ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ ʟɪᴍᴀ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Selepas mood-ku yang membaik karena semangkuk rice beef bowl dengan bumbu blackpepper juga seporsi Chicken Karaage dan salad, kami pergi meninggalkan restoran ala Jepang itu minus perdebatan.

Kami kembali ke studio dan tidak mendapati Kak Nara berada di sana. Kak Ervin ada di control room bersama seseorang yang kukenal sebagai Kak Afriandar.

"Maura, ya?" sapanya ketika kami memasuki ruang control room.

"I-iya, Pak."

Aku sedikit kikuk ketika bertemu dengan laki-laki dengan postur tinggi itu, pakaiannya sangat formal, dengan kemeja rapi, lengkap dengan jas dan sepatu yang mengkilap.

Laki-laki itu tersenyum ramah. Sekarang aku ingat dia! Ia dulu atasan Kak Maudy ketika bekerja. Wah! Ternyata sekarang sudah menjadi pemimpin umum. Pantas saja aku jarang mendengar Kak Nara menceritakannya.

"Canggung banget kamu. Panggil kakak juga boleh kaya panggilan kamu ke yang lain. Kamu ke sini mau belajar jadi jurnalis?"

Setiap kata-kata yang dikeluarkan oleh Kak Afriandar terdengar sangat bijaksana. Kadang aku heran kenapa orang sepertinya bisa berteman dengan Kak Nara.

"Boleh aku belajar jadi jurnalis?" tanyaku padanya.

"Boleh dong! Memang kamu cita-citanya jadi apa kalau sudah lulus nanti?"

"Jadi istrinya teknikal direktor!"

Kak Afriandar, Kak Ervin dan Andres kompak tersedak ludah mereka sendiri ketika mendengar jawabanku. Aku lihat Kak Afriandar menatap Andres meminta penjelasan lebih, sementara Kak Ervin hanya menggembungkan pipinya menahan tawa.

"Kamu ... Mau jadi istri siapa?" Kak Afriandar menggaruk tengkuknya, memastikan ia tidak salah dengar atas apa yang aku katakan.

"Mau jadi istrinya ...."

Perkataanku terhenti ketika Andres tiba-tiba membekap mulutku dan membawaku ke studio setelah berpamitan pada Kak Ervin dan Kak Afriandar.

"Mau jadi istrinya siapa kamu?" Andres menoyorku ketika kami sudah di luar control room.

"Mau jadi istrinya kakak."

"Mau jadi istrinya kakak." Andres mengulang jawabanku dengan aksen yang dibuat-buat.

Aku tertawa ketika melihat Andres kesal. Setidaknya, aku lebih suka melihat Andres kesal seperti ini dibandingkan ia harus diam dan menatapku seolah aku adalah makhluk yang patut ia jauhi.

"Kak kamera itu besar banget. Aku boleh coba nggak?" Aku menunjuk kamera besar yang berjejer mengelilingi meja pembawa berita tadi.

"Itu namanya kamera studio. Kamera yang biasa dipake buat di dalam ruangan. Indoor gitu."

"Kenapa nggak pake DSLR aja, Kak?" Aku mendekati kamera studio itu, mengintip pada lubang view finder dan mengarahkannya pada meja anchor.

"Kamera action!" ucapku berlagak menjadi seorang campers profesional.

"Beda barang, beda kegunaan, beda juga tekniknya. Semuanya ada tekniknya, Ra," jawab Andres ketika berada di sampingku.

"Berarti, beda orang beda juga cara dekatinnya, ya? Kalau Kak Ubay gimana cara dekatinnya? Karena aku udah coba nggak suka sama Kakak, tapi nggak bisa."

Andres diam--seperti biasanya--ketika mendengar penuturanku. Aku menatapnya lamat-lamat, ikut diam dan kami hanyut akan pikiran masing-masing.

"Coba buka hati kamu untuk orang lain, Ra. Selamanya Kakak nggak akan bisa bales perasaan seperti yang kamu mau."

"Tapi kenapa, Kak?"

"Kamu nggak akan ngerti, Ra." Andres menggeleng lemah.

"Karena itu jelasin, Kak. Aku selamanya nggak akan ngerti kalau Kakak nggak mau jelasin!" Aku meraih tangan Andres dan meremasnya erat.

Andres mencoba melepaskan genggaman itu. Ia menunduk, kemudian berbalik arah. "Maafin Kakak, Ra."

Andres meninggalkanku dan berjalan keluar studio. Aku mengembuskan napas berat sebelum menyusulnya keluar. Tidak! Aku tidak akan sakit hati lagi dengan perkataan tidak jelas Andres, aku harus tahan jika ingin tahu jawaban kenapa Andres menolakku.

****

Sekembalinya Andres dari toilet, dengan takut aku kembali menghampirinya. Ia menghela napas berat, berusaha tersenyum di hadapanku dan beberapa karyawan lain yang lalu lalang. Oke, kali ini aku mengaku salah, aku tidak bermaksud membuat Andres tidak nyaman dengan apa yang kukatakan tadi.

"Kak, aku pamit pulang, ya?"

Andres mengangkat alisnya mendengar perkataanku. Bukan! Bukan aku sedang merajuk karena penolakannya, tetapi aku memang sudah berjanji pada Kak Nara akan pulang sendiri karena ia tidak bisa mengantarku pulang tadi pagi.

"Kamu pulang sendiri?" tanyanya.

Aku mengangguk, sedikit tidak berselera menanggapi pertanyaan basa-basinya.

"Tunggu sejam lagi deh, biar Kakak anter kamu pulang." Andres menepuk bahuku pelan.

"Emang Kak Ubay udah pasti bakal pulang satu jam lagi?" Aku mengerutkan kening.

"Kalo sejam lagi Kakak belum balik. Kakak pesanin kamu ojek online?" Andres menawarkan.

Aku mengangguk untuk menyetujui tawaran yang ia berikan. Ia tersenyum ketika menerima jawaban kemudian kami berjalan kembali ke ruang kontrol.

Ketika bekerja, aku tidak ingin mengganggu Andres dengan pertanyaan-pertanyaan yang harus ia jawab. Aku hanya melihat-lihat sekitar ruangan. Ada meja kerja di pojok dengan kursi yang kosong.

Aku mengerutkan kening. Ketika menangkap sesuatu yang begitu aku kenali, kulangkahkan kaki menuju meja tidak berpenghuni itu.

Pandanganku lekat pada satu buah foto dengan gambar usang yang tergantung di belakang kursi dari meja kerja itu. Jika kalian bisa menebak, foto itu adalah foto anak kecil yang pernah Andres berikan padaku dua tahun lalu.

Aku menyentuhnya, mengambil foto anak kecil itu dan memastikannya. Ya! Meski sempat ragu, tetapi foto anak kecil itu jelas menunjukkan siapa laki-laki yang dua tahun lalu aku temui.

Lima menit yang lalu, Andres pamit ke ruang campers untuk mengecek ketersediaan kamera untuk acara di studio tiga. Karena bosan, pandanganku beralih pada sebuah laptop yang ditinggal menyala di meja kosong tadi.

Aku berani bersumpah jika aku bukan orang yang suka sembarangan membongkar isi laptop seseorang. Namun, entah kenapa aku teringat dengan kamera hitam yang aku temukan. Hatiku menduga jika itu milik Andres, dan untuk memastikannya, apa boleh aku melihat beberapa folder laptopnya? Tentu saja tidak!

"Maura, kata Ubay kamu sering jadi model, ya?"

Kak Ervin tiba-tiba masuk ke dalam ruang kontrol, tangannya membawa beberapa map yang aku tidak tahu apa isinya. Ia meletakkan map warna warni itu pada meja di depanku, bersebelahan dengan laptop yang menampilkan layar desktop ketika tanpa sengaja tersentuh mousepad-nya.

Aku mengerutkan kening. Seingatku, baru sekali aku jadi model dan itu pun dadakan karena Andra dan teman-temannya. Kenapa Andres mengatakan aku sering melakukannya?

"Nggak, kok, Kak," aku menjawab singkat.

"Masa? Padahal foto-foto kamu bagus-bagus loh! Kenapa nggak jadi model aja?"

Oke! Ini aneh. Kenapa Kak Ervin mengatakan fotoku bagus? Memang kapan Kak Ervin melihat fotoku? Padahal, aku bahkan tidak yakin Kak Nara tahu tentang aku yang menjadi model dadakan Andra tempo hari.

"Di laptop Ubay banyak foto kamu. Katanya itu foto pas kamu jadi model. Bagus-bagus loh!"

Ternyata hasil editing waktu itu belum dihapus oleh Andres. Tapi, aku jadi penasaran. Karena insiden jatuh waktu itu, aku jadi lupa meminta hasilnya pada Andra. Apa memang sebagus yang dikatakan Kak Ervin hasil editing Andres?

"Aku malah belum sempat lihat." Aku berkomentar. Mungkin sekembalinya Andres aku akan meminta hasilnya jika memang masih ada.

Bukannya mengiyakan atas jawaban yang aku berikan, Kak Ervin justru bergerak ke arah meja kosong tadi dan mengotak-atik laptop di atasnya.

"Ini, kan, kamu?" Kak Ervin menunjuk layar laptop dengan foto-foto hasil jepretan Andra.

Ternyata banyak juga hasil jepretan Andra dan teman-temannya waktu itu. Aku menampilkan senyum ketika Kak Ervin memberikan pujian padaku. Namun, senyumku memudar ketika melihat foto-fotoku yang asing.

Ada beberapa gambar ketika aku di kampus, juga beberapa gambar ketika aku di rumah dengan pakaian santai.

"Ini foto waktu di pemakaman orang tua kamu." Kak Ervin menunjuk pada satu foto di pemakaman.

Aku mengerutkan kening, beberapa gambar memperlihatkan aku dan Kak Maudy yang sedang berduka, juga beberapa gambar ketika prosesi pemakaman dengan posisi Kak Nara yang ikut menguburkan kedua orang tuaku.

"Ini laptop Kak Ubay, Kak?" tanyaku sedikit ragu pada Kak Ervin.

"Iya."

Tunggu dulu! Kalau Andres mengingat jelas prosesi pemakaman kedua orang tuaku. Kenapa dia bersikap seolah-olah tidak mengenalku sama sekali ketika kami bertemu kembali? Apa dia hilang ingatan?

"Ehh? Kamu masih nunggu Ubay, ya? Kak Ervin duluan, ya? Mau jemput Kak Azkia dulu di rumah mamah." Kak Ervin mengetukkan jam tangannya. "Titip map itu untuk Ubay, ya."

Aku mengangguk pada Kak Ervin. Memaksakan senyum meski banyak pertanyaan yang sekarang bersarang di kepalaku.

Ketika Kak Ervin pergi, tidak ada suara dentingan speaker kecil di pojok ruangan. Aku melamun, menekuri gambar-gambar yang ada di laptop Andres. Namun, lamunanku buyar ketika tiba-tiba Andres datang dan menghentak keras laptopnya hingga tertutup rapat.

"Kak-kakak."

Andres berbalik, menghindari bersitatap denganku. Aku mencoba berhadapan dengan berdiri di depannya, tetapi ia justru memutar badannya--kembali menghindariku.

"Ke-kenapa banyak fotoku di laptop Kak Ubay?"

Andres tidak menjawab. Laki-laki itu memejamkan matanya erat dan mengepalkan tangan hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas.

"Jawab, Kak. Kakak bilang Kakak nggak tahu kamera yang ada di tanganku itu punya siapa? Tapi kenapa beberapa file-nya mirip sama yang ada di laptop Kakak?"

Aku memasang wajah bingung melihat Andres yang hanya diam tanpa mengucapkan apa pun. Kepalaku pusing, mencoba menebak segala kemungkinan yang terjadi.

"Udah sore. Ayo kita pulang." Hanya itu yang berhasil aku tangkap dari Andres.

"Nggak mau sebelum Kakak jawab pertanyaan aku!"

Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Sekarang, aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Andres. Yang jelas aku butuh penjelasan, bukan hanya sekadar kalimat pengalihan seperti yang biasa ia lakukan.

"Apa yang mesti Kakak jawab? Kakak nggak punya kewajiban apa-apa untuk menjelaskan apa pun sama kamu."

Aku menatapnya tidak percaya. Kenapa? Kenapa laki-laki di depanku ini sangat aneh?

"Nggak punya kewajiban Kakak bilang?" tanyaku. Rahangku tiba-tiba saja mengeras, ada rasa marah yang tidak bisa aku jelaskan ketika melihatnya bersikap seolah-olah tidak peduli sama sekali akan apa yang aku rasakan.

Tanganku melayang begitu saja, aku merasakan panas ketika tanganku menyentuh pipinya dengan teramat kencang. Ternyata selama ini aku salah sudah memberikan hatiku kepada pecundang sepertinya.

Glosarium :

Campers : Camera person, yaitu orang yang bertugas sebagai kameramen.

ʏᴀᴀʜ sᴇᴘᴇʀᴛɪɴʏᴀ ᴋᴀᴍᴜ ᴍᴇᴍᴀɴɢ ᴍᴇᴍɪʟɪʜ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴅɪʙᴇɴᴄɪ ᴍᴀᴜʀᴀ ᴅɪʙᴀɴᴅɪɴɢ ᴅɪᴄɪɴᴛᴀɪ ᴅɪᴀ ᴀɴᴅʀᴇs :(

ʙᴇʀᴋᴀʟɪ-ᴋᴀʟɪ ᴀᴋᴜ sᴇʟᴀʟᴜ ᴍᴇʀᴀᴘᴀʟᴋᴀɴ ᴅᴀʟᴀᴍ ʜᴀᴛɪ, ᴀɴᴅʀᴇs ᴘᴜɴʏᴀ ᴀʟᴀsᴀɴ ᴋᴇɴᴀᴘᴀ ɴɢᴇʟᴀᴋᴜɪɴ ɪᴛᴜ, ᴛᴀᴘɪ ᴋᴀʏᴀɴʏᴀ ᴅɪᴀ ᴍᴀᴋɪɴ ᴋᴇ sɪɴɪ ᴍᴀᴋɪɴ :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro