Awake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau layaknya seorang malaikat yang sedang menyamar.

Aku terpaku saat melihatmu tengah menonton film dengan sangat serius. Kedua matammu menunjukkan sesuatu yang belum pernah kulihat dari mata gadis lainnya. Terdapat banyak kekuatan di sana. Bersemayam nyaman di dalam tubuhmu.

Sosokmu begitu membuatku terbutakan. Seolah-olah kau benar-benar sempurna layaknya seorang malaikat. Dengan rambutmu yang hitam bergelombang sebahu, poni yang menutupi dahimu, kedua mata berwarna cokelat, hidung yang kecil serta wajahmu yang mulus bak porselen.

Aku bahkan tidak bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa kau adalah manusia sungguhan.

Kau tengah bersedih ketika salah satu dari pemeran utamanya ‘pergi’ meninggalkan dunia. Hingga satu dan dua tetes air mata membasahi kedua pipi kenyalmu yang selalu kubanggakan. Bukankah itu terlihat lucu?

Namun entah kenapa kesedihan di kedua matamu terlihat begitu nyata. Membawaku tenggelam di antara lautan ketakutan yang akan segera menghampiriku kapanpun ia mau.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi saat film itu berakhir. Membuatmu meregangkan tubuh yang sudah terlalu lama bersandar padaku, menyeka jejak air mata kemudian mendongak untuk menyatukan pandangan denganku.

“Satu lagi?”

Aku pun tersenyum. “Tentu, sayang.”

“Aku ingin film komedi!”

Dan aku memutarkan satu buah film lagi untukmu. Entah ini sudah yang keberapa kalinya, tapi aku selalu menikmatinya saat kau memintaku untuk menyalakan film yang lainnya.

Dan untuk kesekian kalinya, aku berpura-pura ikut menonton. Walaupun pandanganku tertuju kepada televisi, namun pantulan dirimu yang berada di sanalah yang menjadi fokusku. Seolah mau bagaimana pun kau hidup di dunia ini, fokusku hanya tertuju kepadamu.

Kali ini kau tertawa, mendengungkan getara melodi indah di gendang telingaku yang entah kenapa membuatku ingin menangis. Kemudian aku hanya tersenyum, kembali memperhatikan wajahmu yang begitu tertarik pada film yang tengah kau tonton dengan penuh konsentrasi tinggi.

Entah sejak kapan kau menyukai film komedi, yang pasti, aku tidak akan pernah melewatkan satu detikpun untuk tidak memperhatikanmu. Meskipun aku harus melewati lautan hanya untuk menontonmu sedang tertawa, akan kupastikan aku berada di hadapanmu setelah itu.

“Kau lapar, Zua?” tanyaku saat kau mendongak ke arahku sembari menyengir. Menampilkan deretan gigi rapi yang selalu menambahkan pesona dirimu dan membuatku jatuh cinta semakin dalam. Aku pun membalas dengan senyuman yang semakin melebar, mengecup keningmu kilat kemudian perlahan-lahan meletakkan punggungmu di atas kasur.

Selanjutnya aku pergi meninggalkanmu dengan perlahan, berusaha untuk tidak mengeluarkann sedikitpun kebisingan agar kau dapat menonton dengan tenang.

Sesampainya di dapur aku hanya mengambil satu bungkus roti gandum, dua telur yang sudah dingin serta segelas air mineral dan sekotak susu vanilla kesukaan Zua. Aku tahu ia akan menyukai ini dan tidak peduli dengan program diet yang pernah ia katakana padaku. 

Namun saat aku hendak kembali ke kamar, rasa sakit itu memenuhi diriku. Menggetarkan jiwaku yang lagi-lagi kembali ketakutan jika hari ini adalah hari terakhirku melihatmu.

Aku menunduk, meneguhkan hatiku bahwa aku tidak bisa bersikap lemah di hadapanmu dan akan selalu bersikap tenang. Lagipula, jika aku bersikap demikian, bagaimana bisa kau hidup dengan penuh semangat seperti apa yang selalu kau tunjukan padaku?

Dan bukankah jika kau merasakan sesuatu aku akan merasakan hal yang sama pula?

. . .

Dengan segera aku meletakkan seluruh bawaanku tadi di atas meja. Berlari dengan langkah-langkah besar menuju kamar dan membuka pintu kamar dengan kasar serta ketakutan yang sudah menggelayutiku.

Kudapati kau tengah menatapku dengan tatapan bingung, membuatku menghela napas lega kemudian bergegas untuk meraihmu dan menarikmu ke dalam dekapanku dengan hati-hati. Aku takut.

“Ada apa denganmu?” tanyamu.

Aku pun menggeleng. “Tidak ada apa-apa, sayang.”

Kau pun membalas pelukanku dan menenggelamkan wajahmu di bahuku.

“Aku mencintaimu, Zua.”

“Aku juga mencintaimu.”

Dapat kurasakan detak jantungnya berdetak sangat cepat. Membuat darahku berdesir tak karuan dan rasa cinta itu semakin tumbuh di dalam diriku. Serta satu perasaan lainnya yang ikut mendominasi membuatku masih tak siap untuk menghadapi kenyataan yang akan datang secepatnya. Membuat jantungku berdetak tak berirama yang nyaris tak jauh beda dengan milikmu.

Aku takut kehilangannya.

“Kau akan terus tersadar untukku, ‘kan?”

Kau tak menjawab. Bahkan hanya untuk sekadar mengangguk atau menggeleng. Hanya terdiam mendengarkanku.

“Zua, aku tidak ingin kehilanganmu. Aku rela memberikan seluruh oksigenku agar kau dapat bernapas. Aku akan memberikan hidupku untukmu, sayang.”

Dan sekali lagi, kau tidak menjawab.

Aku menggigit lidahku sendiri demi menahan tubuhku untuk tidak bergetar. Mencoba kembali merasakan detak jantungmu yang sudah nyaris tak terasa detakannya.

“Kau— kau masih bisa— hidup,” kau berbisik dengan sangat lembut. Bahkan hembusan napasmu yang menggelitik leherku terasa begitu sangat berharga. “Tanpaku.”

“Sayang, kau adalah kunci dari hidupku. Jika kau membutuhkan seorang superhero, aku bisa menjadi salah satunya. Kau ingin aku menjadi Deadpool? Wolverine? Aku akan melakukannya untukmu, sayang, asalkan kau tetap di sini bersamaku.”

Dapat kurasakan kau tersenyum, hembusan napasmu yang hangat pun kini menghilang secara perlahan. Membuatku mengeratkan pelukanku padamu seraya menenggelamkan wajahku di antara rambut hitammu.

Tidakkah kau tahu bahwa napasmu dan bisikan darimu saja sudah sangat berharga?

“Zua, kau tidak ingin menyebut namaku?” parauku seraya terus memelukmu, tak berani sedikitpun untuk menatap wajahmu yang kutahu tak lagi berseri. “Aku hanya ingin mendengarmu dan tahu bahwa kau masih berada di sisiku.”

“Alan.” Tangisku pun pecah saat suaramu seperti seseorang yang kini tengah berada di ambang kematian. “Aku tahu— bahwa kau telah mengubah—ku dan menunjukkanku— bagaimana caranya untuk hi—dup. Terima kasih ba—nyak.”

Napasku pun mulai tidak teratur, berusaha keras untuk tidak terisak. “Oh ayolah, Zua, katakan padaku bahwa kau akan tetap di sini. Kau tidak akan pergi kemanapun.” Isakanku kini mulai lolos, tak kuasa untuk menahanmu agar berada tetap di sampingku.

Namun detak jantung itu telah hilang secara perlahan. Meninggalkanku yang masih tak percaya akan kenyataan yang begitu cepat melintas. Bukankah ia masih di sini bersamaku?

Tubuhku mulai bergetar saat tubuh Zua mulai lemas. Tak ada lagi kehangatan di dalam dirinya ataupun seulas senyuman manis di wajahnya. Satu-satunya yang masih tersisa dari dirinya hanyalah kulit pucat yang menghiasi wajah cantiknya.

Dengan susah payah aku mencoba melihat ke arahnya, mengusap wajahnya yang terlihat begitu damai sembari memutar memori yang pernah kulakukan bersamanya. Akankah ia juga dapat melihatnya di sana?

Namun air mataku semakin banyak berjatuhan saat aku baru tersadar bahwa sedari tadi darah telah mengalir dari sudut bibirnya serta kedua hidungnya. Membuatku dengan segera menyekanya dengan pakaianku agar wajah cantiknya kembali terlihat dengan jelas.

“Sayang, aku hanya ingin kau tetap di sini dan aku benar-benar tidak ingin kehilanganmu.”

END

Sorry ini repost.hehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro