🐾

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Namanya Safira, bocah berusia delapan tahun yang periang. Dia sering dipanggil Fira dan oleh teman-temannya di sekolah. Fira juga termasuk murid yang disukai guru karena dia cukup pintar.

Fira adalah anak tunggal yang sering merasa kesepian saat di rumah. Gadis kecil ini cepat bosan.

Untuk mengobati kejenuhan di rumah, dia suka jalan-jalan sekitar kompleks, membantu ibunya memasak dan mencicipi resep baru, juga menemani ayahnya praktik di klinik hewan, bertemu pasien-pasien yang lucu dan berbulu.

Suatu pagi di hari Minggu, Fira mendapati ibunya sedang bersiap pergi ke pasar. Gadis mungil yang tadinya sibuk bermain dengan kucing peliharaan keluarga ini pun memekik.

"Fira mau ikut, Bu!"

Anak itu berlari menghampiri ibunya. Dia meninggalkan Mimi, kucing anggora berbulu putih yang tampak lega setelah ditinggal Fira. Mimi menguap lalu melanjutkan tidur.

"Boleh," balas Ibu.

Sesampainya di pasar, Fira ikut ibunya membeli telur, tahu, tempe, dan sayur-mayur. Saat mereka hendak menuju pedagang daging ayam, Fira merengut. Dia tidak suka bau daging yang amis.

"Bu, Fira nggak mau ke sana!" rengeknya.

Ibu menghela napas. "Ya sudah, kamu tunggu sini saja, jangan ke mana-mana."

Fira pun menurut. Gadis kecil itu menepi di dekat penjual kue basah.

Sepuluh menit berlalu, ibunya belum kembali.

Fira yang mulai bosan menunggu, mulai menendang-nendang kerikil kecil di dekat kakinya. Menendang kerikil terlalu jauh, benda yang menjadi satu-satunya hiburan itu terlontar ke bawah meja pedagang sayur.

"Sialan!" Sebuah umpatan menggema.

Fira terlonjak, seketika menoleh ke sekeliling untuk mencari sumber suara tersebut. Apakah kerikilnya tadi mengenai seseorang? Waduh!

Anak itu masih celingukan saat tiba-tiba seekor kucing berbulu cokelat tua, berbuntut panjang, dan bermata hijau cerah berjalan keluar dari bawah meja tempat kerikilnya tertendang tadi.

Kucing itu menepi dekat kaki meja lalu menjilati bagian punggungnya yang bulunya sedikit berantakan, seperti bekas terlempar benda kecil.

Seumur hidup, baru kali ini Fira melihat kucing berwarna cokelat. Anak itu menjadi penasaran dan ingin sekali mengelus bulu cokelat kucing itu.

Sambil berhati-hati, Fira pun berjalan mendekati kucing tadi.

Karena banyak orang berlalu lalang, si kucing cokelat tampaknya tidak sadar jika sedang diperhatikan oleh Fira.

Salah satu orang yang lewat melemparkan sebuah kepala ikan pindang ke arah kucing tadi.

Si kucing mengendus sekilas lalu menjauhkan hidungnya.

"Cih! Mentang-mentang aku kucing, dipikirnya aku mau makan sampah? Huh!"

Kucing Cokelat kembali mengomel. Fira bisa menangkap dengan jelas suara kucing itu di pikirannya. Mereka seakan bertelepati.

"Hey, Pus!" Fira memanggil sambil menjulurkan telunjuk.

"Apa-apaan ini?! Heh, kamu ngapain?" Kucing Cokelat terkejut dan marah.

Fira menarik kembali tangannya. "Maaf. Kata ayahku, kalau mau kenalan sama kucing, sebaiknya ngasih jari untuk diendus, biar tahu bau kita."

"Kenalan? Huh, tidak mau!" Kucing Cokelat memalingkan muka.

Fira terkejut karena ternyata sifat Kucing Cokelat sangatlah angkuh. Sebelum Fira bisa berkata apa-apa, Kucing Cokelat sudah berjalan pergi.

"Tunggu, Pus!" panggil Fira, tetapi tidak ditanggapi.

Fira memutuskan untuk mengikuti kucing itu. Dia masih sangat penasaran.

Bagaimana kucing cokelat itu bisa berbicara dengannya?

Apa semua kucing memang bisa bicara? Lantas kenapa Mimi tidak?

"Pus, tungguin dong...." Fira kembali memanggil Kucing Cokelat yang dengan gesit berkelit di kaki pedagang panci.

"Hush! Pergi kamu, anak manusia!" Kucing Cokelat mengusir Fira. "Maumu apa, sih? Kenapa mengikutiku?"

"Aku ingin berteman denganmu," jawab Fira.

"Merepotkan." Kucing Cokelat melengos. "Aku nggak punya waktu. Sudah ya, terserah kamu mau ngapain, asal jangan menggangguku lagi," ucap Kucing Cokelat akhirnya.

Fira pantang menyerah.

Jika dia mengikuti kucing itu sampai ke tempat tinggalnya, mungkin di sana akan ada keluarga kucing yang menyambutnya lebih baik, mengajaknya ngobrol, serta menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Fira pun kembali mengikuti Kucing Cokelat, mengitari pasar dan menyeberangi parkiran. Kucing Cokelat memanjat pagar kayu yang tinggi, lalu melompat ke sisi luar pagar.

Fira langsung mencari jalan lain. Ada satu balok yang longgar di pagar kayu, yang bisa Fira lepas untuk memberinya jalan. Fira pun harus merunduk saat melewati celah itu.

Di balik pagar, terdapat sepetak lapangan rumput yang dinaungi pohon besar, dengan tangga kayu yang menempel di dahan pohon hingga ke atas.

Tangga itu merupakan jalan ke sebuah rumah pohon, tempat Kucing Cokelat memanjat dan masuk.

Fira pun menaiki tangga itu. Ketika sampai di rumah pohon, dia disambut dengan selusin kucing beraneka warna. Ada yang hitam, putih, jingga, loreng, hingga totol-totol.

Semua kucing itu melongok ke arah Fira.

"Halo," sapa Fira.

"Anak manusia? Ada anak manusia!" Kucing hitam menjerit panik.

"Kamu siapa? Kok bisa tahu tempat ini?" tanya kucing berwarna jingga.

"Aku ke sini ikut dia," tunjuk Fira pada Kucing Cokelat di sudut ruangan.

"Apa?! Hey, jangan bawa-bawa aku!" protes Kucing Cokelat tidak terima. Dia pun turun dari rumah pohon dengan kesal. Kucing-kucing lain membiarkan si Cokelat pergi seakan sudah paham akan sifatnya yang pemarah.

"Sudah-sudah, jangan diributkan. Lagipula anak ini terlihat tidak jahat."

Seekor kucing betina tiga warna bangkit dari menyusui anak-anaknya. Fira menghitung ada tiga anak kucing yang tidur tumpang-tindih.

"Siapa namamu, anak kecil? Kamu berasal dari mana?" tanya Induk Kucing dengan ramah.

Fira pun memperkenalkan diri. Dia juga bercerita tentang rumahnya, tentang ayahnya, ibunya, juga kucingnya Mimi yang hobi tidur dan malas bergerak.

Di akhir cerita tentang Mimi, si kucing hitam mendengkus.

"Ah, tidak bagus! Itu akibatnya kalau terlalu lama ikut manusia. Jadi pemalas!" kata Kucing Hitam.

"Iya, saking malasnya, Mimi nggak pernah mengeong, apalagi ngomong sama aku, nggak seperti kalian...."

Fira berkata sambil mengelus anak-anak kucing. Tiga kucing kecil itu senang sekali bermain dengan tangan Fira.

Tiba-tiba saja, tangan Fira berhenti mengelus. Dia penasaran akan sesuatu. "Oh iya, kenapa aku bisa mendengar kalian bicara? Kenapa Mimi tidak bicara seperti kalian?"

Kumis Kucing Hitam berdiri tegang, dia refleks berbagi pandang dengan Kucing Oranye dan Induk Kucing.

"Kita selalu bicara kok," ucap Kucing Oranye.

"Iya, tapi ...." Fira belum puas, namun tiba-tiba Induk Kucing menyundul dengkul Fira dengan kepalanya.

"Apa kamu punya saudara juga, Anak Kecil?" tanya Induk Kucing melihat Fira sangat sayang dengan anak-anak kucing.

"Tidak, aku anak satu-satunya," jawab Fira sambil kembali bermain dengan salah satu anak kucing.

"Kasihannya, pasti kamu kesepian, ya?" Induk Kucing berkata. "Sayang sekali manusia tidak beranak banyak sekali melahirkan."

Fira mengangguk sebentar, lalu lanjut bermain. Kucing-kucing lain pun ikut mengerumuni gadis kecil itu. Fira merasa senang sekali.

Tanpa terasa, Fira bermain di rumah pohon bersama kucing-kucing itu hingga sore.

"Oh, tidak! Aku lupa, Ibu!" Fira menepuk jidat. Dia pergi saat ibunya masih berbelanja. Pasti sekarang ibu sedang mencarinya.

"Pulanglah! Kasihan ibumu, pasti dia khawatir," kata Induk Kucing.

"Iya. Aku pulang ya, Pus semua," pamit Fira.

Fira turun dari rumah pohon, melewati celah di pagar kayu, dan menyeberangi parkiran hingga akhirnya sampai ke pasar.

Fira berjalan ke arah pedagang daging yang sedang berberes hendak tutup. Dia memberanikan diri menembus bau yang tidak enak demi menemukan ibunya. Namun Fira tetap tidak menemukan ibunya, bahkan setelah mencari ke sudut-sudut lain pasar.

Kaki Fira pegal karena terus berjalan. Langit sudah gelap, dan Fira yang putus asa menangis di dekat toko kelontong yang sudah tutup.

"Aduh, berisik sekali!"

Tiba-tiba Kucing Cokelat muncul di hadapan Fira, dengan buntut mengibas-ngibas tanda terganggu oleh suara tangisan.

"Pus... Ibu nggak ada...." Fira menangis semakin kencang.

"Ck! Dasar cengeng! Sudah, cepat bangun, ikuti aku!" Kucing Cokelat mulai berjalan.

Fira yang masih sesenggukan berusaha mengikuti Kucing Cokelat.

Hewan itu menuntunnya ke pos satpam di depan pasar. Di pos itu terdapat orang tua Fira. Ayahnya berbicara dengan petugas keamanan sementara ibunya menangis.

"Ayah, Ibu!" Fira berlari ke arah mereka.

"Safira! Alhamdulillah...." Ayah berucap saat melihat Fira. Ibu langsung berlutut dan memeluknya. Mereka menangis karena lega.

"Syukurlah, Ibu sudah takut kamu diculik orang," kata Ibu sambil mengusap air mata.

"Ke mana saja kamu?" tanya Ayah.

"Tadi Fira ketemu kucing, Yah." Fira menunjuk ke arah Kucing Cokelat yang ternyata sudah pergi.

"Kucing liar, ya? Ya sudah, nggak apa-apa. Besok-besok kalau Fira mau ketemu kucing-kucing itu lagi, berangkatnya sama Ayah, ya? Kita bawakan makanan buat mereka."

Fira mengangguk lega. Dalam hati dia berjanji untuk mengunjungi rumah pohon kucing itu lagi. Fira tidak sabar mengenalkan kucing-kucing itu pada ayah dan ibunya.

**

[1248 Kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro