sᴀᴛᴜ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

"Ra, kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Mataku membulat sempurna ketika menatap Naufal, teman satu kampus juga satu fakultas yang tengah berdiri di hadapanku dengan wajah yang teramat serius. Di tangannya ada satu bucket bunga mawar dengan pita merah muda dan boneka beruang putih kecil.

Seisi kelas riuh meneriaki kata 'terima' ketika menyaksikan pernyataan cinta Naufal. Aku menggaruk tengkuk karena bingung dengan kejadian yang tiba-tiba ini kemudian menyunggingkan senyum kecil pada Naufal sebelum mengucapkan kata maaf untuk menolak permintaannya.

Beberapa mendesah kecewa ketika aku memberikan jawaban untuk Naufal. Tak terkecuali Sherly, perempuan yang sudah kuanggap saudara sendiri itu langsung menarik tanganku dari ruang kelas.

"Ini Naufal loh!" Sherly berseru heboh. Matanya terbuka lebar seolah meminta penjelasan lebih akan penolakan yang aku berikan untuk Naufal.

"Ya terus?" responsku cuek.

Sherly menepuk kening sebelum mendesah untuk kesekian kalinya. "Gue itung, semester ini udah empat cowok yang lo tolak gitu aja. Oke! Empat, Maura Sayang."

Aku meliriknya sinis tanpa berkata apa-apa. Dia pun tidak berkata apa-apa lagi, hanya mendecak dan sesekali menggerutu tidak jelas. "Dan ini Naufal, loh!"

Aku masih diam. Sama sekali tidak berminat untuk menunjukkan ekspresi tertarik akan bahasan kelebihan Naufal dibanding laki-laki lain. Namun, tetap saja Sherly tidak berhenti mengatakan hal-hal yang menurutnya akan membuatku berubah pikiran.

"Pulang yuk! Udah nggak ada kelas juga. Ngapain di sini kalo nggak jadian sama Naufal." Sherly berusaha menyindir.

Aku mengangguk menuruti perkataan Sherly kali ini. Kami pun kembali memasuki ruang kelas dan mendapati Naufal masih diam di tempatnya sejak aku tinggalkan.

"Ra, boleh ngomong sesuatu?" Aku sedikit takut. Sepertinya Naufal akan marah karena menganggap aku sudah mempermalukan dia.

"Di luar? Atau gimana kalo gue anter lo balik?" Belum sempat aku menolak, Naufal kembali berucap. "Sherly juga ikut aja."

Mau tidak mau aku mengangguk sembari mengambil tas yang tadi tertinggal di meja. Kini, banyak mata yang menatap ke arah kami ketika berjalan di koridor. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian tadi kasak-kusuk, mungkin mempertanyakan kenapa aku pulang bersama Naufal?

Harusnya tadi aku tolak saja ajakan ini!

Suasana kafe begitu hening, aku menghela napas berat menunggu iced cappucinno yang aku pesan. Sama sekali tidak ada percakapan hingga Naufal membuka suara.

"Ra, apa boleh aku tau alasan kamu nolak aku? Maksudku, apa di mata kamu ada yang kurang sama aku? Aku bisa, 'kok, berubah demi kamu." Dia menekankan kata 'berubah' dengan nada yang sangat pelan.

"Apa kamu nggak bisa kasih aku kesempatan?"

Lagi-lagi kalimat itu keluar dari mulutnya. Kata-kata yang sama dengan laki-laki yang sebelumnya menyatakan perasaannya padaku. Sejujurnya, aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Maaf, ya, Fal. Tapi aku bener-bener nggak bisa. Aku nggak bisa jawab kenapa aku nggak bisa, karena aku jawabannya cuma nggak bisa." 

Naufal diam, begitu juga dengan Sherly yang merasa canggung, terlihat dari gerak-geriknya yang sesekali menggaruk tengkuk atau sekadar mengubah posisi duduk.

Sungguh tidak sampai sepuluh menit, aku pamit pada Naufal dan Sherly ketika pelayan membawakan minuman yang aku pesan. Setelah membayar tagihan, aku langsung beranjak keluar setelah sebelum meminta maaf pada Naufal untuk kejadian hari ini.

****


Ketika melewati pintu kaca aku menghela napas. Tidak adakah seseorang yang dapat mengerti aku? Bukan Naufal laki-laki yang aku inginkan.

Entahlah.

Rasanya aku juga tidak mengenal siapa orang yang aku inginkan. Seperti ia pernah ada, tetapi tidak begitu nyata.

Usiaku saat itu masih tujuh belas tahun, kejadian dua tahun lalu itu bertepatan dengan hari terburuk di dalam hidupku. Kedua orang tuaku pergi untuk selamanya dalam kecelakaan. Mobil mereka menabrak pembatas jalan di Tol Cipali ketika menuju ke rumah nenek dan hujan sore itu menjadi saksi bagaimana aku harus terbiasa hidup tanpa mereka.

"Sendirian di sini nanti kesambet, loh!"

Aku menoleh ketika mendengar suara dari belakang. Laki-laki itu mengenakan baju serba hitam dengan tas kamera di selempang bahunya. Ia bergerak ke sampingku dan membersihkan tangannya yang kotor akibat tanah merah dengan tetesan air hujan yang turun dari plafon rumah.

Aku sempat mengabaikannya. Namun, secara tiba-tiba ia memercikan air itu pada wajahku. Aku memekik, sebelum bergerak cepat mengusap percikan air yang terlanjur membasahi wajah akibat ulahnya.

Ia tertawa kemudian menyugar rambutnya yang sedikit panjang di bagian depan sebelum duduk di sampingku. "Kamu kenapa di sini? Nggak makan? Makan dulu, nanti masuk angin."

Awalnya aku tidak menghiraukan perkataannya. Dengan terus menatap kosong ke arah pohon ceri tua yang ditanam ayah waktu aku masih kecil ingatanku memutar memori ketika ayah dan ibu masih ada di sampingku.

"Makan dulu, Maura. Kasian kakakmu kalau kamu nanti sampe sakit."

Aku masih abai akan perkataannya. Sepertinya daun di pohon yang basah karena hujan lebih menarik ketimbang mendengarkan perkataanya hingga helaan napas terdengar dari mulutnya keluar, aku menoleh untuk mempersilahkannya pergi.

"Kamu tau, nggak? Kamu itu masih lebih beruntung dari kebanyakan orang."

Ini yang tidak aku suka dari orang-orang seperti dirinya, mereka selalu menganggap bahwa kehilangan orang tua bukanlah apa-apa. Nyatanya, jika dia berada di posisiku saat ini, aku yakin dia akan bersikap sama seperti kebanyakan orang yang sedang kehilangan.

Aku masih belum menjawab hingga laki-laki itu membuka tas kecil yang sejak tadi ia selempangkan kemudian mengeluarkan selembar foto.

"Ini," katanya sembari memberikan lembar foto itu padaku.

Aku memperhatikan, itu gambar seorang anak kecil dengan gambar lollipop di tangan.

"Kamu tau? Anak itu kehilangan orang tuanya ketika dia aku kasih permen itu." Aku membulatkan mata, tetapi masih tidak bersuara. "Orang tuanya meninggal saat kebakaran. Namanya kebakaran, berarti bukan cuma kehilangan orang tuanya tapi juga tempat tinggalnya."

"Mungkin kamu bisa merasa jadi orang paling bersedih di dunia. Tapi, di luar sana masih banyak orang-orang yang jauh lebih sedih dari kamu. Kamu masih beruntung, punya kakak yang ada untuk kamu, punya rumah buat kamu pulang. Sementara anak itu nggak punya siapa-siapa."

Selama beberapa detik sibuk mendengarkannya berbicara dengan memandangi lembar foto yang dia berikan. Mungkin dalam hati aku rasa dia ada benarnya. Namun, laki-laki itu juga tidak berhak melarang aku merayakan kesedihan hari ini bukan?

"Kamu makan, ya? Jangan sampe sakit. Kasian kakak-kakakmu juga nantinya kalau kamu sampe sakit."

Aku tidak menyadari itu adalah kalimat terakhirnya sebelum beranjak pergi dan masuk ke dalam rumah. Aku yang menganggap ia akan ikut makan bersama keluarga, akhirnya menegapkan tubuh dan ikut menyusul ke dalam rumah. Namun, betapa kecewanya ketika mendapati ia justru sudah berada di teras depan dengan motor yang sudah menyala.

Laki-laki itu menatapku sejenak ketika tengah memutar arah motor dan tersenyum sebelum menutup kaca helm dan pergi menjauhi halaman rumah.

Aku tetap diam di tempat, seolah mengharapkan ia kembali. Mungkin, sekadar mengucapkan namanya. Namun, harapan itu tidak pernah terealisasikan karena Kak Azkia, sahabat kakakku memanggil untuk aku segera membantunya membersihkan bagian dalam rumah.

"Kak Azkia, kenal sama orang yang tadi, nggak?" Aku berusaha mencari tahu. Mungkin saja itu salah satu kerabat Kak Azkia yang memang mengenal keluarga kami cukup dekat.

"Orang yang mana?" Kak Azkia mengerutkan kening kemudian menatapku dengan raut bingung. Wanita itu sempat menoleh pada halaman depan rumah yang sudah tidak ada siapa-siapa itu.

"Yang tadi di luar. Tadi aku ketemu sama dia di belakang." Aku masih mencoba peruntungan dengan bertanya padanya, tetapi belum aku mendapat jawaban, Kak Maudy—kakakku—datang membawa sepiring nasi lengkap dengan ayam dan sambal goreng kesukaanku.

"Makan dulu, Ra."

Tanpa merasa berdosa aku menggeleng pada Kak Maudy dan meninggalkan mereka untuk masuk ke dalam kamar. Entahlah, tetapi aku merasakan perasaan kehilangan yang menjadi dua kali lipat dari sebelumnya.

Aku curiga, jangan-jangan yang dilihat Maura bukan manusia?
Menurut kalian siapa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro