ᴛɪɢᴀ ᴘᴜʟᴜʜ sᴇᴍʙɪʟᴀɴ ( end )

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Jujur saja, aku pernah membayangkan jika suatu saat aku akan menikmati masa pacaran seperti kebanyakan teman semasa sekolah. Jalan-jalan ke taman hiburan, pergi nonton film romantis kemudian makan malam, atau sekadar dijemput di sekolah oleh laki-laki yang berstatus sebagai pacarku.

Sepertinya itu akan menjadi menyenangkan, memasang foto pasangan di sosial media dan mendapat respons dari teman satu angkatan. Namun, hidupku ternyata menjadi lebih baik lagi sejak aku bertemu dengan Andres.

Dari Andres, aku banyak belajar mengenai hal-hal baru. Seperti mengelola bisnis kuliner, membuat desain grafis, hingga melakukan hal-hal sepele yang sebelumnya aku tidak pernah melakukannya. Seperti memintaku menjadi salah satu karyawannya di coffe shop ketika waktu senggang.

Menyebalkan? Memang. Andres jelas bukan laki-laki romantis yang akan memperlakukanku secara spesial. Ia ingin aku berdiri di atas kakiku sendiri, agar aku siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Ia berpesan, aku tidak boleh bergantung pada siapa pun, termasuk padanya.

Siang ini, saat hari libur aku datang ke coffe shop, membantu Kak Aje dan karyawan lain meracik kopi dan membuat roti.

"Yang ini orderan online, Ra. Cek dulu nomer pesanannya, habis itu dobel packing jangan lupa."

Aku mengangguk seraya menerima pesanan yang disodorkan Kak Aje padaku. Setelah mengkonfirmasi pada mesin dual screen, aku memberikan pesanan pada driver online. Tidak lupa memberikan cookies dan air mineral untuk ucapan terima kasih pada driver yang mau mengambil orderan dari coffe shop kami.

"Ibu Bos capek nggak? Mau istirahat dulu?" tanya Kak Aje.

Aku cemberut mendengar panggilannya. Beberapa karyawan tertawa ketika coffe shop sudah lebih lengang dibandingkan siang tadi.

"Kak Aje jangan manggil gitu kenapa." Aku merajuk. Sejak hubunganku membaik dengan Andres, memang semua karyawan coffe shop melabeli aku sebagai kekasih Andres. Nyatanya, Andres sendiri tidak pernah mengatakan itu secara langsung.

Belum sempat aku menjawab, pintu kaca utama terbuka lebar. Aku tersenyum semringah ketika melihat Andra, Joni dan Rafli masuk kemudian berseru heboh.

"Duh! Makin kaya deh Bang Ubay punya karyawan cakep begini. Coffe shop makin rame dong Bang Aje?" Rafli seperti biasa menceletuk. Suaranya membuat beberapa pengunjung menatap sinis ke arahnya.

"Mau pesen apa kamu? Kalo nggak beli pergi aja. Aku sibuk." Aku mencoba bercanda yang ditanggapi ekspresi berlebihan oleh Rafli.

"Suruh pulang aja dia mah. Nggak guna juga di sini." Andra yang masuk ke counter kasir menimpali. Ia mencuci tangan pada sink dan mengambil roti pada show case kemudian memakannya.

Rafli berdecak, Joni hanya tertawa kemudian memesan dua hot latte untuknya dan Rafli.

"Aku belum pernah bikin hot latte. Kamu yang bikin, ya, Ndra?"

Sepertinya menyenangkan melihat Andra membuat kopi dengan mesin itu, aku harus ingat untuk meminta Andres mengajarkanku membuat latte dengan mesin raksasa itu.

Selang beberapa menit, laki-laki yang sejak tadi aku tunggu eksistensinya muncul dari balik pintu kaca.

"Kakak mau aku buatin kopi?" Andres menggeleng, tangannya meraih botol air mineral ukuran kecil yang tersimpan di dalam chiller dan menghabiskannya dalam satu kali minum.

"Haus banget. Habis narik becak?"

"Emang yang boleh haus yang narik becak doang?" Andres justru balik bertanya. Ia menarik hidungku hingga terpekik.

"Sakit tahu, Kak!"

Andres tertawa, matanya menyipit hingga tidak terlihat ketika mengacak-acak tatanan rambutku.

"Capek? Hari ini rame?"

"Banget! Kayaknya Maura besok suruh setiap hari aja jaga di counter depan. Buat promosi ke itu." Kak Aje menunjuk beberapa pelanggan yang kutaksir berusia dua puluh tahunan dengan dagunya.

Memang aku akui, setiap aku berjaga di counter depan, pelanggan coffe shop selalu didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi, masa bodoh. Di hatiku tetap hanya ada Andres seorang.

"Ide bagus tuh! Kamu mau nggak? Aw!!"

Ucapan Andres terhenti karena aku tiba-tiba mencubit pinggangnya. Menyebalkan! Bukannya marah, ia justru menyetujui permintaan Kak Aje. Memang Andres tidak cemburu?

"Sakit tahu!" Ia memprotes.

"Biarin! Lagian nyebelin." Aku melempar lap yang ada di samping mesin kopi ke arahnya.

"Maaf deh."

Ia menunjukkan dua jarinya sembari tersenyum lebar. Ini yang aku suka, senyumnya terkembang tulus, sama seperti dua tahun lalu ketika aku melihatnya saat hujan. Melihat senyum itu, entah kenapa ada rasa hangat yang menjalar ke hatiku. Rasanya menyenangkan jika bisa terus melihatnya sepanjang hari.

Dengan cepat aku mengecup pipinya. Andres melotot, sementara Kak Aje menutup matanya meski dengan pekikan yang sengaja ia buat untuk meledekku.

"Heh! Malu tahu!" Andres kembali mengomel. Bibirnya terkatup rapat ketika aku mencoba mencolek wajahnya.

"Masa malu dicium cewek cantik kayak aku, Kak." Aku kembali menggodanya. Ekspresi Andres berubah lucu, wajahnya memerah dan berusaha menahan senyum. Rasanya sungguh menyenangkan melihat laki-laki yang aku cintai ini bersikap malu. Andres memang berbeda dari laki-laki lain.

****

"Kita jadi makan di rumah Kakak, ya?" tanyaku ketika Andres menyalakan motornya.

"Terserah kamu aja."

Ia menjawab sekenanya. Motor yang kami tumpangi keluar dari area parkir coffe shop setelah Andres menitipkannya pada Kak Aje. Kemarin, aku memang meminta waktunya untuk sekadar makan bersama. Jujur saja, aku ingin lebih dekat dengan Khalil dan belajar menerima kenyataan bahwa Andres bukan pria yang bebas ke mana saja.

Kami sampai di rumah dengan dominasi warna hitam dan abu-abu tersebut. Andres pernah bercerita, jika rumah itu awalnya rumah tua peninggalan kakek dan neneknya. Setelah memiliki cukup uang dari bekerja dan keuntungan coffe shop, ia merenovasi total hingga bergaya industrial seperti sekarang ini.

Sedikit demi sedikit ia memperbaiki kehidupan. Melangkah dari titik yang membuatnya trauma hingga sekarang. Aku pikir ia cukup berhasil dalam kehidupan karirnya.

"Kamu mau makan apa, Ra?" tanya Andres ketika aku melepas helm.

"Apa, ya? Yang simpel-simpel aja, Kak. Sekalian ajarin aku masak, ya?" Aku menangkupkan kedua tangan di depan bibir, serupa membuat permohonan.

"Jemput Lil di tempat Arin sana. Kakak siapin bahan-bahan makanannya dulu."

Ketika Andres masuk ke dalam rumah, aku memekik saat rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku. Sepertinya apa pun yang dilakukan Andres akan selalu membuatku bahagia.

"Tante Bidadari!"

Itu suara Khalil yang lebih dulu masuk ke dalam gerbang sebelum aku sempat menjemputnya. Langkah kaki kecilnya berlari ke arahku dan menyodorkan permen lolipop padaku.

"Makasih, Sayang."

Aku mengambil permen dari tangannya dan mencium pipinya yang merah. Khalil memang tidak mengerti tentang hubunganku dan Andres. Akan tetapi, sikapnya menunjukkan jika ia menerimaku berada di dekatnya.

"Ayo masuk, Sayang."

Aku membuka kenop pintu dan menggandeng Khalil masuk ke dalam.

"Chicken nugget!"

Khalil berteriak ketika aku membawa sepiring chicken nugget ke meja makan. Ia menusukkan garpu pada satu potongan dan memakannya dengan lahap.

"Inget pesen Tante Bidadari apa, Lil?" tanya Andres ketika duduk di samping Khalil.

"Boleh makan chicken nugget kalau juga makan sayur. Sayur bagus buat mata, gigi, tulang, kulit dan rambut Lil."

"Pinter! Anak siapa, sih, nih?" Aku kembali mencubit pipinya.

"Anak Ayah sama Tante Bidadari dong!"

Perkataan Khalil membuat Andres tersedak chicken nugget yang ia makan. Buru-buru aku membantunya mengambil minum dan menepuk punggungnya.

"Lil, kamu tahu dari siapa omongan itu?" Andres bertanya.

"Dari Om Aje."

Ia menjawab polos dan itu membuat Andres menggelengkan kepalanya pelan.

"Udah. Makan dulu mendingan. Nanti keburu dingin." Aku mencoba menyudahi pembicaraan ini.

Kami makan malam minus keributan. Khalil sempat menolak makan brokoli, rupanya anak itu masih terlalu pilih-pilih dengan sayuran, tetapi setidaknya ia tidak menolak dengan jenis sayur yang lain.

Sering bertemu Khalil membuat aku dapat lebih memahami Andres. Andres penyayang, penyabar juga berpikir dewasa dan aku harus dapat mengimbanginya.

"Kak ajarin aku bikin kopi pake mesin semi manual dong." Aku meminta ketika Andres keluar dari kamar Lil setelah menidurkan anak itu.

"Oiya. Kamu harus bisa bikin kopi. 'Kan, nanti kamu harus bikinin aku kopi setiap pagi." Ia menaik turunkan alisnya, mencoba bercanda padaku.

"Apaan? Memangnya kapan Kakak mau nikahin aku? Secepatnya?" Aku menantang.

Kami berjalan menuju dapur rumah Andres, di rumah memang ada sebuah mesin besar yang biasa digunakan di coffe shop.

"Kuliah aja dulu yang benar. Nanti kalau sudah lulus, sudah puas main-main, baru deh aku nunggu kamu pulang ke rumah ini." Ia kembali mencubit hidungku.

"Kakak nggak akan bosan nunggu aku?"

"Kenapa harus bosan? Dulu kita sama-sama nggak bosan saling nunggu tanpa kepastian, 'kan?" Andres memastikan. "Justru Kakak yang takut kamu bosan sama Kakak."

"Kalau aku bosen sama Kakak, nanti jangan lupa update rasa sayangnya, ya, Kak. Biar bervariasi." Kini berganti aku yang mencubit pipinya.

"Ayo! Kakak ajarin pake mesin Faema ini."

Andres memasang stop kontak mesin dan memastikan sambungan selang air terpasang dengan baik. Memasang portafilter pada mesin grinder dan mengisinya dengan bubuk kopi sebelum memberikannya padaku.

"Pegang ini dan tekan pake tamper, pastiin bubuk kopinya udah padat di sana."

Aku melakukan apa yang ia suruh. "Sudah, Kak."

"Sini."

Ia memperlihatkan padaku cara memasang portafilter pada mesin. Menekan tombol satu shot di atas mesin hingga mesin berbunyi. Perlahan, keluar cairan espresso dari lubang portafilter sedikit demi sedikit.

"Trus kalau susunya?"

"Pake ini untuk buat steam susunya dulu."

Andres menuangkan susu full cream ke dalam jug stainless, menyalakan tombol uap hingga uap panas keluar dari selang alumunium.

"Itu panas, Kak?"

"Panas. Makanya harus hati-hati. Posisi jug sedikit miring, kemudian perlahan masukin selang ini ke permukaan dulu. Sebentar aja, sampe dapat putaran trus tekan ke dalam."

Aku mengintip dari celah yang Andres buat. Perlahan susu itu mengembang dan mengeluarkan asap panas.

Aku masih mengamati, ketika Andres menuangkan susu yang sudah melalui proses steam dan membantuk bunga tulip.

"Bagus, Kak." Aku berkomentar.

"Gampang, 'kan? Nanti kamu juga bisa, 'kok."

Aku mengangguk kemudian meletakkan gelas berisi latte art yang Andres buat di meja dapur.

Susu yang ada di jug stainless masih tersisa banyak. Kenapa juga Andres tidak membuat dua sekaligus? Namun, karena penasaran aku mencoba meminum susu itu langsung dari tempatnya.

Andres terpekik berbarengan denganku yang merasakan ujung lidahku terbakar.

"Kenapa diminum? Itu panas banget!" Andres berlari ke arah kulkas dan mengambil air dingin. "Minum ini."

"Sakit banget." Air mataku menetes saat air dingin menyentuh lidah. Aku berani bersumpah bahwa itu adalah minuman paling panas yang pernah aku rasakan selama hidupku.

"Coba Kakak lihat."

"Sakit!"

"Iya seapa sakitnya. Lihat."

Aku mendongak, memperlihatkan ujung lidahku padanya.

"Nggak apa-apa, 'kok. Cuma merah sedikit, nanti juga sembuh," ucapnya ketika menatapku.

Aku mengangguk, mencoba menjauhkan diri dari Andres karena jujur saja, aku merasa bodoh sekali di hadapannya. Namun, Andres justru menarikku. Menyesap ujung lidah yang tadi terasa sakit dengan bibirnya.

"Udah nggak sakit, 'kan?"

Aku hanya diam saat Andres menatap ke dalam mataku. Jantung ini tiba-tiba saja berdegup sangat kencang.

"Jangan pernah bosan, ya? Sama orang yang sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu tanpa tahu caranya untuk bangkit ini."

Ini adalah pertama kalinya Andres mengucapkan kata cinta dan sekarang aku yakin, bahwa Andres hanyalah milikku.

ᴄɪᴇᴇ ᴀɴᴅʀᴇs ᴜᴅᴀʜ ɴɢɢᴀᴋ ᴍᴀʟᴜ-ᴍᴀʟᴜ ʟᴀɢɪ.
ᴍᴀʟᴜ ɴᴅʀᴇs, ᴜᴅᴀʜ ɢᴇᴅᴇ ᴍᴀsɪʜ ᴍᴀʟᴜ-ᴍᴀʟᴜ ᴍᴀʜ ᴡᴋᴡᴋᴡᴋ

ᴅᴀɴ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ᴘᴀᴍɪᴛ ᴀᴋᴜ ᴍᴀᴜ ᴘʀᴏᴍᴏsɪ ᴅᴜʟᴜ ᴀʜʜ ʜᴇʜᴇʜᴇ...
ᴋᴀʟᴀᴜ ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ʙᴇʀᴋᴇɴᴀɴ, ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ ᴍᴀᴍᴘɪʀ ᴋᴇ ᴘʀᴏᴊᴇᴄᴛ ᴛᴇʀʙᴀʀᴜᴋᴜ ʏᴀ!

ᴊᴜᴅᴜʟɴʏᴀ : ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ

ᴅᴀɴ ɪɴɪ ᴀᴋᴀɴ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ sᴇᴛɪᴀᴘ ʜᴀʀɪ ʟᴏʜ!
ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴀᴋᴀɴ sᴇᴅɪᴋɪᴛ sᴘᴇsɪᴀʟ ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴛᴏᴋᴏʜ ᴜᴛᴀᴍᴀɴʏᴀ ᴘᴜɴʏᴀ ɴɪᴀᴛ ᴊᴀʜᴀᴛ ʜᴇʜᴇʜᴇ...
ɴɢɢᴀᴋ ᴋᴏᴋ, ʙᴏᴏɴɢ ᴀᴋᴜ ᴍᴀʜ, ʙᴀɪᴋ ᴋᴏᴋ, ᴛᴏᴋᴏʜᴋᴜ ʙᴀɪᴋ-ʙᴀɪᴋ ᴋᴀʏᴀ ʏᴀɴɢ ɴᴜʟɪs

ᴅᴀɴ ɪɴɪ ʙᴏᴄᴏʀᴀɴ ʙʟᴜʀʙɴʏᴀ

ᴍᴀᴋᴀsɪʜ sᴜᴅᴀʜ ᴍᴀᴜ sᴛᴀʏ ᴅɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ᴍᴀᴜʀᴀ sᴀᴍᴀ ᴀɴᴅʀᴇs :)

sᴀʟᴀᴍ, ɴᴜʀᴀɴᴅ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro