Part 8 (Kania)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika kedua mata membuka, aku melihat ibu mertuaku memandang cemas. Tangannya terulur lalu menyentuh dahi.

"Ma," sahutku memanggilnya.

"Kamu kecapean ya, Kania. Sampai pingsan begini loh. Kalau kamu sedang hamil, jangan kerja yang berat-berat ya!?"

Kulihat ia menghela napas lega. Tiba-tiba aku teringat tentang hilangnya Mas Romi. Sedikit mengerahkan kekuatanku, aku bangkit dan meremas tangan Mama.

"Ma, Mama! Mas Romi, Ma." Suaraku gemetar. Mama melihatku dengan kening mengernyit.

"Ada apa, Kania? Kamu kenapa Nak?"

"Mas Romi, Ma. Mas Romi dia ...."

"Ohh suamimu, dia ada kok di depan. Romi sedang ngobrol dengan Papa. Romi juga yang telepon Mama ngabarin kamu pingsan." Mama tersenyum seraya tangannya merapikan rambutku.

"Mas Romi? Dia menemukanku pingsan?"

"Iya. Dia ada di depan dengan Papa. Sebentar Mama panggilkan," ucap Mama sambil beranjak berdiri.

Aku masih bingung dengan semua pikiranku. Sehingga tak sempat mencegah Mama ketika beliau memanggil Mas Romi. Tak ayal aku masih duduk dengan segala pikiran yang kacau ketika Mama membawa Mas Romi masuk.

"Romi, ini loh temenin istrimu. Jangan sering-sering ditinggal ya, orang hamil harus dimanja. Ngerti kamu?" Mama berkata dengan sedikit mengancam.

Kudengar Mas Romi terkekeh. Kudongakan wajah perlahan untuk menatapnya. Mas Romi hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar segala wejangan Mama. Ia sekali-kali melirikku, tetapi entah mengapa dia terlihat berbeda.

Aku yakin dengan apa yang kualami sebelum pingsan. Mas Romi menghilang dibawa pocong terbang itu. Namun, mengapa pria ini ada di sini. Mana kah yang benar? Atau memang pikiranku yang kacau sehingga berhalusinasi melihat Mas Romi diculik makhluk gaib?

"Kania, Kania!" Bahuku diguncang oleh Mama, beliau kembali duduk di hadapanku. Senyumnya merekah indah. Barangkali mengetahui kehamilanku membuat hatinya bahagia. Ia memang sangat menginginkan cucu dariku.

"Kania, kau harus banyak istirahat ya, Nduk! Wanita yang sedang hamil tidak boleh stress atau berpikir berlebihan. Mama ambilkan air dulu ya, Romi akan menjagamu 24 jam nonstop di sini." Mama terkekeh. Ia tak menyadari tubuhku yang berubah gemetar.

"Ma," sahutku sambil meremas tangannya. Kulirik Mas Romi yang tengah memandangi kami. Senyum cerah dan lembut tersungging di bibirnya. Namun, itu bahkan membuatnya lebih menakutkan.

"Ya, Nduk?"

"Mama tahu dari siapa aku hamil?" Tanyaku dengan pelan.

Mama tersenyum lebar kemudian melirik Mas Romi. "Ya siapa lagi kalau bukan Romi yang kasih tahu Mama?"

Jantungku semakin berdegup kencang. Kulirik Mas Romi yang tersenyum riang.

Tidak, tidak. Tak ada yang mengetahui kehamilanku. Bahkan Mas Romi, aku tak pernah memberitahukan kondisiku ini sama sekali. Jadi, siapa dia?

"Ma, bisakah Mama hubungi ibuku? Aku memerlukannya." Kucengkeram tangan ibu mertuaku erat. Aku tak ingin menatap pria yang berada di sampingnya.

"Aku sudah berusaha menghubungi ibumu, Sayang. Tapi, dia tak menjawab." Mas Romi menjawab sambil menatapku lembut. Namun, aku sama sekali tak merasakan kelembutan itu.

"Ma, bisakah terus coba hubungi ibuku?" Aku kembali menatap mertuaku. Kugenggam telapak tangannya lebih erat. Mama menatapku dengan pandangan aneh.

"Kania, di sini ada Romi juga Mama. Kau tahu sendiri kan, ibumu sangat sulit dihubungi jika bukan dia sendiri yang datang kemari. Kau tenang saja, Sayang. Ada Romi yang akan menjagamu."

"Tapi Ma ...."

"Sayang," Mas Romi mendekat. Ia kemudian duduk di sebelahku. Aku terperanjat, tubuhku kembali gemetar. Rasa dingin menelisik kulitku ketika tangan Mas Romi membelai rambut.

"Ada aku di sini, kau bisa bermanja-manja denganku."

Mama terkekeh senang. Mungkin di matanya, sikap Mas Romi sangat romatis padaku. Ia tidak tahu, bahwa tubuhku menjadi kaku seketika. Entah apa yang dilakukan makhluk di sampingku ini, yang pasti tubuh dan lidahku tiba-tiba menjadi kaku.

Mataku melotot nyalang ketika Mama beranjak dan keluar dari kamar ini. Ingin rasanya berteriak, tetapi suaraku sama sekali tak bisa kukeluarkan.

"Kau harus banyak istirahat, Sayang." Mas Romi dengan mudahnya merebahkanku. Aku menatap matanya. Teror ketakutan seakan memenuhi mata ini. Mungkin itu yang dilihat makhluk itu sehingga ia terkekeh. Menyeringai lalu mengubah wajahnya menjadi sosok pucat menyeramkan.

"Kania ...," ucapnya. Suara barito Mas Romi berubah menjadi serak.

Mataku semakin membelalak. Wujud manusia Mas Romi tiba-tiba berubah menjadi sosok wanita dengan wajah menyeramkan. Kulit mengelupas dengan darah mengucur dagu dan menetes membasahi pakaiannya.

Kugelengkan kepala dengan kaku. Mencoba menolak tentang apa yang kulihat saat ini. makhluk itu menyeringai kemudian berubah menjadi sosok wanita cantik.

Mba Rindi.

"Melihat betapa pucat wajahmu, aku semakin yakin bahwa kau ketakutan melihatku." Dia lalu tertawa. Tangannya terulur lalu membelai rambutku.

"Kania, jika saja kau tak ikut campur. Aku tak akan menyakitimu. Kedatanganmu hanya akan menjadi bencana bagi rencanaku yang sudah berjalan mulus," bisiknya.

Aku semakin melotot ketika ia mengeringai. Matanya mengamatiku dari ujung rambut, menyusuri garis tubuh. Lalu berhenti tepat di bagian perut. Kupaksakan menggerakan kepala ketika mengetahui niatnya.

"Hahahahahaa ... kau begitu takut aku mencelakai anakmu rupanya." Ia mendengkus.

Hanya air mata yang menjadi wadah emosi yang saat ini dapat kukeluarkan. Rasanya ingin berteriak memanggil Mama. Ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku tak bisa berbuat apa pun. Menggerakan seujung jari saja rasanya sangat sulit.

"Kania, Kania, seharusnya ketika ada kesempatan kau menjauh sejauh-jauhnya dari Romi. Kau tak akan menjadi korban seperti ini."

"Namun, semua sudah terjadi sekarang. Kau sudah masuk dalam daftar orang-orang yang harus kubunuh."

"Kania ... tenanglah ... aku tak akan mempersulit kematianmu." Dia menunduk, berbisik dengan suara serak. Masih dengan tubuhku yang kaku, ia langsung mengarahkan telapak tangannya ke leherku.

Mata Mba Rindi memandangku penuh euphoria. Napasku terputus-putus. Kugerakan bibir berusaha melebarkan jalan oksigen. Akan tetapi, semua sia-sia ketika cekikannya semakin kuat.

Rasa sakit berpacu di dada. Napas yang dipaksa berhenti membuat detak jantung berdetak cepat kemudian melemah seketika. Lalu, ketika kegelapan hampir menelanku sebuah rasa panas tiba-tiba mengalir dalam tubuhku. Menguar lalu meledakan cahaya menyilaukan.

"Arrgghhh!" Mba Rindi menjerit ketika ia terhempas, tubuhnya terpelanting menabrak tembok. Ia terbatuk. Matanya menatap nyalang menyusuri sekujur tubuhku.

Aku menoleh dan melihatnya kembali bangkit.

"Kau!" Teriaknya dengan suara tertahan. Matanya melotot menyeramkan, aura hitam menguar dari tubuhnya.

"Bagaimana mungkin? Bayimu, dia ...." Ia menggeram marah.

Aku yang telah merasa bebas langsung beranjak berdiri.

Tubuh Mba Rindi terlihat bergetar, kepalanya menggeleng-geleng dengan kaku. Namun, matanya masih fokus padaku. Suara geramannya pelan, tetapi menakutkan. Lalu tiba-tiba ia berubah menjadi sosok kuntilanak merah yang kutemui di jalan ketika mengejar Mas Romi.

Tubuh terasa gemetar ketika kuntilanak itu melayang. Aku langsung meraih lampu tidur yang berada di nakas. Sambil melindungi perutku dengan tangan kiri, kulempar lampu dengan tangan kananku.

Praang!!

"Pergi kau! Pergi!" Aku menjerit. Rasa takut ia menyerang kandunganku, membuatku semakin berani melemparkan segala barang-barang yang ada di ruangan ini.

Kuntilanak itu tertawa, menambah rasa mencekam di hati. Setiap kali ia akan menyerang, aku mencari benda-benda untuk melemparkan ke arahnya. Meski nihil hasil, setidaknya aku bisa mengulur waktu hingga mertuaku mendengar keributan di sini.

Kuntilanak itu kembali turun lalu mengerling ketika suara langkah kaki terdengar jelas di luar pintu. Perlahan ia kembali menjadi sosok Mas Romi.

Meski beberapa kali melihat perubahan yang berganti-ganti itu, tetap saja ini membuatku takut sehingga cengkeramanku pada pigura foto pernikahan semakin kencang.

Pintu terbuka, Mama dan Papa mertuaku masuk dan tercengang melihat keadaan kamar yang porak poranda.

"Ya Gusti, ada apa ini?" Teriak Mama sambil melihat sekeliling. Kemudian, mata mama tepat menumbuk mataku.

"Kania," ucap Papa penuh kekagetan.

"Ma, jangan mendekati Kania, dia ...," suara Mas Romi tercekat hampir menangis. Aku semakin melotot padanya.

"Mama! Jangan dekati dia, dia bukan Mas Romi!" Sahutku dengan nada tinggi.

"Lihat, Ma! Lihatlah ...." Sebutir bening bergulir di pipi Mas Romi.

"Kania, Nduk!" Mama beranjak untuk mendekatiku. Namun, tangannya tiba-tiba dicekal oleh Mas Romi.

"Ma, jangan mendekatinya. Kondisi Kania tidak stabil. Ia butuh seorang dokter jiwa."

"Romi ...." Terlihat ibu mertuaku tak percaya dengan apa yang diucapkan anaknya.

"Ma! Dia bukan Romi, dia ...." Suaraku kembali tercekat ketika sosok-sosok makhluk gaib lain bermunculan dan mengelilingi Mama tanpa ia tahu.

Kepalaku menggeleng-geleng dengan kuat hingga air mata pun berjatuhan. Aku menjerit berlari ke arahnya, meminta Mama pergi. Namun, Mama seperti ketakutan dengan ulahku. Ia menghindar lalu menyeret Mas Romi keluar dari kamar ini.

Mereka bertiga meninggalkanku sendiri dengan kumpulan roh gelap yang perlahan-lahan mendekat. Meski aku menjerit, tak ada lagi yang mau membukakan pintu.

Hanya ketika rasa lelah melanda, aku terdiam pasrah menatap para roh gelap yang sering diceritakan Ibu. Dulu, rasanya sangat konyol ketika Ibuku menceritakan tentang mereka. Sekarang, aku menghadapi mereka tanpa tahu harus berbuat apa.

Bau anyir menyebar ke seantero kamar. Dengusan serta air liur yang menetes-netes di sela seringai mereka, membuatku semakin meringkuk menenggelamkan wajah pada lutut. Kudengar dari bilik pintu, Mama menangis sambil menyebut-nyebut namaku.

Namun, ada yang berbisik di telingaku. Sayup suara perempuan terdengar. ia berkata, "Kania, kau telah kalah."

Bersambung


Vote dan komen jangan lupa Ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro