa sakit yang tak kunjung reda membuat tenagaku hampir habis. Namun tiba-tiba, pikiranku melintas pada sosok wanita yang berdiri mematung di sana.

Mba Menik. Ya, dia. Mungkin Mba Menik dapat menolong Mas Romi.

Aku mengamati Mba Rindi yang masih saja terus mengoceh. Kugerakan tubuhku, setengah merangkak menuju Mba Menik. Wanita itu terlihat pucat dengan pandangan mata kosong. Meski tadi menjerit-jerit, tetapi sekarang Mba Menik begitu tenang.

Aku tahu, barangkali memang jiwa wanita ini ditidurkan paksa. Namun, tidak mustahil jika aku mencoba membangunkannya.

Sedikit lagi. Jarak kami telah dekat. Kuabaikan rasa sakit. Dengan menggigit bibir, aku menahan semua rasa sakit itu. Hanya Mba Menik yang dapat menolong Mas Romi. harus ada yang menghentikan ritual itu.

Aku tahu apa maksud ritual yang Mba Rindi lontarkan. Sama seperti dulu, ketika aku memergoki Mba Rindi menggunakan jiwa Mas Romi sebagai persembahan. Kali ini pun sama, wanita itu akan mempersembahkan jiwa Mas Romi. Dan jika jiwa Mas Romi berhasil dipersembahkan, maka … kejahatan yang besar akan bangkit. Itu yang dikatakan ibuku.

Sedikit lagi, sosok Mba Menik telah semakin dekat. Sedikit lagi, Kania. Bertahanlah! Kucoba menyemangati diri sendiri.

Lalu, saat tangan ini terulur akan mengapai pergelangan Mba Menik. Tiba-tiba, sosok mengerikan muncul di hadapanku. Sosok berkain kafan lusuh wajah dipenuhi belatung menghalangi arahku.

“ARRGGH!!” aku menjerit dan beringsut menjauh.

Pocong-pocong muncul tiba-tiba lalu mengelilingi Mba Menik. Berputar-putar di atasnya. Tubuhku gemetar, sentakan rasa sakit kembali menguat. Aku merintih dengan tangis tak bersuara.

Kudengar tawa menggelegar dari sosok Mba Rindi. Ia merentangkan tangannya. Seolah mengejekku dengan cemoohan dalam pandangannya, ia memasukan sejumput bunga melati ke mulutnya.

Rapalan mantra keluar dari bibirnya, seiring kunyahan melati tersebut.

Oo … raganing ingsun rukaspati
Pati dharma pareka suma
Sukma nganti janti
Iluh teluh anyapu geni

Rasa sesak menghimpit dada. Pun dengan Mas Romi. Pria itu berteriak, tubuhnya kejang, bergetar. Wajah suamiku terlihat kesakitan. Dan ketika Mba Rindi memuntahkan kunyahan bunga melati itu, suar api membumbung tinggi melingkari Mas Romi.

Tangan wanita pemuja setan itu terangkat, lalu bersimpuh. Rapalan mantranya kembali berkumandang. Setiap jengkal kata yang terucap membuat dada ini sesak. Air mataku jatuh tak tertahan lagi. Rasa sakit sekujur tubuh seakan mengikuti sakitnya tubuh suamiku. Aku menjerit. Jeritan yang tak lagi bisa kutahan.

Sakit.

Sakit.

Sakit.

Aku berteriak kesakitan. Tersungkur, menggelepar di tanah. Berbaur dengan jeritan Mas Romi dalam pusaran badai iblis.

Angin membawa pasukan roh gelap dalam berbagai jenis. Membentuk lingkaran mengelilingi kami. Aku terisak dalam keputusasaan. Akankah kami berakhir seperti ini?

Kuraba perutku. Apakah aku tak bisa melindunginya?

hawa gelap semakin menekanku. Para roh gelap mengerubingi kami. Tangan-tangan berkuku panjang, hitam mencoba menggapai perutku. Dalam keadaan sakit aku memutar tubuh. Menghindari para kuntilanak dengan dua kaki berbentuk tapal kuda itu.

Tidak. Aku harus bertahan. Sekali lagi kulihat Mas Romi. Dia menjerit kesetanan. Sukmanya hampir tercabut.

Aku terisak kembali. Pikiranku buntu. Tak dapat berpikir dengan tepat. Apa yang harus kulakukan? Sedangkan kesadaran ini hampir menipis. Lagi kuraba perutku, mengatakan dalam hati aku bisa melaluinya.

Namun, desakan roh gelap kembali menghimpitku. Dada semakin sesak. Rasa panas mulai menjalar ke sekujur tubuh.

“Tidak! Tidak! Tolong … tolong kami,” keluhku tak sadar.

Mataku berkedip dengan berat. Kegelapan mulai menyerang mata. Kukedipkan berkali-kali mencoba tetap sadar. Namun, semakin menahan hantaman itu semakin besar. Aku terisak lirih ketika kepalaku menyentuh tanah dingin itu.

Raungan roh gelap bersahut-sahutan seakan menyambut sebuah pesta besar. Pesta kemenangan untuk mereka.

Dengan gerakan pelan kuraba kembali perutku. Entah rapalan kata dari mana, tak sadar aku merapalkan sebuah nama.

“Candaka … Candaka … datanglah!” gumamku tak sadar.

Sepoi angin dingin tiba-tiba menerpa tubuhku. Sejuk, bagai penawar rasa sakit dan panas yang seakan membakar tubuh.

Mataku berkedip lemah, menatap Mas Romi yang masih berteriak kesakitan.

Namun, bibirku tersungging senyum lega, ketika sosok wanita berjubah merah muncul memunggungiku. Rambut peraknya berkibar dengan wangi gaharu yang menentramkan jiwa. Begitu suci dengan sinar aura yang membuat para kuntilanak menjerit.

Jeritan berganti. Aku menyerah, memasuki kegelapan.

Bersambung …

Vote dan komen jangan lupa ya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro