Chapter five

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari pun berjalan dengan cepat ketika perilisian merk terbaru perusahaan Sehun akan segera dilaksanakan. Ditambah lagi dengan promosi alat kosmetik perusahaan Danbi yang sedang berlangsung.

Namun ketika ada waktu luang, Sehun terus mengisi waktunya dengan menatap hujan yang terus mengiringi harinya beberapa minggu terakhir. Tak ada lagi ketakutan dan tak ada lagi rahang yang mengeras. Semuanya berjalan normal sampai pada waktu luang selanjutnya, Danbi mengajak Sehun untuk melatih dirinya di halaman belakang rumah mereka.

Kali ini kilat menghiasi langit senja yang cukup tak bersahabat, membuat Danbi terduduk di rerumputan dan menutup telinga serta matanya. Ia ketakutan. Bayang-bayang akan keluarganya seketika menghampiri benak gadis itu. Namun dengan sigap, Oh Sehun memeluk gadis itu dan menghalangi pandangan Danbi dari alam luar.

“Ibu—“

“Aku disini, Danbi, aku disini.” Ujar Sehun seraya mengangkat tubuh gadis itu untuk kembali kedalam rumah. Namun Danbi menolak dan memaksakan dirinya untuk tetap berada diluar, membiarkan hujan membasahi tubuhnya dan menghapus air matanya.

Danbi membuka matanya ketika Sehun terus memaksanya untuk masuk kedalam rumah. Dan pada saat itu juga, Sehun membeku ketika ia mendapati sorot mata gadis itu terlihat begitu marah.

“Katakan padaku, apakah kau membenci hujan, Oh Sehun?”

Sehun terdiam ketika pertanyaan itu meluncur dari mulut Danbi. Membuatnya semakin gamang akan kelemahan dirinya sendiri. Ia tidak pernah melihat Danbi semarah ini padanya, membuatnya menundukkan kepala dan menghindari tatapan Danbi.

“Maafkan—“

“Apakah kau membenci hujan, Oh Sehun?” Tanya Danbi dengan nada yang semakin meninggi. Bibir gadis itu sudah memucat, suaranya tercekat ketika ia menyebutkan nama Oh Sehun dari bibirnya. “Apakah kau sudah menyerah dengan hujan?”

Sehun semakin bungkam ketika tubuh Danbi mulai bergetar marah. Ia tak pernah merasakan ketakutan yang membuat hatinya ikut bergetar.

“Kau tau, Oh Sehun, jika kau membenci hujan dan menyerah akan kelemahanmu—“ gadis itu pun menelan ludahnya, suaranya semakin tercekat tak kuasa menahan emosinya. “Itu sama saja kau membenciku dan menyerah atas diriku.”

Danbi menutup matanya ketika petir kembali menggelegar, tangannya pun kembali menutup kedua telinganya dan dirasakannya tubuh Sehun melemas. Cepat-cepat gadis itu membuka matanya dan melihat tubuh Sehun terkulai lemas di sampingnya. Bibir pria itu membiru dan seluruh tubuhnya bergetar. Dan air mata pun kembali memberikan jejak di kedua pipi Danbi.

Gadis itu pun mengguncangkan tubuh Sehun ketika dirasanya Sehun tak kunjung bergerak. Entah sadar atau tidak, kini Danbi sudah tidak peduli lagi dengan petir serta kilat yang menggelegar di langit. Ia terus menerus mengguncangkan tubuh Sehun dan sesekali memberikan pria itu napas buatan.

Danbi menjerit histeris ketika jantung Sehun berdetak dengan sangat lambat. Membuat beberapa pelayan dirumah mereka menghampiri gadis itu dan terkejut ketika mendapati Sehun tergeletak lemas dihadapan gadis itu. Danbi meronta ketika tubuhnya ditahan oleh para pelayan agar sedikit menjauh dari Sehun, untuk memudahkan pelayan lainnya membawa tubuh pria yang tak sadarkan diri itu ke dalam rumah.

Hari pun berubah menjadi minggu, tubuh pria itu masih terkulai lemas di ranjang kamar mereka. Sementara Danbi, ia memojokkan dirinya di sudut kamar mereka sejak senja itu. Ia tak pernah beranjak dari sana, kecuali hanya untuk sekedar buang air kecil. Wajah gadis itu pun sangat pucat, membuat kantung mata di bawah kedua matanya terlihat dengan jelas.

Satu minggu terakhir Danbi habiskan hanya untuk menangis dan meringkuk di pojok kamarnya. Sehingga para pelayan rumahnya memintanya untuk mengenakan selimut tebal agar menjaganya tetap hangat. Akhir-akhir ini, ia tak  ingin makan dan minum. Namun pelayan pribadinya terus menerus datang untuk meminta Danbi makan walau hanya sesuap. Dan pada akhirnya Danbi setuju untuk makan satu lembar roti serta segelas susu setiap pagi.

Namun untuk 2 hari belakangan, gadis itu kembali menolak permintaan sang pelayan rumahnya dan terus menerus melamun. Membuat beberapa pelayan harus mondar-mandir memasuki kamar Danbi untuk memastikan bahwa ia tidak bunuh diri.

Kini jam menunjukkan pukul 1 pagi, Danbi masih terus melamun ketika jemari tangan Sehun mulai bergerak kecil. Gadis itu bahkan meneteskan air matanya disela-sela lamunannya. Membuat beberapa pelayan yang sedang mengawasi Danbi nyaris ikut menangis.

Tepat setelah beberapa pelayan keluar dari kamar gadis itu, kedua mata Sehun pun terbuka perlahan-lahan. Kepala pria itu terasa berdenyut-denyut setelah terbangun dari koma singkatnya. Sehun melirik kearah kanannya dan perasaan khawatir itu seketika memenuhi rongga dadanya. Serta rasa sesak yang seketika menusuk jantungnya.

Gadis itu menghilang, pikir Sehun. Tak ingin mempercayai pikirannya itu, perlahan-lahan Sehun membuka mulutnya. Pada awalnya tak ada suara yang keluar dari mulutnya, namun sedikit demi sedikit, suara serak Sehun pun terdengar.

“D—Danbi—“

Mendengar namanya disebutkan, seketika gadis itu menahan napasnya. Ia takut itu hanyalah sebuah imajinasi yang sering ia gunakan demi menghibur dirinya. Walaupun pada akhirnya, ia hanya akan kembali melamun dan menangis saat tak ada perkembangan dari Sehun.

“D—Danbi—ya.”

Danbi pun menelan ludahnya dan melongok kearah Sehun berada. Ketika dirasanya ia melihat kepala pria itu bergerak-gerak, ia bangkit dari duduknya, walaupun sedikit sempoyongan, gadis itu tetap memaksakan dirinya untuk berdiri dan memastikan sendiri bahwa pria itu telah kembali dari tidur panjangnya.

“D—Danbi—“

Gadis itu kembali menangis ketika pandangannya bertemu dengan Sehun. Membuat Danbi semakin merasakan penyesalan yang mendalam. Namun gadis itu menggeleng dan terisak, ia tak percaya bahwa Oh Sehun telah kembali.

“D—Danbi, ke—kemarilah.”

Danbi pun semakin terisak ketika ia mulai berjalan mendekati Sehun. Ditatapnya tak percaya pria yang sedang berbaring diranjangnya dengan sendu.

“Se—Sehun?”

Pria itu tersenyum ketika Danbi memanggil namanya. Namun tanpa ia sadari, sebuah air mata terjatuh dari sudut matanya, membuat Danbi semakin tenggelam akan rasa penyesalannya.

“Kau tidak ingin—memelukku, D—Danbi?”

Danbi pun mengangguk lalu merengkuh tubuh lemah Sehun. Sementara pria itu hanya mengusap-usap tubuh ringkih Danbi sembari menangis dalam diam. Gadis itu semakin terisak saat mengingat bagaimana kejadian seminggu lalu terjadi, bagaimana ia meneriaki Sehun dan bagaimana ia mengatakan hal yang tak sepantasnya ia katakan.

“Bukan salahmu, sayang,” ujar Sehun pelan. “Kau tidak melakukan kesalahan.”

Danbi menggeleng cepat. “Aku melukaimu. Maafkan aku.”

Sayang.”

“Maafkan aku, oppa.”

Sehun tersenyum ketika Danbi mulai melepaskan pelukannya dan terduduk disamping pria itu. Disekanya air mata yang menghiasi pipi Danbi dan diusapnya kepala gadis itu lembut. “Kau ceroboh, sayang, kau melukaiku karena kau menangis dihadapanku.”

“Tapi—“

“Danbi, aku tidak akan pernah menyalahkanmu karena ini semua bermula pada kesalahan diriku,” ujar Sehun sembari menahan tangisnya. “Aku yang terlalu lemah pada hujan, dan aku pula yang terlalu bodoh karena berpikir untuk berhenti mencoba. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu, sayang.”

Untuk kesekian kalinya, air mata kembali berjatuhan di pipi Danbi, membuat jantung Sehun semakin berdenyut sakit. “Berhentilah menangis, Putri Hujan, kau semakin menyakitiku.”

Danbi pun mengangguk, menyeka air matanya lalu memaksakan senyuman diwajahnya. “Aku—aku tak akan pernah menganggap ini adalah kesalahan oppa pula. Jika oppa mengatakan itu adalah salah oppa, maka itu adalah salahku juga. Maafkan aku karena telah memarahimu.” Ujar gadis itu lalu memalingkan wajahnya, menyembunyikan tangisnya yang akan segera pecah.

Dengan gerakan lambat, Sehun merengkuh wajah gadis itu lalu ditariknya secara perlahan agar ia dapat melihat wajah gadis itu sejauh dan selebar matanya memandang. “Kau tau, satu-satunya yang kuinginkan di dunia ini hanyalah dirimu, Oh Danbi, tidak peduli jika kau menyakitiku atau memakiku, aku akan tetap mencintaimu seumur hidupku. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu dan lupakanlah apa yang telah kau lakukan. Mengerti?”

Danbi pun mengangguk, dan seulas senyuman terlukis jelas di wajah gadis itu. Walaupun beberapa tetes air mata masih terjatuh di kedua pipinya. Dalam sekejap, bibir mereka telah menyatu, menyalurkan kehangatan kepada satu sama lain. Membuat mereka, untuk kesekian kalinya, melupakan masalah-masalah yang sedang mereka rasakan dan dibiarkan menguap begitu saja bersamaan dengan udara yang terus berhembus.

“Duniaku adalah dirimu, Danbi-ya.”

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro