Part 19 (Menik)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Lima bulan berlalu sejak menghilangnya Rindi. Aku tak tahu harus bersyukur atau sedih. Satu sisi aku bahagia terlepas dari jerat iblis. Di sisi lain, aku sedih harus kehilangan sahabatku. Sosok yang berani melindungi dan membela diri ini dari dulu.

Aku bukan wanita yang tak tahu terimakasih. Semua kehidupan damaiku memang hasil dari pertolongan Rindi. Ketika dulu, Ibu dan Mba Nurma berniat menjualku, hanya Rindi dan keluarganya yang berani membantu. Bahkan melindungi keberadaanku selama setahun penuh.

Belum juga aku dapat membalas pertolongan mereka, kabar terakhir yang kudengar, bahwa mereka telah pergi jauh. Ketika aku dan Rindi bertemu lagi. Siapa yang menyangka bahwa dia telah terjerumus dalam jurang iblis. Menjebakku dalam lingkaran kegelapan yang ia buat.

Namun, ini semua juga bukan salah Rindi. Jika saja mata hati ini tidak buta, mungkin aku lebih peka dengan keanehan-keanehan sahabatku itu. Kematian Paman Mas Romi yang misterius adalah salah satu contoh, tetapi aku tak ingin tahu mengapa itu terjadi.

Jika saja ... ah sungguh aku menyesal dengan lambatnya kesadaranku ini.

Pada akhirnya, aku memang selamat dari jerat Rindi, tapi entah mengapa ada lubang menganga di hati ini. Dan lubang kesepian itu semakin melebar tatkala melihat sosok pria yang sampai saat ini masih kucintai.

Mas Romi. Dia begitu bahagia dengan keluarga barunya. Senyum tulus pria itu ketika menatap bayi dalam gendongan istrinya membuat hatiku perih. Dan kecupan di dahi Kania, masih saja menggores hati ini.

"Mba Menik," sapa Kania menyadari keberadaanku yang tengah memandangi mereka berdua.

Aku mengerjapkan mata, menahan airmata yang hampir menetes. Kusunggingkan senyum lalu masuk ke ruang rawat inap di mana Kania duduk bersandar di ranjang sambil menggendong bayinya.

"Hai," sapaku menatap mata mereka satu persatu. Ingin kutatap lama mata bening Mas Romi, tapi aku takut. Aku tak bisa mengendalikan diriku, lalu membuat tindakan amoral pada mereka.

"Aku mendengar kabar kau melahirkan. Jadi, aku terburu-buru ke sini. Maaf jika kedatnganku ...."

Aku berhenti berkata, merasa canggung sendiri. Kania tersenyum lalu menyodorkan bayinya ke tangan Mas Romi. Pria itu dengan sigap mengambil alih anaknya. Dapat kulihat bayi cantik itu membuka matanya sebentar sebelum menutup kembali. Ah, alangkah bahagianya Mas Romi.

Kania memegang tanganku sambil berkata, "Terimakasih, Mbak Menik sudah datang kemari. Aku sangat bahagia."

Senyum Kania menular ke bibirku. Aku menangkup tangan wanita itu. Memandang mata jernihnya yang berbinar. Tentu, bagaimana mungkin Mas Romi tak bisa mencintainya. Kania memang mudah menaklukan hati setiap orang, termasuk hatiku.

Pada akhirnya, meski aku tak rela. Aku mengakui, Kania memang yang dibutuhkan Romi untuk mengarungi kehidupan.

"Aku kemari ingin berkunjung sekaligus pamit pada kalian," sahutku sambil memandang Kania. Kening wanita cantik itu mengernyit.

"Pergi?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Aku akan pergi ke kota lain, membuka lembaran baru di sana."

"Tapi ...."

"Ini sudah keputusanku, Kania." Aku melirik Mas Romi yang terdiam sambil menimang anaknya. Ah, apa yang kuharapkan? Menik, Menik ... kau menyedihkan.

"Kania, aku meminta ma ...."

"Mbak," potongnya sambil mengeratkan jemarinya meremas jemariku. "Kita berteman, kan?"

Aku terhenyak. Entah apa yang kurasakan sekarang, tiba-tiba saja bayangan Rindi berkelebat di benakku. Hatiku bergejolak dengan rasa marah tiba-tiba.

Kuhela napas beberapa kali, hingga aku berani menatap mata Kania kembali. "Tentu saja, Kania ... kita berteman."

Bayi dalam pelukan Mas Romi merengek, sehingga Kania melepaskan tanganku kemudian mengambil anaknya kembali. Melihat pemandangan keakraban mereka membuat hatiku semakin tak kuat. Keputusan ini rasanya tepat. Aku harus pergi dari ruang lingkup Mas Romi.

"Baiklah, aku harus pergi sekarang. Aku bahagia melihat anak kalian, dia pasti akan menjadi anak yang hebat kelak," pujiku sambil menatap bayi di gendongan Kania.

Kania tersenyum, kemudian mengecup dahi anaknya. "Namanya Kinanti ... ibuku yang memberinya nama. Katanya, itu nama sahabatnya dulu."

Aku tersenyum sambil menganggukan kepala. Setelah bertukar kata beberapa kalimat akhirnya aku meninggalkan mereka. Melepas rasa sesak yang kian menghimpit dada. Ternyata hati ini tak setegar niat muliaku.

Menyusuri lorong rumah sakit, aku menundukan pandangan sambil sesekali mengusap airmata yang terus menetes.

"Menik," panggilan seorang pria yang amat kukenali membuat langkahku berhenti. Namun, tak lantas berbalik. Aku hanya tak mempercayai apa yang kudengar. Apakah ini halusinasi?

"Menik," panggilan itu kembali kudengar.

Kali ini, dengan perlahan aku berbalik. Netraku mengembun melihat Mas Romi menyusulku. Apakah dia akan menghentikan kepergianku seperti di sinetron-sinetron yang kutonton?

"Menik, aku ingin bicara sebentar." Dia terlihat tenang, meski aku tahu ia juga pasti canggung berhadapan denganku.

"Aku ingin minta maaf padamu. Semua bencana yang terjadi kemarin, semua terhubung karena aku dan keluargaku. Kau adalah korban dari lingkaran bencana ini. Aku ... aku sangat merasa bersalah padamu."

Aku menggigit bibir dengan keras, menahan isakan yang hendak keluar. Mas Romi meminta maaf, tetapi mengapa hatiku merasa perih? Bahkan lebih perih dari sebelumnya. Jika saja dia tak meminta maaf itu lebih baik. Aku mengepalkan tanganku menekan rasa sakit hati.

"Aku tak apa-apa, Mas! Jangan meminta maaf seperti itu, aku ...." Aku terdiam ketika sebuah isakan lolos dari bibirku. Kenangan bersamanya berhamburan keluar, semakin membuat sakit hati dan pikiranku.

"Menik ...."

"Aku tak apa-apa, Mas! Aku akan baik-baik saja." Kuusap air mata yang meleleh di kedua pipi. Kemudian berbalik memunggunginya.

"Menik, tunggu!" Mas Romi menyela dengan berdiri di hadapanku kembali.

"Aku tak ingin di masa depan nanti, ada beban di hati kita masing-masing. Karena itu, aku ...." Dia mengulurkan tangan.

"Aku berharap setelah ini hidup kita masing-masing berjalan dengan baik. Maafkan aku atas semua kesalahanku dulu," ucapnya sambil tetap menyodorkan tangan.

Aku masih menatap uluran tangan itu. Perang batin mulai berkecamuk, menerima uluran tangan berarti aku harus siap melupakannya. Namun, jika tidak, akulah yang tetap menderita karena terus memuja tanpa memilikinya.

Akhirnya kujabat tangan kokoh itu. Mungkin, ini adalah jabat tangan terakhir kalinya. Namun, aku puas kala senyum tulus terbit pada bibir pria itu. Senyum yang dulu membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan senyum ini pula yang akan mengakhiri harapan hati ini padanya.

Setelah melepaskan jabat tangan, Mas Romi pamit sambil meninggalkan kalimat basa-basi agar aku berhati-hati di jalan. Klise, tapi aku suka. Jika perhatiannya bukan lagi menjadi seorang kekasih, tak apa jika dia memperhatikanku sebagai seorang teman. Tentu, bukankah itu masih diperbolehkan?

Kali ini langkahku lebih ringan menyusuri lorong rumah sakit. Kuhapus airmata dengan senyuman terukir. Hati ini mulai terasa lega ketika menjabat tangannya. Semacam menemukan sebuah kunci yang tepat, gembok dendam di hati ini membuka. Mengurai segala aura negatif hingga hilang tak berbekas.

Aku berdiri di sisi mobil, memakai kacamata hitam sebelum membuka pintu lalu masuk ke dalam. Kurogoh tas untuk mencari kunci mobil. Namun, gerakanku terhenti ketika dari sudut mata aku merasa melihat sosok yang sedang duduk di jok penumpang belakang.

Namun, ketika menoleh, aku tak mendapati siapa-siapa di sana. Keningku mengernyit, karena tadi terlihat jelas ada yang duduk di jok belakang.

Ketika kunci telah kutemukan, aku langsung menyalakan mesin mobil lalu keluar dari pelataran parkir. Mengarungi jalanan yang lumayan lengang karena hari telah bergulir ke waktu senja.

Sepanjang jalan aku sering menatap kaca spion belakang. Memastikan bahwa yang tadi kulihat hanyalah halusinasi. Lalu ketika tak ada apapun yang muncul lagi, aku menghela napas lega.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kulihat palang petunjuk arah mengarah ke kiri. Meski terasa aneh, aku tetap mengikuti petunjuk itu.

Aku memandang jalanan yang tiba-tiba berkabut. Bau melati menyeruak ke hidungku. Kabut yang aneh karena area pegunungan masih jauh di sana, tetapi di jalan ini sangat pekat. Lampu mobil bahkan tak menolong penerangan jalan sama sekali.

Aku mulai merasa ini semua terasa aneh. Bebauan yang amat kukenali kembali menusuk hidung. Kudengkuskan hidung mencoba mengingkari bau melati dan kantil ini. Namun, semakin menolak, bau ini semakin pekat.

Mobil terasa melaju begitu pelan, padahal pedal gas kuinjak dengan kuat. Namun, kecepatan mobil sama sekali tak berubah. Jantungku mulai memacu cepat. keringat dingin mulai keluar. Tanganku mencengkeram erat setir. Tak berani menengok ke belakang.

Rasa takut semakin meningkat seiring mobil yang berhenti tiba-tiba. Dari ujung mata aku melihat sekuntum kantil di jok samping. Tanganku gemetar, bibir membuka untuk melepaskan rasa sesak. Bola mataku melirik kanan dan kiri melihat ke sekeliling. Ini bukan jalan ke arah rumahku, aku tak tahu ada di mana karena hanya ada kabut di area ini.

"Tolong!"

"Tolong!!!" Aku berteriak kencang. Tanganku mencoba membuka pintu mobil. Namun, sekuat apa pun aku mencoba, pintu mobil tak mau terbuka.

"Menik ...." Suara serak memanggil.

Aku tersentak saat merasakan belaian kuku-kuku panjang dari belakang. Menyusuri kepala hingga ke bahu. Tak kuat lagi aku memejamkan mata.

"Apa yang kau inginkan?" lirihku.

"Buka matamu," ucapnya serak. Aku menggeleng.

"Buka matamu!"

Gelenganku bertambah keras. Suara tawa terkikik membuat bulu kudukku semakin meremang. Kembali kurasakan belaian itu, kali ini diiringi dengusan.

"Menik, ikut aku!"

"Kita sudah berjanji, persahabatan sehidup semati."

Tubuhku bergetar. dan ketika kuku-kuku panjang itu membelai leher, aku membuka mata. menatap spion dalam. Memandang wajah mengerikan berdarah di sana. Aku terisak.

Rindi di sana. Menyeringai dengan luka di wajahnya yang menganga. Saat aku melirik di jok sampingku, sosok wanita berkebaya kuning itu duduk. Senyum kecil menghias di bibirnya. Mistis dan kelam.

"Menik ... ikut kami," ucap Rindi di sisi telingaku.

Aku menjerit. Jeritanku keras, tetapi teredam oleh tangan-tangan hitam yang tiba-tiba muncul menjalar merayapi tubuhku hingga membekap mulut. Aku merasa melayang. Dibawa terbang oleh Rindi. Saat aku menatap ke bawah mobil yang kukendarai telah terjun ke jurang. Terbentur bebatuan besar hingga menimbulkan ledakan.

Tawa Rindi membahana, mengiringi tangis tanpa suaraku. Aku semakin terpojok dalam sudut gelap. Hingga ketika tangan Nyai Wangsih menutupi mataku, aku tak lagi bisa berkutik.

"Persahabatan kita adalah persahabatan sehidup semati. Saat inilah waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Jika kita tak diterima di dunia manusia, maka ayo hidup di duniaku."

Hanya suara sayup-sayup itu yang kudengar sebelum aku memasuki kegelapan ini. Entah aku berada di mana, aku tak tahu. Yang kurasakan hanya dingin di sini.

Tolong aku!

TAMAT (versi KBM dan Wattpad)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro