Part 18 (Rindi)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Candaka. Nyai Wangsih menyebut nama itu. Apakah dia memang Candaka? Aku sendiri tidak tahu, tetapi nama itu menjadi nama sakral bagi kaum iblis. Sudah sepatutnya mereka membenci wanita bernama Candaka itu. Bukankah karena ulah wanita itu, kaum iblis tersingkir dan harus hidup dalam kegelapan.

Rasa sakit menyerang dada. Aura wanita itu sangat menyesakan. Membuat tubuhku yang setengah iblis ini berkali-kali didera rasa sakit. Namun, aku bersyukur. Nyai Wangsih datang menyelamatkanku.

Di depanku saat ini Nyai Wangsih tengah menyerang wanita yang disebutnya sebagai Candaka. Tubuh wanita itu dibelit selendang merah Nyai. Begitu ganas serangan, bahkan berimbas pada kami yang ada di sekitar.

Sraaak!

Wanita itu dengan mudah melibas selendang Nyai. Membuat Nyai Wangsih menerjang dinding gua. Kulihat wanita yang disebut-sebut dengan nama Candaka itu mengangkat tangannya. Dalam telapak tangan itu, sinar keperakan muncul bagai pusaran angin.

"Kurankala, tunjukan wajahmu yang sebenarnya!" Cahaya perak itu dilempar menuju Nyai Wangsih. Nyai yang baru saja menghadapi pukulan besar langsung membelalakan mata.

Nyai Wangsih tak bisa menghindar. Saat cahaya perak itu memukul dadanya ia sekali lagi terpelanting ke dinding.

"ARRRGGH!" jeritan Nyai sangat menyayat hati. Tubuhnya bergetar. Meliuk-liuk di tanah. Kesakitan juga merasa putus asa. Tiba-tiba aku mencium bau yang sangat busuk. Teramat busuk hingga ingin muntah saja.

Nyai Wangsih menggeram. Tubuh wanita itu menelungkup. Setiap bagian-bagian tubuhnya menggelembung besar, membuat kulit menjadi retak-retak. Pada setiap retakan, mengalir darah merah kehitaman.

"KKHHHAAA!" Ia menyeringai ganas.

Pandanganku beralih pada Candaka. Raut wajahnya teramat tenang, tapi kurasakan kekuatan besar yang menyertainya. Nyai Wangsih kembali menyerang bahkan sekarang lebih ganas dari sebelumnya.

Kuedarkan pandangan, dan saat itulah aku melihat Romi. Kondisi tubuh pria itu penuh luka dan berdarah. Namun, nyawanya utuh bahkan aura manusia sucinya masih begitu harum.

Dengan tertatih aku perlahan bangkit. Mengamati Kalya dan wanita bernama Candaka sekali lagi, ketika melihat mereka lengah dengan fokus pada Nyai, aku langsung beranjak ke arah Romi.

Pendar cahaya biru melingkupi tubuh Romi. Aku menyeringai. Inilah saatnya. Kubuka dua telapak tanganku. Kemudian, dengan berbisik merapal mantra aku perlahan menyentuh tubuhnya.

Aura sejuk dan wangi tiba-tiba menghampiriku. Bagus, bagus, inilah yang kumau. Setelah ini tak akan ada lagi yang bisa menandingi kekuatanku.

Aku tersenyum lebar. Membayangkan akan seperti apa nanti. Kunikmati rasa sejuk yang mengaliri darahku. Namun, rasa sejuk itu tiba-tiba menjadi rasa panas membakar.

Aku langsung membelalakan mata. Sepasang mata jernih Kania menatapku tajam.

"Aku tak akan membiarkanmu mengambil aura suamiku," suaranya serak tetapi lantang terdengar. Meski napasnya tersengal kelelahan ia tetap bertahan.

"Kau!"

"Bertobatlah, Mba! Apa kau masih belum puas merusak dirimu sendiri? Dengan cara apalagi Mba Rindi akan sadar?" Ia menghela napas.

"Apa yang Mba Rindi dapat dari semua ini?" Kania memeluk Romi erat. Kasih sayangnya terpancar dari matanya yang jernih. Dan aku benci dengan mengakui hal ini.

Jeritan Nyai Wangsih terdengar kembali. Aku membalikkan badan. Di sana kulihat rantai panas membelit tubuh makhluk jelmaan Nyai itu. Rantai bara yang membuat hatiku menggigil. Mengapa Nyai bisa kalah? Bukankah menurut Mbah Ulun, Nyai mempunyai kekuatan yang tak ada tandingannya? Bahkan dikalangan makhluk gaib, ia menjadi primadona karena menjadi tangan kanan sang ratu.

"Tidak .., tidak! Jangan!" Nyai Wangsih menjerit ketika Candaka mendekat dengan sebilah belati perak.

"Ketika kau kembali ke alammu, sampaikan pada ratumu. Bahwa aku, Candaka, akan menemuinya lagi di suatu hari nanti." Bisikan itu lirih, tetapi keheningan ruangan ini membuat bisikan itu terdengar.

Nyai Wangsih membelalak ketakutan. Begitu pun denganku. Kekuatanku ada pada keberadaan Nyai. Jika dia musnah, maka aku pun akan musnah. Dengan logika tersebut, aku kembali memandang Kania. Amarahku kembali naik.

Dengan dua langkah lebar aku menarik rambut wanita itu kemudian mencengkeram lehernya.

"Kalian!" teriakku. Empat pasang mata menoleh padaku. Termasuk Menik, gadis pengecut itu membelalak terkejut. Barangkali ia tak menyangka aku akan nekat seperti ini.

"Kau!" Kalya berteriak, "lepaskan Kania!"

Wanita itu hampir menyerangku sebelum jeritan Kania melengking. "Selangkah kalian mengarah kemari, aku akan membunuhnya. Jika dia mati, maka gadis di sampingmu pasti akan mati." Aku terkekeh. Mataku menyorot keji mereka.

Nyai Wangsih tertatih bangkit, ia perlahan membuka rantai belenggu itu. Wajah dan tubuhnya rusak dengan kulit hampir terkelupas. Ia menyeringai ke arahku. "Kau memang pengikut setiaku, Rindi!" ucapnya memujiku. Aku mengangguk dengan mata membara.

Melihat kondisi yang tak menguntungkan, aku dan Nyai harus segera pergi dari sini.

"Jika kalian ingin Kania tetap hidup, maka jangan ada yang bergerak. Selangkah kalian bergerak, aku akan membawa Kania ke alam baka," ancamku sambil menyeret Kania menuju pintu keluar.

Nyai Wangsih mengangguk. Seringainya mengerikan, tetapi aku tahu ia tengah memujiku. Lagi, kuseret tubuh Kania dengan mencekik lehernya. Dan ketika kami, tiba di mulut gua, Nyai menghilang dengan menghempasakn selendangnya. Meninggalkan kabut putih pekat yang menutupi semua pandangan.

Melihat kesempatan tersebut, aku langsung mendorong Kania hingga wanita itu tersungkur. Langkahku cepat berlari menyusuri lorong. Kekuatanku melemah tiba-tiba, sehingga tak bisa menggunakannya untuk kabur. Namun, Nyai mau berbaik hati dengan menggunakan kabut tersebut.

Sedikit lagi sampai pintu keluar. Kugerakan laju lari semakin cepat. Dan ketika aku yakin sekali melihat pintu gua ini aku langsung menerobosnya.

"Hah, hah, hah ...." Napasku tersengal. Kutolehkan kepala menatap pintu gua. Pikiran licikku kembali. Karena rencana mengambil aura Romi gagal. Maka mereka yang berada di luar sana tak akan mendapatkan ampun dariku.

Kuhentakan kaki tiga kali sambil emrapalkan mantra. Tanah bergetar disertai suara retakan dari gua di depanku. Lalu getaran semakin besar hingga gua itu runtuh, bebatuannya menutupi pintu gua.

"Hahahahaa ... mampus kalian semua! Mati kalian!" aku berteriak penuh euphoria. Setidaknya mereka semua pasti mati di dalam.

"Rindi ...." Suara yang kukenal memanggilku. Aku mengernyit, lalu perlahan berbalik.

Kedua bola mataku membelalak seakan ingin keluar dari mata ini. Tubuh langsung gemetar menatap pemandangan mengerikan di depanku.

Gadis berjubah merah atau yang disebut Candaka itu tengah mencekik leher Nyai Wangsih. Kalya di sisinya menjaga Romi, sedangkan Menik membantu memapah Kania. Apa? Apa yang terjadi? Bukankah mereka berada di dalam.

"Rindi!" suara Menik agak keras membentakku. "Kau benar-benar kelewatan!"

Aku tak mendengar apa yang ia ucapkan. Yang aku hiraukan adalah kondisi Nyai yang amat mengenaskan. Bukankah ia menghilang tadi dengan meninggalkan asap. Mengapa sekarang ada di sini?

"N,nyai ...."

Nyai Wangsih tak berdaya memandangku. Tangan yang mencekiknya amat sangat kuat. Aku dapat merasakan rasa sakit itu hingga membuat napasku semakin tersengal.

"Kau!" Candaka menunjuk padaku.

"Kau mengancam membunuh ibu yang akan melahirkanku," desisnya membuatku bergidik.

"Lihat baik-baik, Rindi. Lihat bagaimana caraku mengirim iblis pujaanmu kembali ke alamnya." Suaranya teramat dingin, membekukan hingga ke tulang-tulangku.

Dan keadaanku yang masih syok, semakin tak tahan menerima pukulan psikis yang teramat mengerikan. Hanya dengan satu tangannya, wanita berjubah merah itu mengangkat Nyai Wangsih. Tubuh Nyai ia lemparkan, bersamaan dengan itu Candaka melompat. Entah muncul dari mana sebuah panah beserta anak panahnya telah terentang di tangannya. Begitu cepat melesat, dan kobaran api membakar tubuh Nyai ketika panah itu menancap dadanya.

Jeritan Nyai adalah musik kekalahan untukku. Hingga kemudian aku merasakan rasa panas dalam tubuh. Begitu panas hingga aku merasa telah datang ke neraka.

Aku menjerit lalu tersungkur. Menggelepar dan berguling-guling.

Menik terisak menatapku. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Namun, aku tak ingin sendiri.

"Menik, Menik! Tolong aku," jeritku ditengah gelepar rasa panas tubuh.

Menik semakin terisak. Namun, ia tak berani beranjak. Ia hanya saling menatap dengan Kania. Aku benci melihat kedekatan mereka. Menik sahabatku, mengapa dia tak mau melihatku?

"Menik ... tolong ...." Bahkan rintihanku sudah semakin pilu. Namun, gadis pengecut itu sama sekali tak beranjak ke sisiku.

Getaran tanah tiba-tiba kurasakan. Tanah retak perlahan-lahan membuka lebar. Aku terbelalak ngeri. Tidak! Tidak! Aku tak ingin mati, mereka belum mati semuanya. Musuhku belum mati!

"Menik! Tolong aku!" teriakanku berkumandang lantang.

Dapat kurasakan tangan-tangan hitam merayap keluar dari tanah yang retak. Aku mencoba bangkit dan berlari ke arah Menik.

Namun, tak sampai tanganku menggapai Menik. Tarikan kuat menarik kakiku hingga tubuh ini jatuh tertelungkup.

Tangan-tangan hitam menggapaiku beramai-ramai. Aku menjerit. Meneriakan nama Menik. Namun, gadis itu tak sedikitpun maju untuk menolongku.

Aku terjatuh dalam pusaran kegelapan. Hingga tanah benar-benar menutup kembali, tangan-tangan hitam ini terus menerus menyeretku.

Menik. Menik. Aku tak akan melepaskanmu.

Aku berjanji. Bahwa jika aku terjebak dalam neraka, aku akan merangkak keluar dan menarikmu kembali.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro