Chapter Three

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah mobil Porsche berwarna merah pun menggeram ketika sang pemilik menginjakkan gasnya. Sehun terlihat begitu sempurna dengan kemeja hitam yang pas ditubuhnya, jas hitam serta celana senada, dasi berwarna putih, sepatu pantofel putih dan kaca mata hitam.

Disampingnya terlihat Oh Danbi sedang sibuk memoleskan sedikit eyeshadow dan mascara untuk menambah kesempurnaan gadis itu, walaupun pada awalnya, Sehun menolak mentah-mentah Danbi melakukannya karena ia takut pria lain menggoda gadis itu.

Sehun tersenyum ketika Danbi mulai merutuki dirinya sendiri karena payung kesukaannya tertinggal dikamar mereka. Setelah merelakan tertinggalnya payung kesukaannya itu, Danbi mulai menyadari keanehan diwajah Sehun yang hanya tersenyum sejak tadi. Gadis itu pun mulai menginterogasi Sehun dan memaksanya untuk mengatakan dimana payung miliknya, namun Sehun lagi-lagi hanya tersenyum dan membiarkan gadis itu tenggelam dalam rasa kesal.

Pada akhirnya, Sehun mengatakan bahwa ia mengambilnya karena ia melihat payung berwarna merah itu tergeletak begitu saja di ranjang mereka. Dan kini payung itu berada di tas milik Sehun. Danbi tertawa kecil setelah mendapat jitakan kecil dari Sehun akibat kecerobohannya, namun tak lupa, ia memberikan sebuah hadiah kecil untuk Sehun. Ia mengecup pipi pria itu cepat lalu kembali tertawa kecil.

“Aku akan menjemputmu jam 4 tepat,” ujar Sehun ketika Danbi hendak turun dari mobilnya. “Tunggu aku dan jangan bermain hujan. Mengerti?”

Danbi pun mengangguk lalu kembali mengecup bibir Sehun. “Aku mengerti, Tuan Oh. Sampai jumpa!” ujar gadis itu lalu keluar dari mobil dan memasuki tempat kerjanya.

Sehun menghela napasnya perlahan lalu kembali melajukan mobilnya. Cuaca pagi ini sudah terlihat mendung, sehingga ia harus cepat sampai kantornya jika ia tidak mau membeku ketakutan dibalik kursi kemudi.

Tepat setelah ia sampai dikantornya, hujan pun mulai membasahi bumi. Membasahi segala hal yang telah diciptakan-Nya. Sehun lagi-lagi menghela napas lega, diraihnya tas jinjing hitam miliknya dan ia pun turun dari Porschenya. Setelah menekan tombol kunci, ia pun meninggalkan mobilnya dan memasuki lift.

Didalam lift, ia bertemu beberapa rekan kerjanya yang berasal dari perusahaan Danbi—perusahaan alat kecantikan. Para rekannya itu pun menyapa sang Presdir di tempat kini mereka bekerja lalu kembali berbincang tentang kerjaan mereka.

Sehun melirik jam tangannya setelah ia menekan tombol angka 8 di panel kontrol. Hatinya terasa sesak mengingat ia masih harus menghabiskan 7 jam nya lagi tanpa kehadiran Danbi. Pria itu pun mendongak, menatap angka di atas pintu lift yang sebentar lagi menunjukkan angka 8.

Sesaat setelah ia menjejakkan kakinya di lantai 8, ponselnya pun berdering menandakan ada telepon masuk. Sehun merogoh saku dalam jasnya dan meraih ponsel layar sentuh hitamnya untuk mengangkat telepon sembari berjalan.

Oppaaaaaa~”

Sehun langsung mengembangkan senyumannya ketika ia mengetahui bahwa Danbi-lah yang meneleponnya. Dengan mendengar suara gadis itu saja, jantung Sehun mulai berdebar tak berirama dan membuat energinya kembali penuh.

“Ada apa, sayang?”

Apakah hanya aku yang seketika merindukan oppa?

Pria itu pun tertawa. “Aku juga merindukanmu, Danbi.”

Oh ya, aku memiliki jadwal untuk ke kantormu pada jam makan siang hingga pulang nanti.” Ujar Danbi riang di seberang sana.

“Itu adalah kabar baik,” jawab Sehun. “Aku menunggumu diruanganku nanti.”

Danbi pun terdiam sejenak. “Oppa tak mau menjemputku?

Lagi-lagi pria itu pun tertawa ketika Danbi mulai mengeluarkan aegyonya. “Baiklah, nantiku jemput.”

Bagus! Sampai jumpaaaa.”

“Sampai jumpa, Danbi. Aku mencintaimu.”

Danbi pun memutuskan hubungan teleponnya pada Sehun sesaat setelah pria itu menyampaikan kasih sayangnya. Entah apa yang membuat Danbi tidak pernah membalas ucapan itu, namun yang pasti dan tanpa ia sadari, ia selalu membalas ucapan Sehun di tiap malam sesaat setelah Sehun tertidur.

Sejak perbincangan singkat mereka, jam seakan berlalu dengan sangat lambat. Membuat kedua manusia itu ingin cepat-cepat bertemu satu sama lain. Namun tuntutan akan pekerjaan terus menghampiri mereka dan tak membiarkan keduanya berbicara untuk beberapa jam kedepan.

Terkadang alis Sehun berkerut, entah karena bahasa yang ditulis didalam berkas, yang kini sedang ia baca, sulit di terjemahkan atau karena bayang-bayang akan Danbi yang selalu berkeliaran dibenaknya yang tak kunjung menghilang. Pria itu pun mendesah dan menyandarkan tubuhnya di kursi kuasanya. Ia memijat-mijat keningnya lelah lalu memejamkan matanya barang sejenak.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu itu berhasil membuat mata Sehun terbuka lebar. Mengingat bahwa sebentar lagi adalah jam makan siang. Namun kenyataan yang dihadapinya begitu pahit, Sekretaris pribadinya datang dengan seorang pria berambut hitam yang membuat Sehun menghela napasnya.

“Presdir, kau kedatangan tamu.”

“Biarkan ia masuk.”

Diam-diam Sehun memutar bola matanya malas, dikerjakannya lagi berkas-berkas dihadapannya. Karena bagi Sehun, lebih mudah menghadapi berkas-berkas dihadapannya daripada seseorang yang memiliki status sebagai adiknya ini.

Hyung?” panggil Sanghoon saat ia sudah berada di depan meja kerja Sehun. Pria itu pun bergumam, seakan-akan bertanya ada apa pada sang adiknya.

“Aku—ingin minta tolong padamu, boleh?”

Sehun mengangkat wajahnya sejenak untuk menatap Sanghoon lalu kembali mengerjakan berkas yang berada dihadapannya. “Apa?”

“Bolehkah—bolehkah aku—“

“Presdir, Nyonya Han sudah berada di lobby.” Potong Sekretaris Cha yang kini berada di ambang pintu.

Sehun pun mengangkat wajahnya senang lalu menatap Sanghoon sejenak. “Lanjutkan.”

Sanghoon menarik napasnya panjang lalu berbicara dalam satu napas. “Aku tau aku begitu keterlaluan karena selalu membebanimu dan ayah. Namun untuk yang terakhir kalinya, boleh aku meminjam uang untuk biaya rumahku? Aku tau aku adik yang—“

“Lupakan, Sanghoon,” ujar Sehun yang kini sudah dihadapan Sanghoon. “Aku akan membiayai rumahmu sampai kau lulus. Dan ini adalah pertemuan terakhir kita sebagai adik kakak. Untuk pertemuan selanjutnya, aku ingin bertemu denganmu sebagai rekan kerja. Mengerti?”

Sanghoon pun menatap Sehun tak percaya. Tanpa ragu pria yang berstatuskan adik Sehun itu mengangguk lalu tersenyum lebar. “Terima kasih banyak, hyung! Baiklah, aku akan pergi sekarang dan temui aku beberapa tahun lagi. Annyeong!”

Sanghoon melesat pergi dari ruangan Sehun secepat kilat. Membuat Sehun melebarkan senyumannya sejenak lalu berlari kecil untuk menghampiri Danbi yang kini sudah berada di lobby. Beberapa pegawai yang melihat Sehun sedang berlari pun seketika membungkuk kikuk dan bertanya-tanya apa yang mebuat seorang Oh Sehun berlari. Karena selama 6 tahun terakhir, segenting apapun situasinya, seorang Oh Sehun tidak pernah berlari. Ia hanya akan berjalan santai dan memaki siapapun yang berani membantahnya.

Segera setelah ia menangkap batang hidung istrinya, Sehun pun langsung berhenti berlari dan berjalan kearahnya. Ia merapikan tataan rambut serta jasnya yang terlihat sedikit berantakan setelah belari.

“Nyonya Oh?”

Danbi menoleh, seketika matanya berbinar ketika melihat Sehun sedikit berantakan. Namun bibirnya merengut karena telah menunggu kedatangan pria itu yang cukup lama.

“Sanghoon baru saja menemuiku,” jelas Sehun tanpa diminta. “Maaf membuatmu menunggu.”

Danbi pun mengalihkan pandangannya dan bersedekap. “Aku tidak menerima permohonan maafmu.”

“Yah, Danbi-ya,” ujar Sehun memelas sembari menggenggam kedua tangan Danbi. “Aku tidak bermaksud membuatmu menunggu.”

Gadis itu melirik Sehun dari ekor matanya, ia menoleh lalu tersenyum lebar pada Sehun. “Tentu, Tuan Oh! Jadi dimana kita akan makan siang?”

Sehun pun menghela napas lega lalu berjalan sembari menggenggam tangan Danbi. “Dimana pun yang Presdir Han inginkan.”

Danbi tertawa kecil ketika Sehun kembali menyebutnya sebagai Presdir Han. Masa-masa yang pernah berlalu diantara keduanya kembali terngiang di benak Danbi. Ketika mereka pertama kali berjabat tangan di ruang rapat yang berada di perusahaannya, saling mencuri pandangan, bertukar nomor ponsel dan masih banyak hal lain yang tak akan pernah Danbi lupakan.

“Bagaimana kalau kita makan di kantin? Aku dengar Presdir Oh tidak pernah makan dikantin.” Jawab Danbi seraya mengayun-ayunkan tangannya, tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap mereka cemburu.

“Kau ingin merusak citraku, ya?”

Lagi-lagi Danbi tertawa kecil. “Tidak. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui sifamu.”

“Kalau begitu berhentilah bergelayut ditanganku, Putri Hujan,” ujar Sehun sembari menatap Danbi. “Mereka belum tau kalau kita sudah menikah.”

Danbi pun mencibir lalu melepaskan tangannya pada Sehun. “Kalau begitu jangan genggam tanganku lagi.”

Demi citranya, Sehun pun memutar bola matanya lalu kembali menggenggam tangan Danbi. Segera setelah gadis itu merasakan genggaman Sehun, Danbi hendak mengelaknya, namun genggaman Sehun begitu erat sehingga Danbi tidak mampu melepaskannya.

“Aku tidak suka jika seseorang yang aku cintai melepaskan tangannya dariku,” ujarnya datar. “Aku menyuruhmu untuk berhenti bergelayut padaku, Oh Danbi, bukan melepas peganganku.” Lanjut Sehun sembari menatap Danbi.

Danbi pun mengangguk. “Baiklah.”

“Sebagai hukumannya, kita makan di ruanganku saja, ya?”

“Tapi kita akan memilihnya langsung dari kantin, kan?”

Sehun pun menghela napas. “Baiklah, sayang.”

Ketika Sehun hendak memasuki kantin, para pegawai perusahaan mereka pun bangkit dari duduknya dan langsung memberi hormat ketika Sehun dan Danbi memasuki area kantin. Lalu segera setelah melihat Sehun mengangkat tangan kanannya, mereka pun kembali duduk dan makan seperti biasa.

“Woahh~ Aku rasa mereka begitu terkejut saat tau bahwa kau menuju kantin, oppa.”

Sehun mengangguk pelan. “Kau sudah dengar sendiri, kan, bahwa ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi kantin.”

Danbi pun ikut mengangguk. “Ya, baiklah,” ujar gadis itu lalu menarik Sehun untuk melihat-lihat menu yang ada. Dan seketika mata gadis itu berbinar senang ketika ia mendapati cream soup disalah satu menu hari ini. “Bisakah aku mengambilnya?”

Pria itu menggeleng. “Tidak bisa, Danbi-ya.”

“Kenapa?” Tanya gadis itu kecewa.

“Karena aku sudah menyiapkan makanan khusus untukmu,” jawab Sehun lalu menarik tangan gadis itu menuju pojok kantin. “Jo Yeseul! Mana pesananku?”

Seseorang yang dipanggil dengan nama Jo Yeseul itu pun menyembulkan kepalanya dari balik dinding dapur lalu membulatkan matanya ketika ia mendapati sang Presdir berdiri dihadapannya. Koki terbaik perusahaan Sehun itu pun menghampiri Sehun lalu membungkuk sejenak.

“Presdir Oh, aku tidak menyangka kau akan kemari,” ujar wanita itu sembari tersenyum.”Pesananmu sudah siap dan akan segera dikirim menuju ruanganmu, Presdir.”

“Baiklah,” jawab Sehun lalu menatap Danbi. “Apakah kau masih ingin cream soup? Tidak ingin tambahan yang lain?”

Danbi pun berpikir sejenak lalu mengangguk. “Sesungguhnya aku sedang ingin Americano.”

“Maaf, Putri Hujan, Americano sudah masuk kedalam list makanan khususmu hari ini.”

“Sungguh?” Mata Danbi semakin berbinar ketika Sehun sudah menyiapkan Americano untuknya. Membuat Sehun tak bisa menahan senyumannya saat melihat gadis itu menatapnya senang. “Tentu.”

Pria itu pun mengusap kepala Danbi lembut lalu kembali menatap koki andalannya itu. “Segera.”

Yeseul pun mengangguk dengan senyuman lebar diwajahnya. “Tentu, Presdir.”

Sehun dan Danbi pun mulai beranjak dari kantin menuju ruangan Sehun dilantai 8. Lagi-lagi para pegawai perusahaan Sehun bangkit dari duduknya dan hendak membungkuk hormat, namun semua itu terhenti ketika Sehun mengangkat tangan kanannya lebih dahulu dan Danbi yang melambai kearah mereka.

Kedua manusia itu pun berjalan kearah lift  yang berada tepat di samping pintu keluar kantin. Sembari menunggu pintu lift terbuka, Sehun pun menoleh kearah Danbi lalu dirangkulnya bahu gadis itu. “Kau sudah membaca kontraknya?”

“Kontrak?” Tanya Danbi seraya mendongak menatap Sehun. “Oh, kontrak perilisan kosmetikku itu, ya?”

Sehun pun mengangguk. “Sudah kau tanda tangani?”

“Sudah. Berkas yang kau butuhkan ada di Sekretaris Nam, ia akan memberikannya padamu nanti.”

Untuk kedua kalinya Sehun mengangguk. Dan tepat setelah itu, pintu lift pun terbuka. Sehun dan Danbi, serta seorang karyawan Sehun yang sedang menerima telepon pun memasuki lift secara bersamaan. Setelah pintu tertutup, Sehun menekan tombol 8 dan kembali menikmati wajah cantik Danbi.

Namun sebuah suara menginterupsi kesenangan Sehun dan membuatnya menoleh dengan tatapan mematikan, membuat seseorang disampingnya menelan ludah ketakutan.

“Presdir Oh,” ujarnya sembari membungkuk sopan. “Maaf mengganggu waktumu. Namun bolehkah aku meminta tanda tangan persetujuan untuk launching pakaian musim dingin?”

“Tidak,” jawab Sehun singkat. “Datang ke ruanganku setelah jam makan siang.”

“B-baiklah. Terima kasih, Presdir.”

Sehun pun kembali menatap Danbi yang kini sedang menatapnya sembari menahan tawa. Membuat pria itu bertanya-tanya apa yang sedang Danbi pikirkan sehingga membuatnya menahan tawa. “Kau tau, kau begitu jahat.” Ujar Danbi berbisik.

Pria yang memiliki tinggi 183 senti itu tertawa kecil lalu mengusap kepala Danbi yang berada tepat disamping bahunya. “Setidaknya aku tidak seperti itu padamu.” Balas Sehun tepat disamping telinga gadis itu yang lantas membuat gadis itu bergidik.

“Tetap saja kau mengerikan.”

Ting

Pintu lift pun terbuka. Sehun dan Danbi kembali berjalan menuju ruangan Sehun yang berada tepat diujung lorong yang langsung berhadapan dengan langit indah senja kali ini. Namun ketika Sehun hendak membuka pintu, Sekretaris Cha pun membungkuk hormat dan mengatakan sesuatu yang membuat Danbi tak dapat menahan tawanya lagi.

“Presdir, maafkan aku untuk mengatakan ini, namun banyak yang menginginkan klarifikasi hubunganmu dengan Nyonya Han.”

“Katakan saja apa yang kau ketahui tentang hubungan kami.” Jawab Sehun datar, walaupun begitu ia sedang menahan senyuman yang akan mengembang di wajahnya.

“Baiklah, aku mengerti, Presdir.” Ujar Sekretaris Cha lalu membukakan pintu untuk Sehun.

-

Jam menunjukkan pukul 4 ketika Danbi dan Sehun keluar dari ruang rapat. Gadis bermata cokelat itu pun segera merebahkan tubuhnya di sofa berwarna putih yang berada tak jauh dari meja kerja Sehun. Sementara Sehun hanya dapat tersenyum tipis, menghampiri sang istri lalu duduk disampingnya.

Kedua kaki gadis itu pun diangkat oleh Sehun lalu diletakkannya diatas pangkuan pria itu. Jarak diantara mereka pun semakin terkikis ketika Danbi menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. “Apakah kau mengantuk?” Tanya Sehun.

Danbi pun menatap Sehun lalu mengangguk. “Cream soup yang dibuatkan Yeseul ahjumma sangat enak, aku menghabiskannya hingga tetes terakhir dan ditambah lagi dengan pidato panjang lebarmu. Aku sangat kenyang sekarang.”

Pria berambut pirang itu tertawa lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Danbi. “Maaf.”

“Hm,” jawab Danbi lalu mengecup bibir Sehun. “Oppa, aku mulai berpikir untuk memiliki—yah, kau tau, kan, maksudku?”

“Kenapa seketika kau memikirkan itu?”

Danbi terdiam sejenak lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. “Entahlah. Lagipula aku nyaris siap untuk menjadi seorang ibu.”

“Jangan dipaksakan, Danbi-ya,” ujar Sehun lalu meraih kedua tangan istrinya itu. “Aku akan menunggu sampai kapan pun.”

Lagi-lagi Danbi terdiam, namun kali ini ia mengangguk kecil lalu merengkuh wajah Sehun. Diusapnya rahang tegas milik pria itu lalu ia mendekatkan wajahnya pada Sehun. “Terima kasih sudah mau menunggu.” Lirih gadis itu. Sehun pun mengangguk, lalu diraihnya bibir soft pink milik Danbi dengan bibirnya. Sebuah ciuman hangat dan lembut pun terjadi diantara keduanya. Membuat semua masalah mereka menguap begitu saja bersamaan dengan hujan yang mulai turun dengan deras.

Mungkin untuk senja kali ini, Tuhan hanya membiarkan hujan yang membasahi Bumi. Memberikan sedikit ketenangan untuk seorang Han Danbi yang telah lama tidak merasakan nikmatnya hujan.

“Aku mencintaimu, Han Danbi.”

Danbi pun tersenyum tipis. “Aku juga mencintaimu, Oh Sehun.”

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro