Part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanganku berkali-kali mengusap hidung berusaha menghentikan aroma busuk yang semakin pekat. Napasku tersengal karena udara yang tercemari tak dapat dihirup lagi. Aku membungkuk mencoba mencari udara yang lebih segar, tetapi saat itulah aku melihatnya.

Jantung yang semula tenang mulai berdegup kembali, saat makhluk mengerikan didepanku mulai mendekat hingga tepat berhadapan dengan wajah. Ia menyeringai.

***

Tubuhku bergetar tak tertahan ketika sosok berkain kafan dengan balutan noda tanah semakin mendekat. Bau busuk menerpa seantero ruangan goa kecil ini. Dalam gelap, aku melihat sosok berkain kafan lain yang datang dari sisi kiri. Tak kuasa ingin menjerit, tetapi suara yang keluar seakan terhempas dalam kehampaan.

Satu. dua, tiga, empat, lima. Aku terbelalak ketika pocong-pocong berdatangan mengerumuniku. Mendekat bersamaan dan mengendus lebih keras dari sebelumnya. Aku menjerit di dalam hati, kekuatanku rasanya luruh.

Ingin beranjak, tetapi tubuhku tak bisa bekerja dengan baik. Akhirnya, aku hanya bisa memejamkan mata ketika pocong-pocong itu mengendusi tubuh dan wajahku dari berbagai sisi.

"Bertahanlah, Nduk!" Sayup kudengar suara Mbah Ulun bergema di pikiranku.

Benar, aku harus bertahan. Ini pasti ujian-ujian semedi ini. Dengan tubuh gemetar menahan rasa takut, kupejamkan mata erat-erat. Mencoba menjernihkan pikiran, kembali nama Mas Romi kugemakan. Hanya dia pengobat segala lara dan ketakutan.

Ini demi Mas Romi. Demi cinta kita berdua. Imbalan yang seimbang dan tak akan pernah kusesali.

Bau busuk semakin pekat, meski aku menahan sedemikian rupa. Aku juga merasa tiupan dan ludahan dari segala sisi menerpa sekujur tubuh. Rasa jijik tak tertahan, ingin menjerit dan memberontak, tetapi bayangan wajah Mas Romi muncul dan menghentikan niatku. Aku harus bersabar menahan semua.

Namun perlahan, entah mengapa setiap ludah yang mengenaiku membuat tubuh ini semakin ringan. Bau busuk yang sebelumnya pekat perlahan-lahan menghilang, aku merasa tubuhku begitu kuat dan segar.

Masih kurasakan endusan dari berbagai sisi. Namun, kali ini kubuka mataku. Mengamati para pocong itu menggesekan wajahnya ke sekujur tubuh.

Anehnya, aku tak lagi takut. Bahkan setiap endusan mereka memberikan rasa lain pada tubuhku. Aku sendiri tak mengerti apa itu.

Tubuhku terasa diselimuti kekuatan tak kasat mata yang semakin merasuk hingga ke tulang-tulang. Mengikuti naluri, kugerakan jariku laksana mengibas.

Pocong-pocong yang semula mengendusku perlahan bergerak menjauh. Mengamatiku sebentar kemudian menghilang meninggalkan bau wewangian kamboja.

Pikiranku masih terasa linglung selepas menghilangnya pocong-pocong itu. Kupandangi tangan dan tubuhku, mengamati hingga meneliti apakah ludah menjijikan itu ada. Namun, tak ada ludah menjijikan setetes pun. Aneh, bahkan pakaian dan wajahku juga terasa kering.

"Tak perlu aneh, Nduk!" Tiba-tiba dari sudut gelap Mbah Ulun keluar dengan memegangi nampan dengan cawan kecil.

Mbah Ulun mendekat lalu mengibaskan tangannya, seketika ruangan goa ini terang karena lilin-lilin yang berada di sisi tembok batu menyala sangat terang. Kulihat jelas senyum lembut tersungging di bibir Mbah Ulun. Ia mendekat lalu menyodorkan nampan tepat ke hadapanku.

"Apa ini, Mbah?"

Aku melihat cairan mirip darah, bergolak dipenuhi asap putih. Mbah Ulun semakin menyodorkan nampan tersebut.

"Minumlah!"

Aku terbelalak tak percaya. Kudongakan wajahku menatap Mbah Ulun, memastikan keseriusannya. Wajah Mbah Ulun begitu tenang, tatapannya datar.

"Setelah meminum ini, kau akan bisa mengendalikan orang-orang yang kau mau. Bukankah, selain ingin mendapatkan Mas Romi, kau juga mempunyai dendam besar pada keluarganya?"

Ucapan Mbah Ulun membuatku terkesiap. Dari mana Mbah Ulun tahu mengenai dendamku?

Dendam. Benar, aku sangat membenci keluarga Mas Romi. Terutama ibunya. Masih kuingat penghinaan besar dari Bu Rahmi padaku. Di depan orang-orang dia bahkan mengumumkan bahwa selangkah pun aku tak akan diijinkan masuk ke pekarangan rumahnya.

"Putraku telah dijodohkan. Jadi, kau tak akan bisa masuk ke keluarga kami. Selagi aku masih baik padamu, pergilah baik-baik."

"Jangan mengganggu putraku lagi."

"Dasar wanita sundal, kamu tidak dengar Romi bahkan tidak mau berhubungan denganmu lagi? Di mana rasa malumu itu?"

"Romi akan menikah sebentar lagi, jadi jangan pernah datang ke rumah ini lagi. Jangan ganggu dia lagi!"

"Kau benar-benar tak tahu malu. Masih saja berkeliaran di sekitar Romi. Benar-benar wanita jalang!"

Dan ucapan-ucapan lainnya berkumandang di kepalaku. Membekukan otakku untuk berpikir. Kebahagian kami berakhir karena wanita tua itu. Wanita yang paling kubenci selain istri Mas Romi.

Aku tak akan membiarkan siapa pun menghalangi kebahagiaanku dan Mas Romi. Kami diciptakan untuk bersama, karena itu aku akan menghilangkan semua penghalang yang akan menghalangi hubungan kami. Akan kubuat mereka bertekuk lutut di hadapanku.

Jika bukan karena ibunya, Mas Romi tak akan memutuskan hubungan kami. Aku dan Mas Romi akan menikah. Akulah yang seharusnya menjadi istrinya.

Jika bukan karena ibunya, Mas Romi tak akan menolak kehadiranku lagi. Semua ini karena ibunya.

Kutatap tajam cawan berisi cairan yang mirip darah itu. Kilasan wajah Mas Romi, wajah ibunya, wajah istri Mas Romi membuat darah semakin mendidih.

Mengikuti panasnya hati, kuangkat cawan tersebut lalu meneguknya dalam sekali tegukan. Tak kuhiraukan bau amis darah dan panas di tenggorokan.

Otak ini penuh dendam. Hati ini penuh kabut kebencian. Hanya satu tujuanku sekarang. Membuat mereka bertekuk lutut hingga menciumi sepatuku.

Selesai meneguk cairan merah itu, aku mengusap bibirku yang masih menyisakan sedikit rasa cairan itu. Mbah Ulun mengambil cawan lalu meletakannya di sebuah meja batu. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya dan menempelkan telapak tangan pada kepalaku.

Suma sing nerpati lagawilung anjaki
Suma sing maliki andasih
Kun kulo panggenan mriki
Nyai, Nyai Wangsih panutur kulo
Parak mriki ono sing nunggu

Mbah Ulun mengucapkan mantra-mantra yang tak kumengerti. Aku hanya menurut dan menundukan kepala semakin dalam.

Sepoi angin membelai pipiku. Mengantarkan hawa dingin yang terasa berbeda. Tubuhku gemetar tiba-tiba, dingin merasuk hingga terasa hingga tulang sum-sum. Namun kemudian, rasa dingin berganti dengan rasa panas yang membakar.

Aku ingin menjerit, tapi tenggorokan tercekat. Kudongakan wajahku berharap pertolongan Mbah Ulun. Namun, Mbah Ulun semakin kencang meneriakan mantra-mantra yang membuat kepala terasa pusing. Rasa panas dan dingin seakan berbenturan dalam diri. Membuat kabut gelap yang menerjang penglihatan tiba-tiba. Kukerjapkan mata mencoba menghalaunya, tetapi kabut itu seakan tak mau pergi.

Telingaku berdengung. Namun, sayup kudengar tawa dan teriakan yang bergema. Entah apa itu aku tak tahu, rasanya ingin kututup saja telinga ini. Namun, jangankan menggerakan tangan, jari-jariku pun seakan mati rasa.

Angin sepoi-sepoi tiba-tiba berubah menjadi angin kencang. Melingkupi diriku dan Mbah Ulun yang seakan tak terganggu dengan kehadiran angin besar ini.

Teriakan Mantra semakin nyaring, pusaran angin pun semakin kencang. Aku tak kuasa berteriak, menahan sakit hingga air mataku keluar. Lalu, rasa panas menggelegak terasa kini naik ke dada. Namun, bukannya ingin menyerah, hatiku merasa bergejolak ingin cepat menuntaskan dendam.

Dan ketika kesadaranku hampir di ujung batas, aku melihatnya. Sosok wanita cantik memakai kebaya kuning dengan kain jarik parang rusak, selendang merah tersampir di bahunya, sanggul dengan rias melati dan kantil, wajahnya sangat mempesona.

Dia menatap tajam padaku. Wangi melati tercium dari arahnya. Kedatangannya membuat angin kencang berhenti lalu menghilang bagai tak pernah muncul.

Dengan wajah penuh senyuman, ia mengunci pandanganku kemudian berkata, " Kukabulkan permohonanmu, Nduk!"

BERSAMBUNG


Vote dan komen jangan lupa ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro