Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa hari setelah kejadian di depan rumah Mas Romi. Aku dalam pengawasan Rindi. Tepatnya, ia tak mengijinkanku keluar sebelum melakukan ritual terakhir.

Sejak melihat Rindi yang bisa berubah menjadi sosok kuntilanak merah. Aku sedikit takut terhadapnya. Hanya sedikit, karena gadis itu bahkan tetap bersikap seperti biasanya. Tak ada perubahan seperti yang kulihat waktu itu.

Aku yang tinggal sendiri di rumah peninggalan orangtuaku ini merasa terbantu dengan bantuan Rindi. Hanya gadis itulah yang paling mengerti. Bahkan dulu ketika keluarga Mas Romi tak mendukungku, Rindilah yang memberi bantuan dan nasihat.

Ia sangat familiar dengan dunia klenik dan dukun. Beberapa kali, ia membawaku ke dukun-dukun untuk memasang susuk pengasihan bahkan memaharkan jimat-jimat yang dipercaya membawa keberuntungan.

Akan tetapi, semua sia-sia sejak kedatangan Kania. Entah dari mana wanita itu datang, ibunya Mas Romi sangat menyukainya. Aku tersisih. Dengan segala cara aku mempertahankan Mas Romi, pada akhirnya pria itu menyerah dan berbalik membina hubungan dengan wanita itu.

Aku yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, menemukan segala yang kumau dari Mas Romi. Mas Romi mengayomiku bagaikan seseorang yang sangat penting di hidupnya. Ia dalah segalanya bagiku. Dan ketika ia pergi, rongga besar di hati ini sangat dalam, membentuk luka hingga bernanah.

Luka yang sulit kusembuhkan. Dan semakin menganga ketika pria yang menjadi tumpuanku, bersanding di pelaminan dengan wanita lain.

"Kau sudah siap?" Rindi masuk ketika aku tengah mematut diri di depan cermin.

"Aku harus siap." Kuhembuskan napas dengan berat.

"Menik, ini malam yang tepat untuk melakukannya. Percaya padaku, kehidupanmu akan berubah setelah ini."

Rindi berdiri di belakangku, mata kami bersirobok di cermin. Perasaan tak nyaman kembali menggelayuti hati, tetapi langsung kutepis. Wajah Rindi dipenuhi senyum ketika menyanggul rambutku dan menyelipkan rangkaian melati. Setelahnya ia membawa bakaran kemenyan kemudian memutarkan di atas kepala.

Harum asap kemenyan memenuhi kamar ini. Setelah beberapa kali melakukan ritual merias diri, Rindi menggamit tangan dan menuntunku ke sebuah ruangan yang telah kami siapkan sebelumnya.

Aku membuat ruangan khusus di ruang belakang rumahku. Kupilih ruangan ini, karena jangkauan yang tak mudah dari orang-orang. Tempatnya pun terpencil dari bagian rumah yang lainnya.

"Masuklah!" Rindi berbisik lembut. Aku menoleh dan menatapnya ragu.

"Jangan ragu Nik! Kamu ingin mendapatkan Mas Romi kan? Kau ingin menyingkirkan Kania, bukan?"

Rindi tersenyum lembut lalu merapikan rangkaian melati yang menjuntai di bahuku.

"Masuklah, temui Nyai Wangsih. Dia akan menuntunmu menuju jalan yang kau inginkan. Turuti keinginannya, jangan membantah, jangan meragukannya."

"Aku sudah menyiapkan semua perangkat sesaji. Kau akan mengerti tentang apa yang harus kau lakukan."

Rindi membuka pintu, ruangan terlihat temaram. Hanya dua lilin yang meneranginya. Kulangkahkan kaki memasuki ruangan tersebut.

Suara pintu ditutup menandakan aku tak bisa mundur lagi. Dengan langkah perlahan aku menuju altar kecil yang ditata dengan tirai berwarna putih. Sesaji bunga tujuh rupa, juga terdapat beberapa benda-benda yang tak aku kenali. Mungkin Rindi yang telah menyiapkan sebelumnya.

Entah mengapa, hatiku mulai merasa tenang. Bau kemenyan lebih pekat dari yang biasa kuhirup. Harumnya berbeda, entah apakah Rindi menambahkan sesuatu ke pembakaran itu.

Aku duduk bersimpuh, kutangkupkan kedua telapak tangan sambil mengucapkan mantra-mantra yang telah Mbah Ulun ajarkan.

Nyai, Nyai Wangsih
Mriki kulo ono alangen
Kulo basmara ingkang bakti
Ragane Romi aning brahwa

Kuucapkan mantra berkali-kali. Keheningan yang awalnya biasa saja, perlahan dihiasi dengan desau angin yang entah datang dari mana. Kuperkuat mantraku. Angin semakin besar, menerpa diriku dari segala sisi. Namun, serasa mati rasa aku tak merasakan apa pun. Tak ada takut, juga kecemasan seperti sebelumnya.

Aku seperti terbawa pusaran angin. Memasuki lorong gelap yang memanjang. Kakiku tak menapaki tanah. Hingga kemudian kurasakan belaian halus di pundakku. Aku menyadari, aku telah bertatapan dengan wanita berkebaya kuning itu kembali.

Wanita cantik dengan bola mata kelam, tetapi menawan. Mendadak tubuhku kembali gemetar. Hati mencelos cemas. Tangannya yang dingin membelai daguku. Ia mengangguk-anggukan kepalanya.

"Kau memanggilku, Nduk. Aku tahu apa yang kau rasakan. Akulah yang akan menolongmu."

Suaranya halus. Bahkan ketika menatapku, tatapannya lembut. Namun, aku tahu bahwa dibalik itu ada aura misterius yang semakin kuat. menerpa hingga membuat sekujur tubuhku dingin.

"Nyai, sembah salamku untukmu." Pada akhirnya aku bisa menguasai diri setelah bayangan Mas Romi kembali menguasai pikiran.

Kulihat ia mengangguk.

"Aku akan mengabulkan permohonanmu, Nduk. Namun, kau harus memberiku persembahan."

"Apa yang Nyai inginkan?"

"Mudah saja, Nduk."

Tangan kanan Nyai Wangsih membuka, telapak tangannya menengadah ke atas. Tiba-tiba selembar daun sirih dan satu bunga kantil muncul di telapak tangan tersebut. Lalu ia kembali menatapku.

"Dari dua benda ini, pilihlah yang kau suka."

Aku mengernyit tidak mengerti, tetapi karena aku disuruh memilih aku memilih bunga kantil. Ia tersenyum mengangguk lalu menyematkan bunga itu pada sanggul rambutku.

"Persembahanmu, aku ambil malam ini juga."

Meski aku tak begitu mengerti, aku tetap mengangguk takzim. Nyai Wangsih menaruh telapak tangannya tepat di ubun-ubunku. Perlahan rasa hangat mengalir ke seluruh tubuh. Aku memejamkan mata tanpa sadar.

Dan ketika kembali kubuka mataku, aku telah kembali di ruangan sesaji.

Pintu dibuka perlahan. Rindi masuk dan membantuku berdiri. Tubuhku terasa lunglai, dan dengan bantuannya ia memapahku kembali ke kamar.

Pagi hari ketika aku terbangun dari tidur. Dua orang warga bertandang ke rumah, menyampaiakan kabar tentang kakak perempuanku yang meninggal semalam, dalam keadaan masih mengandung tujuh bulan.

Kabar sedih, tetapi entah mengapa aku tak merasa sedih.

***

Setelah doa-doa yang dipanjatkan Kyai Abdul pada kuburan kakakku, para pelayat bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Aku tak ikut mendekat di area makam. Menurut Rindi, aku tak bisa terlalu dekat dengan makam kakakku.

Aku tak mempermasalahkannya. Selama hidup kami, aku dan kakakku tak pernah berhubungan baik. Jadi, kabar kematiannya pun tak memberikan jejak sedih atau kehilangan.

"Menik." Itu kakak iparku, Mas Rahmat. Dia mendatangiku dengan wajah yang terlihat pucat.

Aku menengok dan memandangnya dengan wajah datar. Ia menatapku, bahkan seakan tengah meneliti tubuhku. Keningnya mengernyit, tetapi kemudian menggelengkan kepala.

"Semalam, sebelum ia meninggal. Ia memanggil-manggil namamu." Tanpa diminta ia menjelaskan kondisi Mba Nurma sebelum meninggal.

"Lalu?" Aku tak acuh dengan pernyataannya.

"Maafkan dia ya jika selama ini ada salah kepadamu."

Aku kembali menengok menatap kuburan yang masih terlihat basah itu. Rindi di sisiku menyenggol, lalu memberi isyarat agar cepat pergi dari sini. Aku mengangguk. Tanpa pamit pada Mas Rahmat, kami berdua pergi.

Masih kurasakan tatapan tajam Mas Rahmat. Aku sedikit gemetar, tetapi Rindi menguatkanku sehingga dengan cepat dapat menguasai tubuh kembali.

"Kita sudah dapat tanah pemakaman orang yang mati di selasa kliwon. Kau bisa taburkan tanah ini di sekeliling rumah ibunya Romi." Rindi berbisik.

Aku mengernyit dengan pandangan bertanya. Bagaimana caranya ia mendapatkan tanah kuburan itu? Setahuku Rindi selalu berada di sisiku ketika prosesi pemakaman berlangsung.

Melihat kebingunganku yang terlihat kentara, Rindi hanya tersenyum msiterius. Kali ini aku melihat binar aneh di matanya.

Ketika kami berdua telah sampai di mobilku. Aku merasakan seseorang mendekat.

Dadaku bergemuruh kembali ketika melihat Mas Romi lah yang datang . Kuteliti wajahnya, ia terlihat cemas. Dapat kupastikan bahwa ia gugup bertemu denganku.

"Menik, aku mencari-carimu." Ia seperti terengah-engah.

Rindi menyenggol bahuku, kemudian berbalik pergi meninggalkan kami berdua. Sambil berbisik, "Dia milikmu sekarang."

"Kamu baik-baik saja, kan?" Mas Romi kembali berucap. Mungkin karena aku diam saja melihat kedatangannya.

Aku tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Senang, bahagia, dia akhirnya memperhatikanku. Dan ketika bibir ini membuka untuk membalas ucapan, aku melihat dua tangan pucat yang merayap dari balik punggung Mas Romi. Tangan pucat dengan kuku-kuku panjang berwana hitam pekat.

Tangan itu terlihat semakin jelas dan perlahan menampakan sosok kuntilanak tanpa muka. Kuntilanak itu membelai-belai kepala dan wajah Mas Romi, kemudian menggesek-gesekan wajahnya ke leher kekasihku. Meski tak terlihat wajahnya, tapi aku merasa ia tengah menatapku sekarang.

Bersambung.


Vote dan komen jangan lupa ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro