Chapter 1 : Greeting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi yang dingin dengan jalanan-jalanan basah yang masih sepi berselimut kabut, akibat hujan yang mengguyur semalaman. Masih terlalu pagi untuk orang yang berjalan-jalan santai di trotoar pada hari Minggu ini, tetapi tidak bagi [Name]. Gadis itu mengeratkan jaket berkain cukup tebal pada tubuhnya. Matahari belum menampakkan dirinya secara sempurna, namun wajah [Name] sudah terlihat segar, dengan aroma sabun yang masih melekat padanya seusai mandi. Gadis itu berencana ke supermarket, membeli beberapa bahan untuk bertahan hidup.

Drrtt.. drrtt..

Langkah kakinya terinterupsi kala merasakan getaran pada handphone di dalam saku jaket. [Name] mengambilnya dengan malas.

You got a mail!

'Siapa?'

To : [Full Name]

From : Anonymous

Subyek : Yang berikutnya

Kereta menuju Yokohama akan berangkat pukul 7 pagi. Jadi, bersiaplah. Lakukan yang terbaik untukku.

[Name] membuka dokumen yang dilampirkan dalam email tersebut. Ia mendesah pelan ketika selesai membaca dan mengingat-ingat isinya. Dimasukkannya kembali benda tersebut ke dalam saku, kemudian ia secara berat hati mengurungkan niat menuju supermarket tadi. Gadis itu kini berbalik, berjalan kembali ke apartemennya.

.

.

Serendipity
[Dazai x AssasinReader]
©
Kayken VR

Bungou Stray Dogs © Kafuka Asagiri

Warning : OOC, Bahasa acak adul, Typos, Alur maju mundur

.
.
.

"Huoo... betapa membosankannya hari ini~" Dazai bersuara malas. Tubuhnya ia tengkurapkan di atas sofa kantor agensi dengan bokong yang terangkat ke atas. Wajahnya menghadap ke arah sofa di seberang yang ia tempati tersebut tanpa semangat. Ranpo bersikap acuh terhadap lelaki di hadapannya, sebab sedang asyik menikmati sandwich sebagai menu sarapan pagi.

"Aku begitu bosan~" Dazai kembali bersuara, sedikit melagukan dengan nada malas. Ia benar-benar bak manusia yang kehilangan semangat hidupnya sekarang.

"Kau sudah mengatakannya sebanyak 50 kali hari ini." Ujar Ranpo dengan mulut yang masih berisi sandwich. "Benarkah? Kau menghitungnya?" tanyanya masih dengan intonasi sama. Ranpo menanggapi hanya dengan mengangguk.

"Belum ada kasus selama beberapa hari, menjengkelkan memang." Ia membersihkan remahan roti yang tersisa setelah memakan sandwich itu, kemudian duduk terpekur menghadap jendela di sebelahnya. Matahari sudah meninggi, namun tak ada tanda-tanda keramaian di kantor agensi. Mungkin mereka yang tidak kelihatan batang hidungnya sekarang sedang melakukan kegiatan lain karena tahu tidak ada yang bisa dilakukan disini, pikir Ranpo. Lelaki bertopi itu menghela napas.

BRAK!

"Hanya ada kalian di sini? Mana yang lain?" Ranpo yang awalnya melamun sontak menoleh setelah mendengar suara pintu di buka dengan tidak halusnya―mendapati lelaki jangkung berkacamata sedang berdiri dengan ekspresi angker juga guratan keheranan di wajahnya.

"Oh.. Pagi Kunikida-kun. Kau membuka pintunya terlalu keras hari ini." Si lelaki bertopi mengulas senyum.

"Ada apa dengan si bodoh Dazai itu?" Kunikida membenarkan letak kacamatanya setelah memandang sekeliling. Ia beralih menatap Ranpo. Yang ditanya tersenyum lagi, "Dia terkena sindrom kebosanan akut karena tidak ada yang harus dilakukan." Jawabnya. Kunikida berkacak pinggang.

"Ohayou.. Kunikida-kun." Dengan posisi yang tetap, Dazai mengangkat tangan kanannya, melambai ke obyek yang bahkan tidak ia lihat.

"Berhenti bersikap konyol, Dazai! Ada kasus yang harus kita tangani sekarang!" Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, lelaki yang disebutkan itu bangkit dari posisi semula lalu duduk dengan mata berbinar. Kedua telapak tangan yang berbalut perban itu ia tepukkan pelan di depan dadanya seraya berujar, "Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kau benar-benar penyelamat!"

"Jadi, apa yang dikatakan ketua padamu Kunikida-kun?" Ranpo menaruh atensi penuh pada kehadiran Kunikida―meski lelaki itu datang langsung uring-uringan. Sejujurnya ia juga merasa bosan, sama seperti Dazai. Tetapi dia tidak terlalu ekspresif dalam menunjukkannya. Kunikida mengeluarkan buku catatan yang selalu ia bawa kemana-mana bak benda keramat, membaca halaman terakhir kemudian berdeham. Lelaki itu mendudukkan diri sambil menyilangkan kaki di sebelah Dazai. Dengan nada serius, Kunikida menjawab pertanyaan Ranpo.

"Terbunuhnya Yukino Ichizaki, 51, anggota dewan kota Yokohama divisi III di ruang kerja rumahnya. Polisi angkat tangan mengenai ini, dan menyerahkannya pada kita." Kunikida menaruh buku catatannya di meja yang ada di tengah-tengah mereka serta beberapa lembar foto. Dazai dan Ranpo memajukan tubuh mereka masing-masing, agar bisa melihat lebih jelas.

"Ulah Port Mafia?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Ranpo, memandang kedua orang di hadapannya sambil memasang tampang berpikir. Dazai menghempaskan punggung pada sandaran sofa sembari mendesah, kedua tangannya ia tautkan di belakang kepala.

"Bisa iya, bisa tidak. Bukankah korban menduduki posisi penting dalam pemerintahan kota ini? Aku ragu Port Mafia mau ikut campur dalam urusan politik, kecuali ada tujuan pribadi antara mereka dengan korban tanpa dalih politik." Kunikida menyuarakan pendapatnya tanpa beralih pandang sedikit pun dari foto-foto yang tergelatak di meja. Dazai menyahut, "Kau benar."

"Lalu―jangan bilang ini ulah guild atau komplotan lain?" Keduanya mengendikkan bahu serempak kala Ranpo melontarkan pertanyaan lagi. Ia menggelengkan kepalanya sendiri, "Tidak, tidak. Kita tidak boleh berspekulasi tanpa ada data, bung." Ranpo menatap Kunikida, yang ditatap sadar dan hanya bersuara 'hah?'. Pandangannya beralih ke salah satu foto yang memperlihatkan posisi korban saat meregang nyawa, kemudian kembali ke Kunikida.

"Senjata? Apa di sana ditemukan senjata?" Lelaki dengan rambut berkuncir itu menggeleng santai. "Tidak."

"Bahkan seorang detektif berkekuatan super seperti Ranpo belum bisa menyusun teori jika tak ada data. Jadi, Kunikida.. kau harus mendatangi TKP. Jangan hanya berpacu pada foto-foto itu." Sahut Dazai yang sedang asyik memejamkan mata.

"Kenapa aku?!"

"Kau yang dipanggil oleh ketua, dan ketua yang memberitahukan ini padamu. Ini kasusmu, kau tahu."

"Bodoh! Ketua saja berbicara denganku menggunakan subyek 'kalian' bukan 'kau'. Itu artinya kita yang harus menangani ini bodoh." Kunikida memasang ekspresi sangar lagi. Begitulah, pemuda yang seharusnya belum tua itu memiliki kadar kesabaran paling rendah di agensi. Dazai juga pernah berpendapat, bahwa ia curiga kalau-kalau kesensian Kunikida memiliki peringkat tertinggi seantero Yokohama, atau Jepang atau bahkan dunia―dan Dazai pun berakhir dengan beberapa lebam kecil di sekujur wajah-ekhem-tampannya-ekhem.

Semenjak itu, jika ia berpergian bersama Kunikida yang bernotabene partner di agensi dan akan bertemu banyak orang asing, Dazai dengan baik hati memperingatkan orang yang berhadapan dengan Kunikida agar berhati-hati untuk tidak menaikkan darahnya. Dia tidak ingin memiliki partner yang masih muda tapi berwajah lansia karena terlalu sering naik darah, bung. Dazai tak mau lebih terlihat tampan nanti jika harus berjalan berdampingan dengan Kunikida.

"Okelah kalau begitu, kita akan menangani ini. Kurasa tak ada gunanya menghubungi para bocah-bocah lain yang sedang asyik dengan kegiatan masa muda. Jadi... Ranpo, pergilah ke TKP. Kunikida, selidiki orang-orang yang berhubungan dengan korban belum lama sewaktu kematian." Dazai beranjak dari duduknya, memasukkan kedua tangan ke saku mantel cokelat lusuh namun bersih, lalu melangkahkan kaki menuju pintu ruangan yang terbuka.

"Kau sendiri, Dazai?" Lelaki bersurai cokelat itu tersenyum sembari menjawab, "Aku akan ke mall berbelanja keperluan kantor kita yang persediaannya sudah menipis. Umm.. barangkali aku juga mampir ke toko yang menjual tali gantung diri berlapis platinum."

"Adios." Dazai menempelkan jari telunjuk dan tengah pada keningnya, memberi kedipan untuk kedua anggota―yang masih bengong setelah mendengar jawaban tersebut―dan berlalu pergi.

"APA-APAAN?! Padahal dia tadi yang ngebet ingin ada kasus. Sekarang melarikan diri? Dia layak digantung, Ya Kami-sama!"

><><><

Matahari sudah berada tepat di atas kepala, sinar teriknya menyinari kota Yokohama. Meskipun begitu, hiruk pikuk dari berbagai aktivitas masyarakat masih dapat ditemui di seluruh penjuru kota tersebut tanpa adanya pengeluhan berlebihan dari kebanyakan masyarakatnya. Hal itu yang saat ini [Name] amati di kursi kafetaria di pinggir jalan sambil menyesap es kopi.

Dirinya memejamkan mata, saat merasakan tiap tegukan kopi mengalir di tenggorokannya. [Name] membuka matanya kembali, meletakkan gelas kopi pada meja lalu menengok ke arah jalan lagi―mengamati orang yang berlalu lalang. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan saat ini. Gadis itu bosan kalau harus bersidekap diri di dalam hotel, menunggu malam tiba untuk bekerja. Ia memilih untuk menghabiskan waktu di siang hari dengan berkeliaran di kota, meski seharusnya gadis itu tahu, hal semacam ini akan membuatnya dimarahi habis-habisan jika ketahuan.

"Maaf, nona. Apa ini milikmu?" [Name] menoleh ketika merasa ada yang sedang mengajaknya bicara. Ia melirik penampilan orang asing itu dari atas ke bawah, kemudian menatap pada benda yang ada di tangan orang tersebut. Sebuah notes kecil dengan sampul terbuat dari kulit berwarna coklat krem, disodorkan ke arahnya. Seorang pria yang berdiri di samping meja [Name] tersenyum saat gadis itu memandang notes juga orang yang membawanya dengan kaget. Kepala [Name] menggeleng, pertanda sangkalan atas kepemilikan benda yang ditanyakan oleh pria tak dikenal. Orang itu tersenyum kikuk.

"Eh? Bukan punyamu ya? Aku kira melihatmu menjatuhkan ini saat di jalan Terasaki." Kepala gadis yang terduduk itu dimiringkan se-sekian derajat. Matanya mengerjap dan mencoba mengingat-ingat.

"Maaf, Tuan. Itu bukan milikku." tekannya lagi.

"Kalau begitu baiklah. Oh ya, boleh aku duduk di sini? Aku sudah memesan minuman, tapi seperti yang kaulihat, tak ada tempat duduk kosong." [Name] hanya menjawab 'Ya' kemudian mengalihkan pandangan ke arah luar lagi. Ia tidak begitu peduli dengan eksistensi pria asing tersebut, yang tiba-tiba menanyainya perihal notes kecil. Agak aneh memang, tapi gadis itu mencoba rileks.

"Ahh.. aku dengar kafe ini punya matcha latte yang khas. Kupikir itu benar." ujar si pria setelah meneguk isi dalam cangkirnya. [Name] mendengarkan tanpa minat. "Oh ya nona," lanjutnya. Mata gadis itu membulat serta kerutan di dahinya muncul kala ia merasakan sentuhan aneh di tangan kirinya yang memang tadi berada di atas meja. Sontak, [Name] menoleh.

"Aku juga berpikir kulitmu ini sangat cantik sekali. Gadis sepertimu cocok untuk kujadikan pasangan bunuh diri ganda ^o^." Benar apa yang dibatinnya sedari tadi semenjak pertama kali melihat pria di hadapannya. Dia idiot. Menangkap penampilan pria yang tampak lebih tua beberapa tahun darinya dengan tubuh berbalut penuh perban, rambut cokelat yang agak gondrong, awalnya [Name] berspekulasi bahwa orang itu adalah salah satu pasien yang kabur dari rumah sakit. [Name] membuang jauh-jauh hipotesa awalnya tersebut, ketika melihat wajah tampan dari pria itu benar-benar tampak sehat wal afiat.

Ia beranjak, hendak berlalu pergi. Agaknya gadis itu sudah kehilangan minat untuk menikmati sesapan es kopinya. [Name] merasa risih dengan candaan yang kurang sopan di dengar telinganya. Lelaki tak dikenal itu menahan tangannya saat langkah kaki [Name] sampai di sebelah kursi yang diduduki si lelaki. Ia melirikkan mata, menatap ke arah lelaki tersebut.

"Apa anda ada perlu?" Alih-alih menjawab, yang ditanya malah mengeluarkan sapu tangan dari balik saku mantel.

"Tangan kanan cantikmu terkena noda kopi, nona. Sepertinya aku tak bisa menahan untuk membersihkannya, maaf." [Name] mengerjapkan mata bingung. Oh, hari ini dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan orang aneh seperti sosok di depannya―yang tengah mengelap lembut permukaan punggung tangan kanan [Name]. Gadis itu menunggu dalam kejengkelan, dan lebih tersontak lagi kala melihat apa yang pria itu lakukan selanjutnya. Ia merasakan bibir pria itu menempel pada punggung tangannya.

"Terimakasih." [Name] memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan dan memandang sinis lelaki berperban tersebut, kemudian melangkah pergi.

Di perjalanannya, [Name] dibuat mampir ke toko koran di trotoar jalan. Seorang gadis muda―yang tampak sebaya dengannya―berteriak dengan penuh semangat untuk menjajakan koran-koran di toko itu. Hari sudah siang, tapi persediaan koran harian di sana masih terlihat banyak. Apa yang membuat seorang [Name] tertarik untuk repot-repot mampir bukan karena ingin menikmati berita harian murahan penuh sensasi yang biasa terdapat pada koran-koran.  Ia memicingkan matanya, mencoba melihat dengan jelas. Gadis itu mendapati berita di headline koran dengan judul "Agen Detektif Bersenjata Menuai Keberhasilan". Dan hal yang menariknya adalah―[Name] sangat yakin, di antara anggota agen yang ada pada foto―salah satu dari mereka rupanya ada yang barusan ia temui di kafe tadi. Gadis itu mencoba mengingat-ingat, dan ringkasan memori tentang penuturan seseorang padanya muncul di otak, bahwa―

"Osamu Dazai.."

―Ia harus berhati-hati dengan orang ini. Tidak, tidak hanya orang ini. [Name] akan berusaha semampunya untuk tidak bertemu dan berurusan dengan mereka.

Di lain sisi, Dazai yang masih duduk di kursi kafetaria memandang handphonenya sambil tersenyum. Lelaki itu baru saja selesai membaca email dari Ranpo yang juga baru masuk. Dia menyesap tegukan terakhir dari cangkir matcha latte-nya sembari menutup handphone. Dazai menggumam pada dirinya sendiri, ketika memandang ke arah luar―mencoba meniru kegiatan yang gadis tadi lakukan.

"Sepertinya akan jadi sesuatu yang tak biasa."

><><><

To be continued.

Author's note :

Halohai!

Thanks bagi yang udah baca. Semoga suka ^-^

Sampai bertemu di chapter berikutnya ya~

Vote, komen, dan silahkan memberi krisar~

Salam,

Kayken VR

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro