sᴇᴘᴜʟᴜʜ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Pernahkah kalian merasa, bahwa kalian tengah berhenti di satu titik tanpa tahu bagaimana harus keluar dan kembali memulai?

Seperti aku, yang kini tengah berada dalam pusaran kehidupan Andres yang berusaha aku jauhi. Namun, seolah ada magnet yang terus menarik agar kami berdekatan.

Contohnya ketika mobil Kak Nara tiba-tiba mogok dan ia menelpon Andres untuk menjemputnya, mau tidak mau kami kembali berpapasan, kembali satu mobil dan dalam suasana canggung.

"Lo seriusan mau anter Maura dulu? Nggak apa gue duluan?"

Kak Nara mengulang pertanyaan yang ia tujukan pada Andres untuk kedua kalinya. Tangannya sibuk dengan job desk yang sudah rapi dalam map biru, sesekali menanyakan gambar pendukung serta angle berita yang akan diliput.

Aku hanya diam ketika mereka membicarakan pekerjaan. Sesekali menatap Kak Nara sebelum kembali pada ponsel dan men-scroll beranda Instagram. Namun, tiba-tiba saja mobil yang dikendarai Andres berhenti secara mendadak. Aku dan Kak Nara terhantuk ke depan karena tidak memperhatikan jalan.

"Bay!" sentak Kak Nara sembari mengusap keningnya yang hampir terhantuk dashboard.

"Sory, sory. Ka-kalian nggak papa?" Andres menarik persneling ke posisi P hingga mobil itu berhenti kemudian menoleh ke belakang tempatku duduk. "Kamu nggak apa, Ra?" tanyanya dengan wajah khawatir yang kentara.

"Kamu nggak apa, Ra?" tanya Kak Nara.

"Nggak papa, Kak." Aku mengulas senyum pada Kak Nara yang menatapku, mengabaikan pertanyaan Andres yang terlebih dahulu menyapaku.

"Lo ngelamunin apa, sih, Bay?"

"Nggak, 'kok. Gue cuma lagi nggak fokus aja tadi." Andres menjawab pertanyaan sinis dari Kak Nara terbata-bata sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Ketika mataku melihat ke depan tanpa sengaja menangkap sorot mata Andres yang melihat ke belakang dari kaca spion. Sorot matanya tajam, yang dibingkai alis sedikit tebal berwarna kecokelatan menatapku seolah ada yang ingin dikatakan. Apa mungkin Andres marah karena aku tidak menjawab pertanyaannya?

Tidak dapat aku pungkiri, sorot mata itu membuat detak jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Bahkan, hanya tatapannya saja dapat membuatku tidak berdaya. Karena itu aku lebih memilih memutus kontak mata kami.

Tidak ada percakapan hingga mobil sampai di kantor mereka. Andres menitip pesan agar bisa mengantarku lebih dahulu. Aku sempat menolak--mengatakan bahwa aku dapat memesan ojek online--tetapi ia bersikeras mengantar hingga kampus dan aku hanya diam hingga Andres sendiri yang membuka percakapan.

"Kemarin Andra bilang kamu tolak catatan dari dia."

"Iya, Kak. Soalnya temenku udah buatin juga. Lagi pula aku bakal lebih nyaman sama temenku kayanya, jadi harusnya kakak nggak perlu minta Andra. Maaf, ya."

"Nggak papa."

Andres mengulas senyum tipis ke arahku dan kembali memperhatikan jalan. "Kamu ... maksudnya kaki kamu udah baikan?"

"Udah."

Suasana kembali lengang ketika aku hanya menjawab singkat pertanyaan yang ia ajukan. Dalam hati terus merapalkan diri agar tidak bersuara dan kembali berharap padanya dengan pertanyaan yang kuajukan dan kemungkinan Andrea akan menjawab atau menyetujui satu buah permintaan dariku.

Hingga mobil sampai di area kampus. Aku buru-buru melepas sealbelt dan membuka pintu sebelum Andres mencekalnya.

"Kamu masih marah sama Kakak?"

"Marah kenapa, sih, Kak?" Aku mengalihkan pandangan ke depan, mencoba menghindari tatapan matanya.

"Kakak sadar apa yang Kakak lakuin tempo hari kesalahan besar. Dan Kakak udah minta maaf untuk itu. Kenapa kamu masih diemin Kakak?"

"Maaf, Kak. Aku udah telat." Aku mencoba melepaskan cekalan tangan Andres. Ia menghela napas, kemudian mengangguk dalam sembari menutup matanya sebelum benar-benar melepaskan tanganku.

Tanpa menoleh. Aku lihat dari pantulan kaca hitam besar gedung serba guna mobil Andres masih belum bergerak sama sekali. Sebenarnya, aku sedikit merasa bersalah pada Andres atas sikapku tadi.

Jujur saja, ia sosok yang baik, tidak sepantasnya aku bersikap keterlaluan padanya. Namun, kebaikannya justru membuatku semakin menginginkannya.

Semakin aku berusaha mengenyahkan perasaan ini, semakin pula aku merasa rasa ini tumbuh semakin besar untuknya. Aku tidak ingin, perasaan yang aku pupuk ini nantinya akan menyulitkan Andres dan membuatku semakin jauh darinya. Seharusnya, cukup untukku berada di dekatnya meski hanya sebagai adik kecil yang harus ia jaga.

"Maura?"

Aku tersentak ketika mendengar suara Andra memasuki gendang telingaku. Dari wajahnya, aku lihat ia menatapku dengan tatapan khawatir.

"Kamu kenapa nangis, Ra?" tanyanya roman nada khawatir.

Dari pertanyaan Andra. Aku baru sadar bahwa air mata menetes ketika aku melamunkan Andres sejak keluar dari mobil. Dengan cepat aku menyeka air mata dan tersenyum ke arahnya. "Nggak, 'kok. Tadi ini perih aja. Kena AC mobil."

Andra mengangguk.

Aku berjalan mendahuluinya masuk ke dalam lift dan membiarkan Andra menekan tombol lift sesuai lantai kelas kami.

"Kaki kamu udah mendingan, Ra? Maaf, ya. Waktu itu nggak nganter kamu pulang. Jadi sampe ada insiden kaya gitu." Andra menggaruk tengkuknya.

"Nggak apa, 'kok, Ndra. Udah nggak kenapa-kenapa juga." Aku mengulas senyum kemudian menyelipkan rambut pada telinga.

"Anak-anak FOGAMA juga titip salam. Kemaren rencananya mau ke rumah kamu sekalian nengok. Ehh ... kamunya nolak. Jadi batal deh."

"Salah kamu kenapa nggak bilang mau ke rumah sama anak FOGAMA." Aku menolak untuk Andra salahkan.

"Aku juga nggak bilang ini salah kamu loh."

Tanpa sadar aku tertawa mendengar jawaban yang dilontarkan Andra. Aneh saja rasanya, mendengar mahasiswa yang biasanya pendiam ini menjadi banyak bicara. Namun, tawa itu lenyap dan digantikan dengan putaran bola mata malas ketika aku menangkap sosok Naufal duduk di bangku yang biasa aku duduki.

"Ra," sapa Naufal ketika aku masuk ke kelas.

"Iya?" Aku berusaha bersikap biasa pada Naufal. Duduk di sebelahnya dan membuka laptop serta buku catatan yang aku pinjam dari Sherly.

Mata Naufal beralih ke belakang. Tatapannya berubah tajam ketika melihat Andra duduk di bangku ketiga barisanku. "Kamu berangkat dianter siapa, Ra?"

"Dianter Kakak." Aku mengulas senyum. Memainkan pegas pulpen dan sesekali mengetukkan pada mouse pad laptop sudah menyala.

"Nanti sore dijemput? Gimana kalau aku anter aja?"

Karena terlalu malas berdebat, tanpa sadar aku meng-iya-kan tawaran Naufal.

Naufal mengangguk-anggukan kepalanya pelan sebelum kelas menjadi heboh karena kedatangan Sherly.

Sepagi ini, Sherly sudah berhasil merusak mood-ku dengan teriakannya. Beberapa mahasiswa lain memerotes suaranya. Sherly sempat bertanya pada Andra akan kejadian minggu lalu dan mendapat jawaban terlampau datar seperti yang biasa Andra lakukan.

****

Pernahkah kalian merasa waktu begitu cepat berlalu ketika kalian tidak mengharapkan itu terjadi?

Ayahku pernah mengatakan, tidak sabar membuat waktu yang kita tunggu menjadi lebih lama. Namun, jika kita tidak menginginkannya, itu akan menjadi lebih cepat dari yang terasa. Aku rasa ucapan ayah ada benarnya.

Aku menghela napas ketika mobil Naufal sudah terpampang rapi di depan gedung fakultas. Beberapa mahasiswi menyorot sembari berbisik, seolah menolak lupa akan penolakan yang aku berikan pada Naufal.

"Ayo, Ra!"

Naufal keluar dari BMW X5 dan membukakan pintu penumpang untukku. Namun, belum aku melangkah, suara klakson mobil yang baru saja datang mengalihkan pandanganku. Itu mobil Andres yang tengah menyapaku.

"Ayo pulang, Maura," katanya saat keluar dari mobil.

Situasi ini menjadi sorotan beberapa mahasiswa yang hendak keluar kampus. Aku sedikit gelagapan dengan situasi saat ini, aku menatap keduanya dengan perasaan bersalah.

"Lo siapa?" tanya Naufal ketika Andres berdiri di hadapannya.

"Siapa saya itu nggak penting." Andres mengangkat bahunya kemudian beralih menatapku. "Ayo, Maura. Kakak kamu udah nunggu di rumah. Saya cuma waktu setengah jam untuk antar kamu sampe rumah."

Mataku membulat menatap Andres yang tenang seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Ia mengabaikan Naufal dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo, Maura."

"Fal. Maaf, ya, kayanya Kak Ubay diminta kakakku untuk jemput." Aku menangkupkan tangan di depan wajah. Sedikit merasa tidak enak bercampur takut pada Naufal yang mungkin saja tersinggung dengan sikap Andres.

Alih-alih terlihat marah, Naufal justru tersenyum dan mengusap kepalaku pelan.

"Yaudah. Nggak papa. Lain kali juga bisa kalo sama aku, Ra. Pulang sana, udah ditungguin sama kakak kamu."

Aku sedikit terkejut dengan reaksi yang Naufal berikan. Ternyata Naufal tidak seperti laki-laki menyebalkan yang selama ini aku sangkakan. Aku memberikan tanda hormat sebelum masuk ke dalam mobil Andres.

Sekarang, aku punya banyak pertanyaan yang aku harus ajukan pada lelaki yang sedang mencoba memundurkan mobilnya ini.

"Kak Ubay kenapa bisa tiba-tiba ada di kampus?" tanyaku ketika Andres menutup jendela kaca mobil setelah memberikan uang parkir.

"Mau jemput kamu."

"Tadi pagi nggak bilang apa-apa."

"Kalo Kakak bilang, apa kamu nggak bakal nolak?"

Jelas saja akan aku tolak!

"Ya tapi aku jadi nggak enak sama temenku." Aku sudah mengepalkan tangan erat sementara Andres hanya cuek dan tetap fokus pada jalanan yang mulai macet di sore hari.

Di mataku, Andres yang tidak peduli akan hal apa pun menjadi sangat menyebalkan. Ia bahkan sama sekali tidak menatapku sejak aku masuk ke dalam mobilnya.

"Kenapa Kak Ubay harus peduli sama aku? Harusnya Kakak nggak perlu jemput aku. Aku bisa pulang sendiri."

"Tapi kenyataannya kamu bakal pulang sama cowok tadi kalo Kakak nggak jemput kamu." Suara Andres mulai melemah. Ia menoleh sebentar sebelum kemudian kembali memfokuskan tatapannya pada jalan raya.

Andres memang menyangkal pernyataanku yang terakhir, tetapi aku tidak mengerti kenapa laki-laki berusia 32 tahun itu harus peduli dengan siapa aku pulang. Terlebih lagi, Andres tidak menjawab pertanyaanku yang pertama.

Kenapa dia harus peduli?

Jelas, sikap Andres yang satu ini benar-benar membuatku bingung.

sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴀʟᴀᴀᴀᴀᴀᴍ sᴇᴍᴜᴀɴʏᴀᴀ!!

ᴜᴅᴀʜ ʟᴀᴍᴀ ʏᴀᴀ ᴀᴋᴜ ɴɢɢᴀᴋ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴋᴇ ᴘᴇʀᴍᴜᴋᴀᴀɴ. ᴀᴋᴜ ᴍᴀᴜ ᴜᴄᴀᴘɪɴ ᴍɪɴᴀʟ ᴀɪᴅᴢɪɴ ᴡᴀʟғᴀɪᴢɪɴ ʙᴜᴀᴛ sᴇᴍᴜᴀ ʏᴀɴɢ ᴍᴀᴍᴘɪʀ ᴋᴇ sɪɴɪ. ᴋᴀʟɪ ᴀᴊᴀ ᴀᴅᴀ ᴛᴜʟɪsᴀɴᴋᴜ ʏᴀɴɢ ᴛᴀɴᴘᴀ sᴇɴɢᴀᴊᴀ ᴍᴇɴʏɪɴɢɢᴜɴɢ ᴋᴀʟɪᴀɴ.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro