Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Persetujuanku untuk melanjutkan ritual, membuatku ditinggalkan sendiri dalam goa. Mbah Ulun pergi setelah menyiramkan air bunga tujuh rupa dan membacakan mantra. Masih kuingat pesannya sebelum ia pergi.

"Nduk, apapun yang terjadi nanti. Jangan menjerit, jangan berkata sedikit pun, tetap kunci mulutmu."

Aku hanya mengangguk sambil menatapnya was-was. Masih ada keraguan dalam hati, bahwa benarkah Mbah Ulun akan menolongku? Bukankah kata Rindi persyaratan memelet orang tak rumit, cukup bayar mahar lalu beres. Mengapa aku berbeda?

Ah! Seharusnya aku menanyakan hal detail pada Rindi. Pelet apa sebenarnya yang Mbah Ulun berikan nanti?

Berusaha menenangkan diri kuusap-usap bahu dan tengkuk, menghalau hawa dingin yang mulai menyusupi serat pakaian. Jika saja tahu aku harus bermalam di goa, aku tak mungkin memakai pakaian tipis seperti ini. Namun, demi Mas Romi, akan kulakukan apa pun yang akan membuatnya kembali ke pelukan.

Kuedarkan pandangan mengamati ruangan goa ini. Tak ada cahaya membuat suasana semakin suram. Hanya suara-suara tetes air dan serangga yang terdengar. Bahkan desah napasku pun terasa tertahan.

Kembali kuedarkan pandangan. Bau kemenyan yang dibakar semakin pekat. Kuusahakan menenangkan degup jantung yang entah kenapa mulai berdetak cepat. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Namun, baru kali ini rasa takut mulai mencekam.

Sepi.

Tiba-tiba suara tetes air berhenti. Pun dengan suara serangga menyepi. Sesuatu terlihat berkelebat. Cepat tak tertangkap jelas tentang apa itu.

Sekedar menelan salivaku saja tenggorokan ini terasa tercekat. Aku tak tahu apa yang berkelebat tadi. Ruangan ini kecil rasanya tak mungkin jika ada seseorang masuk tanpa meninggalkan suara langkah kaki.

Suasana semakin mencekam tanpa kutahu ada apa sebenarnya. Kutajamkan pandanganku menatap ke depan, memastikan bahwa tak ada bahaya sama sekali. Akan tetapi sesuatu menghentak degup jantungku hingga berpacu cepat.

Sekumpulan cicak merayap keluar entah dari mana menuju ke arahku. Langkahnya cepat bahkan teramat cepat dari cicak yang biasanya kulihat. Hewan-hewan menjijikan itu berkumpul di dekat kaki. Entah mengapa aku merasa mereka mengamatiku.

Aku ingin berteriak, tetapi tiba-tiba tak ada suara sedikit pun yang dapat kukeluarkan.

Cicak-cicak itu merayap kembali dan mulai menyusuri kaki. Aku menjerit tertahan dan menghalau binatang menjijikan itu. Kugerakan kaki agar mereka terlepas, tetapi bukannya terlepas, mereka semakin merayap cepat.

"Khaa khaa ...." Hampir saja menjerit sampai suara Mbah Ulun terdengar di telinga.

"Jangan menjerit!"

Kukatupkan bibirku rapat-rapat. Tak ingin melihat para cicak itu menyerang, akhirnya aku menutup mata. Mencoba mengabaikan rasa geli dan jijik dengan hewan yang merayapi tubuh, kubayangkan wajah Mas Romi.

Benar. Mas Romi. Mas Romi. Dia adalah mantra mujarab.

Terus kusebut namanya dalam relung kalbu. Tak kuhiraukan cicak-cicak yang semakin banyak merayapi tubuh hingga hampir menutupi wajah. Ini tak seberapa, jika Mas Romi adalah imbalannya.

Mas Romi. Mas Romi. Mas Romi. Nama itu terus kugaungkan di hati dan pikiran. Dan keyakinanku semakin kuat bahwa namanya adalah mantra ajaib. Hingga cicak-cicak yang menyelimuti tubuh pun kini raib tak bersisa.

Aku menghela napas lega, Mas Romi selalu menjadi penolongku. Bahkan namanya saja telah menolongku dari gangguan binatang menjijikan itu.

Dengan senyum terkulum manis, kubuka perlahan kelopak mata. Namun, bau busuk tiba-tiba menguar tajam. Kuenduskan hidung mencari sumbernya.

Tanganku berkali-kali mengusap hidung berusaha menghentikan aroma busuk yang semakin pekat. Napasku tersengal karena udara yang tercemari tak dapat dihirup lagi. Aku membungkuk mencoba mencari udara yang lebih segar, tetapi saat itulah aku melihatnya.

Jantung yang semula tenang mulai berdegup kembali, saat makhluk mengerikan didepanku mulai mendekat hingga tepat berhadapan dengan wajah. Ia menyeringai.

BERSAMBUNG


Vote dan komen jangan lupa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro