More Than Words

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berdiri dengan canggung saat pria itu tiba-tiba menahan langkahku. Membuatku mendongak untuk menatap kedua mata cokelat yang telah lama menjadi kesukaanku. Ia membalas tatapanku dengan sejuta pernyataan yang tengah berputar di benaknya. Membuatku tersenyum lantas mengerti apa yang tengah ia pikirkan.

Kemudian aku merogoh saku kananku, melepas salah satu headsetku dari telinga dan memasangkannya di telinga pria itu. Aku menunduk, menyetel sebuah lagu dan membiarkan ia mendengarnya.

Selama musik itu terputar pun, ia terus menatapku. Tak melepaskannya barang sejenak maupun hanya untuk berkedip. Apakah ia tengah melamun?

Aku yang terlalu lama dilihat olehnya pun mendadak salah tingkah. Membuatku berkali-kali mengalihkan pandangan darinya yang saat ini tengah tersenyum miring. Oh astaga, hentikan serangan maut itu!

“Berhenti menatapku seperti itu.”

Namun ia tak acuh. Ia hanya terus melihatku sembari tersenyum dan mendengarkan musiknya hingga habis. Dan ketika lagu itu berakhir, ia melepaskan headsetnya, menyampirkannya di bahuku kemudian tersenyum lebar.

Sial, kakiku bergetar tak kuat!

Ciptaan Tuhan yang manakah yang aku dustakan?

“Apakah kamu lapar, sayang? Kamu mau makan apa?”

Detik berikutnya aku tertawa, nyaris terpingkal-pingkal sembari menutupi wajahku yang tengah memanas. Aku malu! Demi apapun. Bukan ini reaksi yang kuinginkan darinya. Namun mengapa ia begitu cepat mengerti dan melakukannya?

“Untuk apa kamu panggil aku sayang-sayang?” tanyaku masih dengan cengiran lebar.

Ia pun hanya terus tersenyum, mengusap-usap puncak kepalaku seperti yang selalu ia lakukan. “Bukankah lebih mudah bagimu jika aku langsung menunjukkannya saja? Kamu takut patah hati, ‘kan?”

Aku melebarkan ulasan senyuman di wajah, menunjukkan gigi-gigi rapiku sembari menatapnya. “Aku tidak butuh ucapan. Aku hanya butuh pembuktian. Jadi kamu tidak perlu pusing bagaimana cara menyatakan perasaanmu padaku.”

“Jadi kamu berpikir aku akan menyatakan perasaanku padamu?” godanya seraya memainkan kedua alisnya.

Oh astaga, Tuhan, jangan buat diriku mati di tempat hanya dengan melihat wajah memesonanya.

Aku menghapus senyumanku, memutar kedua bola mata dan langsung pergi dari hadapannya. Namun sebuah tangan hangat yang sensasinya menembus baju lengan panjangku membuatku berbalik, menatapnya lagi yang kini masih menampakkan wajah jahil.

“Apa jadinya jika aku menarik kembali perkataanku bahwa aku menyukaimu?” tanya pria itu.

Kuhela napasku perlahan, menahan degupan jantungku yang mulai liar. “Aku tidak akan melakukan apapun. Karena aku tahu, dengan mengucapkan ‘aku menyukaimu’ saja tidak akan mengubah apapun dan bahkan membuat sesuatu yang baru.”

Ia pun mengangguk.

“Dan bagaimana jika hatiku patah karena sikapmu berbeda dari apa yang telah kau ucapkan?” Kali ini aku yang bertanya. Membuat wajah jahilnya berubah serius dan kedua mata cokelatnya menatap kedua mataku lekat-lekat.

“Akan kurekatkan kembali.”

“Dengan lem?” balasku.

Pria itu tertawa, membuat kedua matanya melengkung dan entah kenapa sudah membuat tanganku berkeringat dingin. “Dengan menunjukkan sikapku itu selalu sama seperti ucapanku. Jika ada yang berbeda, itu karena aku manusia.”

“Benar, manusia tak sempurna.” Timpalku.

“Tapi kamu sempurna di mataku.”

Sekali lagi aku tertawa, melepas genggamannya sembari berjongkok dan menenggelamkan wajahku di antara kedua kakiku. Mungkin sekarang jiwaku sudah berterbangan bebas di langit lepas. Sementara tubuhku terbaring lemas di sini dengan wajah yang memerah malu.

Dan tangan itu kembali menyentuh kepalaku, mengusapnya lembut dan dapat kuperkiraan saat ini ia tengah ikut berjongkok di hadapanku.

“Jangan pernah biarkan aku pergi maka aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi,” ujarnya yang semakin membuatku menggelengkan kepala dan menggoyangkan badanku hingga mengundang tawanya kembali.

“Kalau begitu aku akan merantaimu agar kamu tetap berada di dekatku,” balasku.

“Di rantai? Kau gila?” Dan masih saja ia tertawa dengan lelucon murahanku. Membuatku mengangkat wajah sedikit untuk mengintip reaksinya. “Sudahlah, sayang, aku menyukaimu.”

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro