sᴇᴍʙɪʟᴀɴ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

"Ra, lo pergi ke mana sama Andra sampe babak belur begini?" tanya Sherly ketika masuk ke kamarku. Ia membuka jaket crop top lilac, menyisakan blouse putih polos yang ia lepas dua kancing teratasnya.

Tangannya dengan lincah membongkar tas di atas kasurku dan memberikan satu buku catatan sebelum menyalakan laptop.

Pagi tadi, aku memang meminta Sherly untuk datang ke rumah selesai kegiatan kampus untuk membantuku menyalin catatan. Meski Andres mengatakan akan meminta Andra membantuku, tetap saja aku lebih memilih Sherly untuk hal seperti ini.

"Apaan sih."

Aku mengabaikan pertanyaan sarkas yang ia lemparkan sembari membebat buku catatan ke halaman terakhir. Jujur saja, aku masih sedikit sebal pada Sherly karena kemarin malam ia tidak menjawab panggilan teleponku.

Sherly cemberut. Aku menahan tawa ketika bunyi panggilan masuk terdengar dari ponselku yang ternyata dari Andra.

"Halo, Ndra. Ada apa, ya?" tanyaku ketika memindahkan ponsel dari tangan kiri ke kanan.

"Kamu di rumah, 'kan?" Aku mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan yang dilemparkan Andra.

"Iya. Kenapa?"

Aku mengangkat bahu sekilas ketika Sherly mengode apa yang Andra katakan. Sahabatku itu memang selalu penasaran dengan apa yang terjadi padaku.

"Hmm ... aku diminta kakak untuk kasih catatan ke kamu. Buat bantu kamu belajar. Kamu mau aku antar bukunya sekarang atau gimana?"

"Makasih banget loh, Ndra. Tapi kayanya nggak perlu deh, soalnya aku udah dapat catatan dari Sherly. Tadi pagi aku minta sama dia untuk dateng ke rumah. Maaf, ya, Ndra."

Andra sempat diam beberapa saat. Sherly kembali mengangkat kepala sekilas--bertanya apa yang diucapkan Andra.

"Ohh ... gitu. Yaudah, selamat istirahat, ya, Ra. Cepet sembuh."

"Iya. Makasih. Sekali lagi maaf, ya, Ndra."

"Iya nggak apa. Aku tutup telponnya, ya."

Aku mengiyakan kemudian menutup telepon. Menatap Sherly dengan puluhan tanda tanya yang bersarang di kepalanya.

"Andra?" Aku mengangguk. "Ngapain dia nelpon? Ngerasa bersalah udah bikin lo kaya gini?"

"Katanya mau ngasih catetan."

"Tumben banget. Biasanya juga dia nggak peduli sama anak-anak yang lain. Mau modus ya!" Sherly menyandarkan punggung pada headboard dan memeluk bantal kecil berbentuk perisai Captain Amerika milikku.

"Jangan suudzon jadi orang!" Aku memukulnya pelan dengan guling. "Dia tuh diminta kakaknya untuk bikin catetan buat aku."

"Kakaknya?"

Sherly mengubah posisinya yang semula bersandar menjadi duduk tegap menatapku yang membaca catatan darinya. Aku hanya berdeham menjawab pertanyaannya.

"Sejauh apa hubungan kalian sampe lo kenal sama kakaknya? Jangan-jangan kalian udah jadian? Idiiih ... mendingan Naufal ke mana-mana kali, Ra!"

Naufal lagi, Naufal lagi! Aku heran, kalau Sherly sangat menyukai Naufal, kenapa tidak dia saja yang berpacaran dengan Naufal?

"Siapa yang jadian? Aku sama Andra ngobrol aja baru kemarin." Jujur aku malas dengan pembahasan yang tidak penting ini. Sherly tahu siapa yang aku inginkan, seharusnya dia juga tau jika itu bukan seorang Andra, apalagi Naufal.

"Ya terus? Makanya ceritain kenapa lo bisa kaya gini."

Astaga! Ternyata Sherly masih penasaran dengan kejadian semalam. Aku pun akhirnya mengalah, memilih menutup buku catatan dan menceritakan kejadian di kafe tanpa sedikit pun aku tutupi.

Tentang sikap Andres yang berubah keras. Tentang Imel perempuan yang menjadi pilihan Andres. Tentang kejadian yang membuatku terluka. Dia hanya diam tidak berkomentar apa pun.

"Terus gimana sekarang? Apa lo bakal lupain Kak Ubay gitu aja?" Raut wajah Sherly berubah drastis dari sebelum aku menceritakan kejadian semalam.

Aku mengulas senyum, untuk mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Menyelipkan rambut ke telinga kiri kemudian mengangguk dalam sekilas untuk menguatkan diri.

"Aku akan bener-bener ngelupain dia, Sher. Toh, dia juga bahagia dengan perempuan pilihannya. Nggak mungkin, 'kan, aku rusak kebahagiaan orang yang aku cinta demi kebahagiaan aku sendiri."

Air muka Sherly yang khawatir perlahan berubah menjadi tenang. Ia menggapai tanganku dan menggenggamnya erat seolah ingin memberiku kekuatan. "Bagus! Gue dukung seratus persen. Kalo perlu kita cari penggantinya yang lebih keren dari dia!"

Aku tertawa melihat Sherly menggebu-gebu seperti itu. Ia memelukku sebentar kemudian berbaring di atas kasur dan mengepak-ngepakkan kakinya. Berlebihan sekali.

****

Empat hari belakangan, sejak aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang Andres, tidak ada lagi es kopi pagi sebelum berangkat kuliah. Aku masih dalam pemulihan karena ternyata kakiku mengalami retak ringan.

Aku duduk pada teras belakang rumah. Ada satu buah ayunan kayu besar yang Kak Nara beli untuk duduk bersantai dengan pemandangan kolam ikan berisi beberapa Ikan Koi di sudut, dengan ornamen bebatuan menjulang pada tembok yang mengeluarkan air seolah miniatur air terjun. Suara gemericik air itu kembali mengingatkanku pada kejadian dua tahun lalu.

Meski aku sudah berniat melupakan Andres dengan menyimpan rapat-rapat foto anak kecil dengan lolipop pemberiannya agat tidak terlihat, tetapi tetap saja semakin aku berusaha tidak memikirkannya, semakin ia hadir di dalam pikiranku.

"Sendirian aja nanti kesambet loh!"

Suara yang tidak asing itu kembali memenuhi telingaku. Aku menoleh dan mendapati Andres duduk pada kursi kayu yang ada tepat di depanku. Sejak kapan ia datang?

"Kakak ngapain di sini?"

Aku berusaha bersikap biasa padanya. Menghindari tatapan Andres dengan melihat Ikan Koi berenang di kolam buatan.

"Ambil barang Nara yang ketinggalan. Kaki kamu gimana? Udah enakan?" Ia menunduk ke bawah, mencoba menggapai kakiku yang sakit. Namun, dengan cepat aku menepis tangannya agar tidak menyentuh kakiku.

"Kamu masih marah sama Kakak, Ra?"

"Nggak. Tapi nggak etis aja, Kak. Masa Kakak mau pegang-pegang kaki aku."

"Iya juga. Maaf deh." Ia menunjukkan tanda peace dengan senyum yang menampilkan deretan giginya.

"Sebagai permintaan maaf, Kakak bawain ini buat kamu nih!" serunya ketika menyodorkan satu buah kap berisi es kopi kesukaanku.

"Makasih." Aku mengulas senyum tipis menerima pemberiannya kemudian meletakan kap kopi di meja kayu.

"Kenapa nggak diminum? Biasanya kamu excited banget sama kopi."

"Abis makan tadi. Masih kenyang."

Andres mengangguk. "Ehh ... Kakak boleh tanya? Kenapa kamu suka rasa cappucinno?"

"Suka aja."

"Udah pernah nyoba rasaaa ... Klepon, belum?" Dia menatapku, sorot matanya bersinar cerah dengan senyum yang mengembang tertahan.

Aku pernah mendengar bahwa sekarang sedang trend varian hijau klepon digunakan untuk desert modern yang dikemas dengan box mika. Namun, kopi? Apa aku tidak salah dengar?

"Kamu harus coba deh! Besok Kakak bawain ke sini kalau kamu masih nggak mau dateng ke kafe."

Aku tidak ingin Andres datang lagi ke sini. Aku tidak ingin perasaan terlarang yang tumbuh di hati ini semakin besar. Dan, demi mewujudkan itu semua, aku menggeleng ke arahnya untuk menolak tawaran kopi yang ia janjikan.

"Nggak usah, Kak. Besok aku udah mulai kuliah, 'kok."

Jeda beberapa saat. "Aku masuk dulu, ya, Kak. Makasih buat kopinya." Aku mengangkat kap kopi yang tadi aku letakan di meja kayu dan berjalan melewati pintu kaca besar.

Aku berbalik. Menatap Andres yang masih menunduk sejak aku menolak tawarannya. Sekilas aku melihat raut wajah yang begitu kecewa darinya dan dadaku terasa sesak ketika melihat itu, tetapi kenapa? Kenapa Andres harus bersikap seperti itu?

ɴᴀʜ ʟᴏʜ!
ᴀɴᴅʀᴇs ɪɴɪ sᴇʙᴇɴᴀʀɴʏᴀ ᴋᴇɴᴀᴘᴀ ᴄᴏʙᴀ??
ᴊᴀɴɢᴀɴᴋᴀɴ ᴍᴀᴜʀᴀ, ᴀᴋᴜ ʏᴀɴɢ ɴᴜʟɪs ᴀᴊᴀ ɴɢɢᴀᴋ ɴɢᴇʀᴛɪ sᴀᴍᴀ sɪᴋᴀᴘ ᴀɴᴅʀᴇs #ehh

Dahlah!! Pokoknya makasih buat kalian yang sengaja atau nggak sengaja mampir ke sini, trus lama-lama suka hiyaa ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro