Say You Won't Let Go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Credit to WattIND

Sebenernya ini cuma salah satu event di grup untuk buat song fiction. Tapi alasan aku pake lagu ini, ya karena dia.kiww

_________

Sebuah pigura yang menggambarkan seorang wanita cantik membuatku terkejut. Dengan kedua matanya yang berwarna hitam segelap malam dan rambutnya yang bergelombang, menghasilkan debaran yang sudah lama tak kurasakan.

Aku menoleh ke arah seorang wanita muda yang kini tengah menatapku dengan seulas senyuman. Di sampingnya ada seorang pria yang ikut tersenyum saat mataku menghampirinya.

“Darimana— kalian men— dapatkannya?” tanyaku terbata-bata.

“Kami baru saja merapikan gudang atas dan menemukan kotak yang bertuliskan ‘Darling’. Saat kami membukanya, aku mendapati banyak sekali memori handycam, cetakan foto dan beberapa hal sejenisnya. Dan saat aku tahu itu adalah gambar nenek, aku memutuskan untuk menyimpannya dan memberikan padamu untuk hari ulang tahunmu yang ke 93 ini, Kek.” Jelas wanita itu yang lantas membuatku tersenyum.

“Dan selamat ulang tahun!”

Wanita itu berhambur ke pelukanku yang sudah tak lagi dapat menghangatkan satu-satunya cucu perempuanku ini. Membuatku nyaris meneteskan air mata saat kedua tanganku yang bergetar membalas pelukannya.

“Selamat ulang tahun, Kek,” ujar pria yang berstatuskan suami cucuku.

Aku tersenyum tepat setelah cucuku ini melepas pelukannya dan kemudian duduk tepat di sampingku. Ia menggenggam tanganku erat dengan kedua tangannya, mengusapnya lembut sembari menatapku.

“Maukah kakek menceritakan sedikit tentang nenek?”

Aku mengangguk. “Ka— kek p— punya dokumentasinya. Bisa— bisakah kamu am— bilkan kotak milik kakek t— tadi?”

Dengan segera pria muda itu mengambilkannya, memasangkan proyektor atau apapun itu namanya kemudian mulai mencari satu persatu kaset sesuai tanggal yang pernah kutuliskan.

Di setiap kaset telah kutandai dengan nama tempat, alat perekamnya dan sebuah tanggal. Entahlah, aku juga bertanya-tanya bagaimana bisa aku benar-benar niat untuk menyimpan segala kenangan tentang dirinya yang telah lama kurindukan?

Sesaat sebelum pria itu menyetelnya, ia mengatakan, “Rumah Jean. CCTV. 12 Oktober 2017.”

Di layar di hadapanku menampilkan 16 kotak yang berada di beberapa sudut rumah Jean. Namun dengan tangan yang masih bergetar, aku meminta kedua manusia di dekatku ini untuk melihat ke arah kotak yang berada di sudut kanan bawah.

——
Keramaian memenuhi rumah Jean saat wanita berdarah Inggris itu mengadakan sebuah pesta ulang tahunnya yang ke 17. Musik berdentum mengisi seluruh penjuru rumah ketika aku bertemu dengannya di atap rumah Jean.

Pada malam itu, langit terlihat sangat mendung dan tidak ada satupun bintang yang terlihat. Dengan sebotol vodka di tanganku, aku terus memikirkan bagaimana hidupku di masa depan.

Apakah dengan terus menerus datang ke PUB aku akan menjadi orang sukses? Atau bagaimana jika aku menjadi seorang gigolo? Tapi apakah keluargaku akan tetap menerimaku? Bagaimana jika kakakku ingin menyewa? Haruskah aku memberikannya harga diskon?

Aku tertawa, namun cepat-cepat meringis saat efek vodka yang mulai bekerja menyakiti kepalaku. Kedua mataku mulai berbinar. Pikiranku membawaku kepada sebuah memori akan wanita yang saat itu ingin kunikahi dan tertabrak oleh truk tepat sebulan sebelum kami menikah.

Hingga saat aku hendak kembali melupakannya dengan meminum alkoholku, seorang gadis duduk tepat di sampingku. Ia merampas botol vodkaku dari tangan kemudian memarahi udara kosong di hadapannya.

“Sialan. Bagaimana bisa ia menjadi seorang gigolo dan menjualku ke temannya? Persetan! Dasar pria brngsek! Dia pikir aku apa? Gadis murahan yang bisa ia gunakan seenaknya? Apa kata keluargaku nanti! Dasar bodoh! Tidak punya otak!”

Aku menoleh ke arahnya, merasa tersindir karena seolah-olah gadis ini habis membaca pikiranku—walaupun aku tidak sepenuhnya percaya. “Permisi, apakah kamu bicara denganku?”

“Tidak!” Semburnya kemudian meminum setenggak vodka dan langsung memuntahkannya lagi keluar. “Sialan! Minuman macam apa in?”

Ia menyerahkannya lagi padaku. Membuatku tertawa kecil yang malah kembali membuatku meringis pula. Kali ini ia yang menatapku, kedua matanya memerah penuh amarah kemudian menunjuk-nunjuk diriku. “Dan kamu! Tidak baik untuk bermabuk-mabukan di atap rumahku! Jangan harap kamu bisa lebih lama lagi di sini!”

Aku mengangguk, bangkit dari posisiku kemudian menarik lengan Jean untuk masuk ke dalam rumahnya melewati jendela kamar. Jean tidak mengelak, ia terus membututiku hingga ke lantai bawah.

Mendadak suasana menjadi lebih hening. Dentuman EDM yang sedari tadi memenuhi rumahnya berubah menjadi lagu klasik yang akan membuatmu ingin berdansa. Dan aku melakukannya.

Kuletakkan botol vodkaku di atas meja, menarik pinggang Jean lebih dekat kepadaku dan menari dalam diam. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam saat gadis ini menatapku dengan penuh taktik. Aku membalas tatapannya, mencoba mencari tahu apa yang ia inginkan sampai sebuah suara yang aku kenali sebagai pacarnya Jean terdengar.

Aku tersenyum riang, terus berdansa dengan Jean yang lama-lama ikut terbawa dalam suasana lagu klasik yang entah dimainkan oleh siapa. Kami tidak peduli dengan teriakan marah oleh pacarnya Jean, dan setiap kali laki-laki itu mencoba menjauhkan kami, aku akan semakin mendekat ke arah Jean tanpa memedulikan ancamannya.

Kami menari semalaman. Tidak peduli dengan para tamu yang mulai mengundurkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing—termasuk pacar gadis ini. Atau mungkin, mantan pacar?

Jam telah berdentang satu kali saat kami tersadar bahwa rumah Jean sudah kosong. Meninggalkan kami berdua yang masih berdansa dengan khidmat. Kami tertawa, merekahkan seulas senyuman di wajah dan rona merah di kedua pipi gadis bermata hitam ini.

“Aku haus.” Keluhnya kemudian meraih asal sebotol alkohol yang berada di dekatnya. Aku tertawa, sengaja tak mengatakan apapun tentang apa yang kini tengah ia minum.

Namun saat ia tiba-tiba berlari ke arah pekarangan depan rumahnya untuk memuntahkan red wine yang ia minum, aku memegangi rambutnya yang menjutai menutupi wajahnya. Menarik rambut hitam bergelombangnya ke belakang agar ia dapat memuntahkan minumannya dengan bebas.

“Ugh, terima kasih….”

“Romeo.”

“Ya, Romeo, terima kasih,” ujar Jean kemudian berjalan lagi ke dalam rumah. “Menginaplah. Akan aku siapkan kamar untukmu.”

Cepat-cepat aku menggeleng. “Tidak. Kamu butuh istirahat. Aku akan pulang sebentar lagi.”

“Oh, ayolah.”

Aku pun tersenyum. “Tidak, terima kasih, Jean. Kamu butuh istirahat.”

Kemudian gadis itu ikut tersenyum. “Baiklah. Terima kasih juga karena telah datang, Romeo.”

Dan setelahnya aku berbalik, meninggalkan rumah Jean dengan perasaan yang aneh.
——

Cucuku itu menoleh ke arahku, menatapku dengan sebuah keantusiasan yang ia warisi dari kedua mata neneknya. Kemudian ia menyuruh suaminya untuk segera mengganti kaset yang menunjukkan rekaman berikutnya. Kaset yang bertuliskan: “Kantin. Handycam. 31 Oktober 2017”

——
Jean sedang memakan makan siangnya saat aku sibuk merekam dirinya. Hingga beberapa menit berlalu dan makanan di hadapan gadis itu sudah nyaris habis, ia mendongak dan langsung tertawa saat mendapatiku tengah merekamnya.

“Apakah aku terlihat bagus?” tanyanya dengan kedua mata yang sangat antusias. “Apakah aku sudah terlihat seperti model Victoria Secret?” Dan ia pun mulai membuat pose-pose yang kurang senonoh di meja kantin. Membuatku tergelak dan kedua tanganku bergetar saat merekam aksinya.

Saat tawa kami telah mereda, aku kembali memfokuskan kameraku padanya. Memaju-mundurkan kameraku berkali-kali pada hidungnya yang kemudian membuatnya mengembangkan kedua lubang hidungnya.

“Oh, astaga! Itu menjijikkan, Jean!”

Ia kembali tertawa. Membuat kedua matanya nyaris tertutupi oleh kedua pipi chubbynya yang sangat menggemaskan.

“Akan kutunjukan padamu sesuatu!” Sorot mata gadis itu semakin antusias saat ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Kemudian ia membalikkan halaman demi halaman hingga berhenti pada sesuatu yang ingin ia tunjukkan.

Sebuah sketsa yang menunjukkan postur tubuhku terlihat di sana. Dengan sebotol vodka di tangan kiri, kepala yang menengadah menatap langit malam yang mendung, membuatku teringat akan kejadian malam itu.

“Wow! Itu sangat bagus, Jean! Bagaimana bisa kamu membuatnya?”

Seulas senyuman ceria pun terlukis di wajah berserinya. “Aku berkali-kali melihatmu di sana saat aku harus bolak-balik ke kamar untuk mengambil sesuatu. Dan tanpa kusadari, saat aku tidak bisa tidur malam itu, aku menggambarmu.”

“Itu benar-benar bagus.” Aku mengacungkan ibu jariku padanya. “Namun karyaku lebih bagus darimu.”

Kedua alis gadis itu tertarik ke atas, salah satu sudut bibirnya menyungging mengejek. “Oh ya?”

Aku mengangguk, meletakkan handycamku di atas meja kemudian mengeluarkan gambarku yang sesungguhnya lebih hancur. Mendadak suara tawa Jean menggema di telingaku, menghasilkan alunan indah yang tak pernah kutemukan sebelumnya.

“Ya ampun! Apakah ini kaki ayam? Apa yang kamu coba buat, Romeo?” dan ia terus tertawa. Membuat beberapa orang di sekeliling kami menoleh dan diriku yang tersenyum lebar. “Sini aku perbaiki.”

Dan ia mulai memperbaiki gambarku. Menghapus, menggoreskan pensil, menghapus, menggoreskan pensil. Kemudian aku kembali teringat dengan handycamku, merekam wajah Jean yang berubah serius saat mengerjakan gambarku yang sangat jauh dari ekspetasi siapapun.

“Oh, sial, baterainya habis.”

Bip.
——

Tanpa disuruh kembali, pria itu langsung mengganti kaset yang berlabelkan: Rumah Jean. CCTV. 31 Desember 2017

——
“AAAAAKKKK JEEEAAANNNN!”

Dengan cepat Jean telah berada di sampingku dengan tatapan penuh kepanikan. Membuatku meraih bahunya dan berdiri tepat di belakangnya.

“Ada apa?” tanyanya panik.

“Kenapa minyaknya meletup-letup?”

Kemudian tawa Jean pecah, ia tertawa terpingkal-pingkal sembari mematikan kompor di hadapannya. Setelahnya ia terjatuh di lantai, menekan perutnya sembari mengeluh keram.

Aku pun mendengus, duduk di sampingnya seraya menatapnya jengkel.

Saat ia telah berhenti tertawa, aku kembali bertanya dengan nada yang cukup kesal, “sudah tertawanya?”

Jean mengangguk, mencubit pipiku penuh semangat hingga membuatku mengadu kesakitan. “Kamu seharusnya tidak perlu panik. Kamu hanya menggoreng ikan dan ikan itu tidak akan hidup sekalipun minyaknya meletup-letup.”

“Tapi itu sakit!”

Kali ini Jean hanya tertawa kecil. “Kamu harus berani, Romeo.”

“Tidak, itu menakutkan.”

“Kalau begitu, ayo aku ajarkan bagaimana caranya agar kamu tidak terkena letupannya.”

Mulai saat itu, aku menepis rasa raguku bahwa aku selalu bergantung pada Jean selama ini. Dan tanpa ia ketahui, aku memang sangat membutuhkannya dan diam-diam takut kehilangan dirinya. Aku belum siap. Dan mungkin tidak akan pernah siap untuk kehilangannya.
——

“Ter— lalu b— banyak adegan dewa— sa, Nak, sete— setelahnya. Bisa k— kalian cepati la— langsung ke tang— gal 15 Juli 2035?”

Dan di sana tertulis: Rumah dan mobilku. CCTV. 15 Juli 2035

——
Aku terbangun saat suara berisik di luar sana menggangguku. Membuatku menyibakkan selimut kemudian bergegas turun ke arah dapur.

Aku langsung mengusap wajahku saat kudapati kedua anakku tengah mencoba membuat sesuatu. Membuatku tersenyum tipis kemudian membantu keduanya untuk menggapai sebuah piring yang berada di lemari dinding.

“Ayah sudah bangun?” Aku pun mengangguk. “Padahal aku dan Keyana ingin memberi kejutan untuk ayah dan ibu.”

Seulas senyuman semakin merekah di wajahku. “Kalau begitu, ayo kita beri kejutan untuk ibu.”

Dan aku pun mulai membantu niat kedua anakku ini untuk membuat sarapan roti dengan selai di atas meja makan. Kemudian membuat dua cangkir kopi hangat kesukaanku dan Jean.

Setelah selesai, kedua anakku membawakan dua piring roti yang telah mereka masing-masing buat, sementara aku membawa dua cangkir kopi yang akan kami minum.

Sesampainya di dalam kamar, aku meletakkan dua cangkir itu di atas nakas, terduduk di bibir ranjang kemudian mengecup kening Jean hangat.

“Jean, bangun, sayang.”

Dan perlahan-lahan kelopak mata itu terbuka, menampilkan kedua mata hitamnya yang sangat indah dan semakin terlihat indah saat ia melihat anak-anak kami menampilkan diri dari belakangku.

Jean langsung terduduk di atas ranjang, duduk bersila dan memangku salah satu anak kami. Mereka bertiga pun tertawa, membawaku seolah-olah pergi ke surga saat melihat wajah ketiga bidadari duniaku yang amat sangat bahagia.

Setelah menghabiskan sarapan bersama-sama, aku mempersiapkan kedua anakku untuk pergi ke sekolah dan mengantarkannya hingga tepat berada di gerbang sekolah. Melambaikan tangan  kepada anak-anakku itu saat mereka berseru, “sampai nanti, Ayah!”

Tepat setelah itu aku benar-benar bersyukur pada Tuhan yang telah memberikanku manusia-manusia yang dapat mewarnai hari-hariku, mengubah hari-hari sebelumnya yang amat sangat kelam dan berwarna hitam serta putih.

Sesampainya di dalam rumah, aku mendapati Jean tengah menonton televisi dengan setoples camilan di pangkuannya. Dengan segera aku duduk di sampingnya, mencium pipinya dan ikut mengambil camilannya.

“Romeo!”

Ia menoleh ke arahku, membuatku ikut menoleh ke arahnya kemudian mengecup bibirnya singkat.

“Aku mencintaimu, Jean. Aku ingin terus bersamamu hingga tua nanti.” Jean terdiam, menatapku dengan lekat-lekat. “Aku ingin satu-satunya alasan bagi kita untuk berpisah hanyalah kematian seperti yang pernah kuucapkan di depan Tuhan. Dan aku berterima kasih kepadamu karena telah mengubah duniaku menjadi lebih berwarna.”

Kemudian aku mengambil gitar yang memang biasanya berada di dekat sofa, memangkunya di depanku seraya kembali menatap Jean. “Aku menulis lagu ini untukmu. Sehingga semua orang nanti, anak dan cucu kita tahu bahwa ini semua hanya tentang kamu dan aku.”

Dan aku mulai memetik gitar, memainkan lagu ciptaanku dengan lincah sembari terus menerus menatap Jean yang kini tengah nyaris menangis. Aku tersenyum, menghentikan permainan gitarku kemudian memberikan ciuman hangat kepadanya.
——

Tanpa kusadari air mata telah mengalir di kedua pipiku. Membuat wanita muda ini menyekanya kemudian mempererat genggaman tangannya padaku.

“Kek, apakah kakek baik-baik saja?”

Aku mengangguk, kembali meminta suami cucuku itu untuk menyetel kaset terakhir yang bertuliskan: Rumah Sakit. CCTV. 18 Januari 2091.

Namun saat ia hendak menyetelnya, entah mengapa aku dapat melihat Jean berada di hadapanku. Dengan rambut berubannya serta kulit yang telah berkeriput, kedua bola matanya masih menatapku dengan penuh keantusiasan.

Hingga saat ia menggenggam tanganku sembari tersenyum, dapat kurasakan perlahan-lahan pandanganku menggelap dan perasaan rinduku berakhir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro