Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pikiranku linglung. Ucapan wanita berkebaya kuning terus bergaung di telinga. Antara sadar dan tidak aku seperti memasuki alam lain. Dalam pandangan mata hanya terlihat manusia-manusia yang menjerit karena siksaan.

Ada rasa takut menyelusup, apalagi ketika manusia-manusia itu mulai menggapai-gapai ke arahku. Masih terpaku pada pemandangan mengerikan itu, tepukan pada bahu menyadarkanku kembali. Kutolehkan wajah ke arah kiri.

Aku melihat Mas Romi. Ia berjalan menuju ke arahku, tetapi kemudian langkahnya terhenti ketika sosok wanita lain menghalangi jalannya. Mas Romi bergeming. Ia tak lagi melihatku, tetapi mengikuti langkah wanita itu.

Kujeritkan namanya berusaha mengejar. Namun, ia sama sekali tak menghiraukan panggilan dariku. Wanita yang bersamanya menoleh lalu tersenyum sinis.

Aku tahu dia. Si sundal yang merebut Mas Romiku. Wanita yang menjadi penghalang besar dalam hubunganku dengan Mas Romi.

"Kania! Kania! Berhenti!!!"

"Mau kau bawa ke mana Mas Romiku?!"

"Berhenti kau, keparat!"

Langkah mereka berdua terus maju tanpa menghiraukan teriakan dan kejaranku. Sungguh aku benci wanita sok alim pilihan keluarga Mas Romi ini. Sengaja sekali dia menjauhkan Mas Romi dariku.

"Nduk!"

Panggilan Mbah Ulun seakan menyadarkan kembali. Aku mengerjap lalu menoleh ke arahnya. Keningku mengernyit ketika menyadari tak lagi berada di dalam goa. Bagaimana caranya kami berdua sampai di pondok Mbah Ulun lagi?

"Kau bisa pulang sekarang," ucapnya sambil memasukan sirih ke dalam mulut kemudian mengunyahnya. "Temanmu menunggu di luar," lanjutnya membuatku bingung.

"Temanku?" Aku membeo. Terheran karena aku ke sini hanya seorang diri.

"Hemm ... Setelah kau pulang ingat satu pesanku, setiap selasa kliwon sediakan sesajian khusus di ruangan tertentu. Kau mengerti?"

Kuanggukan kepalaku kemudian mengucap pamit yang dijawab dengan anggukan kaku Mbah Ulun.

Rindi menoleh, lalu tersenyum ketika aku keluar dari pondok. Gadis itu tengah memainkan kunci mobil di tangannya saat aku menghampiri.

"Kok bisa kamu ke sini? Bukannya kamu ada kerjaan?"

Rindi menatapku heran, "itu kan seminggu yang lalu, lagian kamu gak pulang seminggu ini. Aku cemas lah, karena itu nyusul ke sini."

"Seminggu?"

"Emang kamu pikir berapa hari?" Rindi menatapku yang masih kebingungan.

"Aku, aku kira hanya semalam," kataku dengan nada tak pasti.

Rindi mencebik, setengah mendorongku ia membuka pintu kap mobil.

"Sudah ayo kita pulang, supaya sampai di rumah tidak terlalu malam. Lagipula, ada kejutan besar untukmu." Rindi terkekeh.

Aku hanya mengikuti perintahnya duduk di kursi penumpang, memasang seat belt dengan aman. Sedangkan Rindi, gadis itu kini mulai mengemudi membawa kami keluar dari pekarangan halaman pondok Mbah Ulun.

Ketika mobil melewati palang penanda jalan, kulihat wanita berkebaya kuning berdiri di sana. Matanya menatapku tajam. Entah mengapa aku merasa tatapannya terus mengikuti. Bahkan ketika mobil telah melaju di jalan besar, perasaan itu tak kunjung hilang juga.

***

Kutatap rumah dengan halaman bernuansa asri yang tepat berada di depanku. Penuhnya aneka tanaman membuat rumah itu terlihat sangat nyaman. Namun, ini semua membuatku perih. Dulu, aku dan Mas Romi lah yang memilih rumah ini, dengan rencana manis kami berdua, rumah ini didesain sesuai keinginanku.

Akan tetapi, wanita itulah yang kini menempatinya. Tanpa tahu malu ia merebut segalanya. Bahkan kini dengan senyum busuk, wanita itu tengah menyambut para tamu yang datang untuk menghadiri syukuran rumah baru ini.

"Gak niat masuk?" Rindi berbisik.

Netraku menghangat, hati bertambah panas, bisikan-bisikan provokasi semakin dalam. Memacu dendam, menjelaga bak lahar yang siap meletus. Kukepalkan telapak tangan hingga kuku jari ini menusuk kulit telapak hingga berdarah.

Mas Romi yang berdiri di sisi wanita sundal itu tiba-tiba menengok. Mata kami bersirobok. Dan kurasakan desir halus di hati ini. Lama kami berdua berpandangan hingga si sundal itu menyenggol lengannya. Mas Romi memutus pandangan kami. Hal yang semakin membuatku sakit, ia tersenyum sambil memeluk si sundal kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah. Rumah yang seharusnya menjadi milikku.

"Lihat kan, Romimu bahkan lebih memilih mengajak istrinya masuk daripada menemuimu." Bisikan Rindi semakin membuatku panas.

Kubalikkan tubuhku meninggalkan Rindi yang tersenyum misterius. Lalu beranjak kembali ke mobil. Namun, belum sempat kubuka pintu kap. Sosok wanita berkebaya kuning muncul di sisiku. Dengan senyum yang bukan sebuah senyuman ia memandangku.

Tangannya terangkat. Dengan gemulai ia liukkan tangan tersebut seperti menari.

Aku tertegun. Terdengar suara-suara tembang aneh, kemudian langit berubah menjadi gelap. Kuamati area sekitar. Saat itulah sosok kuntilanak berdatangan, terbang mengitari rumah Mas Romi.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Namun, ketika aku masih memandangi para kuntilanak itu, sosok Mas Romi keluar dari rumahnya. Dengan tenang, ia berjalan hingga keluar gerbang. Tatapannya lembut, sangat lembut, dan mengarah padaku.

Ing kumitir ono tresno
Kunta darma ndadeg athi
Ojo adnyana ingkang aksa
Niki alem alembana

Kudengar sayup nyanyian itu mengiringi setiap langkah Mas Romi. Para kuntilanak beterbangan mengitari di atas kepala kekasihku. Saat langkahnya telah dekat, wanita berkebaya kuning itu menghentikan nyanyiannya.

Kuntilanak masih beterbangan dengan tawa cekikikan. Harum kantil semerbak menebar ambarukma. Mas Romi kini tepat berada di hadapanku.

"Menik! Menik ... Kekasihku," ucapnya penuh kelembutan.

Bersambung


Vote dan komen jangan lupa ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro