ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ sᴇᴍʙɪʟᴀɴ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Kalau aku tidak tengah berada di tengah-tengah project kegiatan mahasiswa, aku pasti akan memberondong Kak Nara dengan pertanyaan kenapa ia melarangku dekat dengan Andres. Mungkin orang lain bilang aku overthinking, tetapi kenapa kepalaku terus memikirkan, kemungkinan larangan Kak Nara yang menjadikan Andres ragu terhadapku. Meski itu sudah dua hari berlalu.

Entahlah ....

Aku tidak pernah berhasil mengenyahkan Andres dari pikiranku barang sedetik saja. Bahkan, jika aku dihadapkan sebuah pertanyaan 'apa aku akan melawan Kak Nara jika Andres mau memperjuangkanku?' Mungkin aku akan memilih melawan. Aku bodoh, 'kan?

"Jangan ngelamun aja!" Aku menumpahkan air teh panas yang aku genggam ketika suara Kak Indra menyapa. Laki-laki berkepala pelontos itu kaget melihat respons yang berlebihan dariku.

"Ehh ... maaf, Ra. Nggak tahu kamu sampe sekaget ini." Wajah Kak Indra terlihat panik dan membantuku mengambil lap untuk air yang tumpah.

Saat ini, kami memang tengah istirahat dari proses pengambilan gambar hari kedua. Desa Thekelan terletak di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut, untung saja suhu dingin membuat teh panas yang aku tumpahkan tidak begitu terasa.

Kemarin--setelah mendapat izin dari kepala dusun--kami disambut dengan anak-anak Taruna yang menampilkan tarian khas daerah mereka. Andra, Kak Dhyas beserta tim mengambil gambar mereka dengan peralatan yang sudah disiapkan.

Awalnya aku bingung kenapa Kak Dhyas memberikan judul Pelajaran Toleransi Kaki Gunung pada proyek ini. Namun, seperti katanya, aku akan tahu ketika kami sudah berada di sana.

"Ngelamunin apa, sih, Ra? Kangen pacar, ya?" Kak Indra meledek.

"Apaan, sih, Kak? Aku cuma capek aja, 'kok." Aku mencoba berbohong pada Kak Indra. "Habis ini kita ke mana lagi, Kak?"

"Ke Watu Telu, bagian timur dusun ini. Nggak jauh, sih, cuma sepuluh menitanlah jalan kakinya," jawab Kak Indra.

Aku bangun dan meletakkan gelas kaca pemilik warung dan mengucapkan terima kasih setelah membayar yang ternyata ditolak karena sudah dibayar oleh panitia.

"Ayo, Kak."

"Ayo ke mana?" Kak Indra mengerutkan kening.

"Katanya tadi ke Watu Watu itu."

"Makan siang dulu kali! Noh yang lain udah pada kumpul di sana."

Kak Indra menunjuk sebuah tempat makan yang dipenuhi anggota FOGAMA dan BROPELA. Aku mencebik, bisa-bisanya Andra dan Sherly meninggalkan aku dan makan duluan!

Tungkaiku mengikuti langkah Kak Indra menyusul anggota lainnya. Namun, senggolan pada bahu membuatku menoleh. Ternyata itu Andra yang baru saja kembali entah dari mana dengan wajah yang terlihat segar.

"Aku kira kamu udah makan duluan." Aku cemberut di depan Andra.

"Jelek aja terus pikiran kamu. Orang abis dari toilet." Jawaban Andra membuatku memukul bahunya keras-keras.

"Kenapa, sih?" Andra mengeluh.

"Jorok banget, sih! Pake bilang-bilang lagi."

"Ya terus aku harus ngomong apa? Diem aja dibilang ninggalin makan?" Andra menaikkan kedua alisnya sembari menatapku.

"Berantem mulu gue jodohin lu lama-lama!" Sebuah kelakar dari mulut Kak Indra menginterupsi percakapan kami.

"Sama dia?" Andra menunjukku dengan wajah yang mengejek. "Maaf deh. Nggak selera tukang pukul." Andra bergidik ngeri kemudian disusul pekikan karena aku kembali memukulnya.

Entah kenapa ekspresi Andra itu membuatku tertawa. Andra yang kukenal sebelum ini adalah pribadi yang cuek, jarang bicara, tetapi sekarang Andra sudah jauh lebih terbuka dan cerewet di depanku.


( image : kumparan.com )


Bagaimana rasanya ada di sebuah hamparan hijau segar tanpa polusi?

Aku melompat-lompat ketika berada di jalur pendakian Gunung Merbabu ini. Beberapa tertawa melihat tingkahku, aku merapatkan tangan ke belakang tubuh dan bersembunyi di belakang Andra ketika sadar tengah menjadi pusat perhatian anggota lain.

"Norak dasar." Aku memukul Andra ketika suaranya terdengar di telingaku.

Sempat beristirahat sebentar, Kak Dhyas menginstruksikan agar para anggota menyiapkan kamera dan recorder yang akan digunakan. Aku, Hera, Sherly, Joni dan Rafli diinstruksikan mendekat pada Kak Dhyas untuk arahan apa saja yang kami peragakan.

Ya, memang Kak Dhyas meminta Joni dan Rafli menjadi talent laki-laki karena pengalaman mereka sebelum ini.

Seperti membuat laporan langsung dari sebuah lokasi kejadian. Aku memperhatikan, Andra terlihat serius dengan kamera display yang ditatapnya. Begitu pula Kak Dhyas, keningnya berkerut ketika angin menggoyangkan drone yang diterbangkan Kak Rizal.

Melihat keseriusan mereka, aku jadi teringat ketika berada di control room. Andres juga seperti itu. Ia terlihat serius, mungkin karena cintanya terhadap dunia yang ia geluti. Sementara aku? Aku belum punya ketertarikan sama sekali dengan dunia luar selain belajar. Bahkan, motivasiku ikut dengan Andra sekarang, hanya untuk mendapatkan informasi yang digeluti Andres.

"MAURA!!"

Kak Dhyas berteriak kesal. Ternyata, sudah sejak tadi aku melamun hingga tidak sadar jika pengambilan gambar yang dilakukan Rafli sudah selesai dan berganti olehku.

"Lo ngelamunin apa, sih?" Kak Dhyas menghampiriku, wajahnya terlihat kesal. Aku tidak berani menatapnya hingga Andra menyusul.

"Maaf, Kak. Biar Maura jadi urusan saya." Andra mengambil alih.

"Nggak. Lo jangan belain dia mulu. Kapan dia mau gedenya kalau dibelain mulu?" Suara Kak Dhyas meninggi.

Tiba-tiba saja Kak Dhyas menarik lenganku. Andra mencoba mencegah, tetapi Kak Dhyas meminta waktunya dan berjanji tidak akan menyakitiku.

Aku hampir saja menangis ketika Kak Dhyas menariku jauh dari anggota lain.

"Kak, aku minta maaf, Kak." Mataku memanas, dadaku tiba-tiba saja sesak saat langkah Kak Dhyas semakin cepat.

"Dengar, Maura. Gue nggak punya banyak waktu untuk proses video ini. Gue punya tanggung jawab pekerjaan. Kalau memang lo nggak sanggup, ya lo bilang. Jangan ditahan. Gue nggak ada waktu buat drama lo. Di sini, nggak ada kakaklo yang reporter itu yang bisa belain. Nggak ada juga cowok yang lo taksir buat lo pelototin."

Air mataku jatuh ketika Kak Dhyas mengeluarkan kata-katanya. Itu kejam, tetapi dalam benak aku mengakui itu benar.

"Lo harus fokus. Habis ini, terserah lo mau ngelamunin dia sampe kapan juga gue nggak peduli. Asal satu hal yang mau gue sampein, jangan cuma dilamunin, perjuangin kalau emang lo beneran sayang sama dia. Berjuang, ya. Bukan meratap. Ngerti?"

Aku mengangguk mendengar jawaban Kak Dhyas. Kak Dhyas benar, aku selama ini hanya meratapi nasibku akan sikap Andres. Belum sepenuhnya berjuang agar pantas dicintai olehnya.

"Berjuang bukan mengemis. Inget itu! Lo harus jauh lebih baik dari sekarang dan kalau bisa, buat dia yang ngejar-ngejar lo! Jangan jadi perempuan cengeng yang cuma bisa nangis."

Sekali lagi aku mengangguk atas saran Kak Dhyas. Ia benar, tidak seharusnya aku meratap seperti ini. Kali ini, aku harus benar-benar mampu untuk mengubah diriku menjadi lebih baik.

"Sekarang hapus air mata lo. Nanti gue ditonjok Andra karena dia mikir gue apa-apain lo lagi."

Aku menghapus jejak air mata dan tersenyum pada Kak Dhyas yang tersenyum ke arahku.

Ya! Mulai hari ini, tidak akan ada Maura yang akan mengharapkan seorang Andres. Aku harus berubah, harus! Bagaimanapun caranya, aku akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

ᴀᴋᴜ ᴍᴀᴜ ɴᴜʟɪs ᴀᴘᴀ ʏᴀᴀ ᴅɪ sɪɴɪ?
ɴɢɢᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴅᴇʜ, sᴀᴍᴘᴇ ᴋᴇᴛᴇᴍᴜ ʙᴇsᴏᴋ ᴀᴊᴀ :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro