Chapter 3 : The Gestard Hall

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada belahan dunia yang tidak memiliki dunia malam. Di Negara bagian manapun pasti akan menemukan sisi gelap kotanya masing-masing, terutama saat malam hari tiba.

Hewan nocturnal bangun dari persinggahannya, berkeliaran dan beraktivitas sebagai makhluk hidup. Entah sejak kapan manusia memiliki sisi nocturnal seperti itu, tak ada sejarah yang mencatat. Tetapi hal yang demikian sudah dianggap sesuatu yang sangat-sangat wajar, terutama di jaman sekarang ini. Kiranya hanya 30% populasi dunia memilih untuk membangkitkan sisi nocturnalnya di setiap malam, dengan berbagai alasan tertentu.

Malam yang dingin di musim gugur. Meski selama beberapa hari ini kota Yokohama tak diguyur hujan, namun hawa dingin yang menusuk tulang kala setiap malam hari tiba tetap dapat dirasakan. Sebagian lampu rumah-rumah telah padam, dan hanya sebagian bangunan-bangunan kota yang masih terlihat menyala. Jalan sepi lengang, kendaraan yang lalu lalang pada jalanan di sudut-sudut tertentu kota pun dapat dihitung jari. Kendati demikian, bar, club malam, atau beberapa toko 24 jam agaknya ramai dikunjungi. Pun juga disuatu sudut kota pelabuhan itu―yang agak jauh dari pusat kota―sebuah auditorium megah dengan desain modern masa kini terlihat berkilau karena lampu-lampu mewah yang menyinari, the Gestard Hall.

Sebuah pesta yang bersifat open house. Pesta itu diselenggarakan oleh seorang pejabat pemerintah kota Yokohama yang diangkat sebagai anggota dewan pemerintahan pusat Jepang di Tokyo, Morimiya Yousuke―tak ada warga Yokohama yang tidak mengenalnya. Dikenal sebagai orang yang merakyat, tak heran jika pesta kali ini ia mempersilahkan kalangan manapun untuk hadir. Pesta sudah dibuka sejak senja tadi, tetapi hingga larut malam ini pesta itu masih tetap berlangsung.

Osamu Dazai dan Edogawa Ranpo berbaris mengantri, untuk dapat memasuki gedung auditorium itu. Melalui serangkaian pengecekan identitas, juga pengecekan barang bawaan, barulah mereka diperbolehkan masuk. Mata Dazai berbinar dan mendecak kagum begitu menginjakkan kaki ke dalamnya.

"Well Ranpo, bagaimana menurutmu? Apa kau menyukai pesta seperti ini?" mereka berjalan-jalan menjelajahi auditorium yang kini isinya kebanyakan orang-orang dewasa. Permainan poker, billyard, bau rokok, dan alkohol menyeruak ke seluruh penjuru gedung. Begitu juga dengan tertawaan para pemain-pemain itu, obrolan, dan musik pengiring yang mengalun bercampur jadi satu di udara.

"Masih lebih baik menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca karya-karya klasik atau pengetahuan lain, kau tahu. Gedung pesta ini tak ada bedanya dengan bar-bar dan juga klub di luar sana. Memuakkan." Jawab Ranpo sambil mendengus pelan. Dazai mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan mata tajamnya itu. Mereka hening untuk beberapa saat dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai langkah mereka terhenti pada sebuah meja. Di atasnya terdapat berbotol-botol anggur termahsyur yang sempat dielu-elukan Dazai selama perjalanan menuju tempat ini. Seorang wanita berpakaian pelayan tersenyum pada keduanya.

"Silahkan jika ingin menikmati, Tuan." Dazai mengangguk dengan tersenyum kecil, lalu mengambil gelas kecil di atas meja kemudian menyodorkan ke pelayan wanita pemegang botol anggur tersebut. Saat wanita itu hendak menuangkan isi botolnya ke dalam gelas Dazai, tidak sengaja botol itu tersenggol oleh pria yang sedang berjalan di belakangnya. Anggur itu menodai sebagian taplak meja putih dan lantai marmer gedung, serta sebagian kemeja Dazai. Wanita itu memekik ringan, kemudian membungkukkan tubuh berkali-kali―sangat merasa bersalah.

"Oh ya ampun, Rumi. Apa yang terjadi?!" seorang pelayan pria mendatangi mereka bertiga. Wajah dengan kumis yang agak tebal, berperawakan jangkung dengan suara serak berat menatap pada botol yang pecah di lantai kemudian pandangannya beralih pada kedua tamu pria di hadapannya.

"Ah.. maaf Tuan. Rumi adalah pelayan baru yang agak ceroboh. Kami memohon maaf." Dazai melambai-lambaikan kedua tangannya di depan dada.

"I-I..e. Daijobu." Mata pelayan itu terbelalak―menatap mereka bergantian.

"Ya ampun Tuan! Lihat kemejamu yang ternodai itu. Ah iya! Di belakang panggung gedung ada sebuah ruang ganti. Morimiya-sama pasti memiliki beberapa persediaan kemeja, mari saya antar ke sana." Saran si pelayan. Dazai kembali mengulangi apa yang dilakukannya beberapa saat tadi dengan gelengan kepala yang agak kuat.

"Tidak usah sungkan, Tuan. Ini adalah kesalahan kami. Morimiya-sama berpesan kepada kami semua untuk menjamu tamu dengan baik. Silahkan ikuti saya. Oh ya, Rumi. Cepat kau bersihkan kekacauan ini ya." Pelayan itu berbalik dan mulai berjalan, seolah mengisyaratkan bahwa Dazai dan Ranpo memang harus mengikutinya.

"Tidak buruk juga, Dazai-san." Ungkap Ranpo tatkala mereka sedang berjalan menuju ruang ganti belakang panggung yang dimaksud pelayan di depan mereka. Dazai pun mengangguk kecil.

"Ya.. begitulah. Morimiya-sama memang mempunyai rasa empati yang tinggi terhadap sesama manusia." Sahut sang pelayan yang kebetulan juga mendengar ucapan dari pria bertopi dengan mata sipit itu.

Mereka kini sudah melewati panggung dari sebuah pintu kecil di sampingnya―membuat mereka menapakkan kaki di sebuah ruangan asing. Suasana dan atmosfernya sungguh berbeda dengan di luar. Kira-kira begitulah pendapat Dazai dan Ranpo di dalam batin mereka sendiri.

"Beliau pasti seorang figur yang luar biasa, kan. Tapi aneh ya Dazai, seseorang termahsyur sepertinya menjadi target pembunuhan malam ini." Ranpo berujar lirih. Pria tinggi bermantel cokelat serta kemeja dengan sedikit noda merah-keunguan itu menghela napas.

"Entahlah." Sahutnya sambil melirik langit-langit gedung megah itu. Langkah sang pelayan pria terhenti. Mereka berdua memandang heran pada tubuh pelayan yang tertegun sejenak.

"Kita sudah sampai. Silahkan tunggu di sini, saya akan mengambilkan kemeja yang Anda perlukan di ruang sebelah." Ia membungkuk lalu beranjak pergi tanpa ada sahutan dari kedua dari banyaknya tamu yang hadir di pesta tersebut. Ranpo menghadapkan tubuhnya ke arah Dazai―pria itu sedang menyandarkan diri di dinding ruangan.

"Kenapa kau tidak mengajak Kunikida dan lebih memilih menyelesaikan ini bersamaku Dazai-san?" Tanya Ranpo sesaat setelah sang pelayan pergi meninggalkan mereka berdua di ruangan bertemperatur cukup dingin akibat Air Conditioner. Pria bernama Dazai itu mendongak. Manik matanya menatap lurus pada Ranpo.

"Berani bertaruh, orang itu pasti masih duduk di meja kamar serta di temani lampu meja dan buku konyolnya. Dia pasti sedang menyusun jadwal dan rencana untuk hari esok dan esoknya lagi. Seharusnya kau tahu Ranpo, sebenarnya spesialismu kan memang di bidang yang seperti ini." Jawab Dazai santai.

"A-ah.. souka. Tapi aku hanya merasa saja. Ya, feeling sih.. kalau kita akan memerlukan Kunikida." Bibir Dazai melengkung tipis, kemudian terdengar bahwa pria itu sedang menghela napasnya ringan. Tubuh yang awalnya disandarkan pada dinding, sudah tak ia sandarkan lagi.

"Akan kita lihat nanti."

.

.

.

Serendipity
Dazai x Assassin!Reader]
© Kayken VR

Bungou Stray Dogs © Kafuka Asagiri

WARNING : OOC, Typo, Bahasa acak adul, dll

.

.

.

"Aku tidak menemukannya dimanapun, Ranpo. Apa kau melihatnya?" Dazai tampak sedikit frustasi setelah Ranpo menggelengkan kepalanya kecil. Si maniak bunuh diri itu kini berjalan mondar-mandir di depan Ranpo yang tengah mendudukkan diri untuk rehat sejenak. Dazai mengerang kesal.

"Gadis nakal! Kita bisa kehabisan waktu kalau gini. Hei, apa kau benar-benar tak mengetahui sesauatu tentang taktik menyerangnya?"

"Dari kasus-kasus sebelumnya yang pernah diinformasikan oleh polisi Tokyo, pola penyerangan The Dancing Knife ini acak, Dazai-san. Anak itu cukup cerdik menyusun segala rencana-rencana." Jawab Ranpo santai. Ia menarik napas sejenak kemudian bersuara lagi, "Aku sudah memberitahu para pengawal pribadinya untuk mengetatkan pengawalan. Kurasa itu bisa lebih memberi sedikit harapan."

"Ya, ya! Semoga!" Dazai ikut mendudukkan tubuhnya pada kursi di seberang Ranpo―berusaha merilekskan diri. Sejenak kedua pria tersebut merasa tenang dan agaknya menikmati iringan musik yang mengalun di telinga mereka sampai-

"AAAA!! TOLONG!!"

-Sebuah teriakan menggelegar di seluruh penjuru ruangan, membuat para pengunjung lain tersentak kaget. Dazai dan Ranpo refleks bangkit dari kursi, memandang ke arah sumber suara tersebut dan mendapati seorang pelayan wanita berteriak panik. Dia adalah yang sempat bertatap muka dengan mereka berdua tadi. Detik berikutnya, mereka berdua berlari menghampiri kerumunan orang di agak kejauhan sana.

"RANPO, TOLONG URUS!" Ranpo sempat menghentikan langkah ketika mendapati Dazai beralih haluan dan berlari meninggalkannya. Ia tidak tahu, apa yang Dazai lakukan di saat genting seperti ini. Disingkirkannya pemikiran-pemikiran yang menghalangi otak jernihnya. Tanpa pikir lama, Ranpo berlari lagi menerobos kerumunan di depannya.

"Minggir!" Ia langsung duduk berjongkok di sebelah tubuh yang tergeletak di lantai. Anggota agen detektif bersenjata itu mendekatkan diri, dan mengecek tubuh orang yang tergeletak―sang penyelenggara pesta, Morimiya Yousuke.

'Bau almond.' Batinnya setelah membau mulut terbuka si Morimiya Yousuke. Ia mengedarkan pandangan pada sekeliling tubuh korban. Sebuah gelas yang awalnya berisi cocktail tumpah ruah di dekat tubuh sang figur itu.

'Detak jantungnya masih ada... tapi sangat lemah.'

"SESEORANG, ADAKAH YANG SUDAH MEMANGGIL AMBULAN DISINI?" pekiknya kepada para kerumunan masa di dalam gedung itu. Ekspresi mereka memancarkan rasa takut dan ngeri.

"A-a..ku.. sudah me..nelpon ambulan."

><><><

"Berhenti!" Suara Dazai meninggi, menggema di lorong sempit tempatnya kini berada. Penerangan remang-remang agak mengaburkan pandangan, namun ia tetap terus berlari―mengejar kelebat bayangan di depannya.

"Satsuki [Name]," Dazai juga menghentikan pengejaran ketika bayangan itu berhenti. Awan mendung bergerak, yang awalnya menutupi bulan kini menyingkap lagi terangnya sinar bulan, menerangi lorong gelap nan sempit itu. [Name] berbalik sembari mendecih kesal.

"Anda terlalu lambat, Osamu-san." Gadis itu menatap remeh sosok di hadapannya. Di lepasnya rambut palsu yang sedari tadi ia kenakan, tak luput jua dengan kumis tebal itu. Mereka bisa saling menatap dengan jelas berkat cahaya rembulan di atas sana. Angin berhembus kencang, keduanya masih terdiam.

"Saya tidak menyangka kita akan bertemu lagi disini. Sangat tidak pas sekali waktunya. Bagaimana Anda bisa tahu kalau saya melarikan diri, Osamu-san?"

"Aku melihat seorang pria yang mengantarkanku ke ruang ganti tadi sedang menyelinap menuju pintu samping gedung, ketika semua mata tertuju pada kerumunan itu. Aku sungguh tidak menyangka, apa kau tidak membunuh Morimiya Yousuke dengan benar?" [Name] terkekeh kecil, kemudian menyunggingkan senyum. Senyum iblis yang baru dilihat pria bersurai cokelat itu dari seorang perempuan. Ia menatap dengan jijik.

"Apa Anda ada perlu dan ada kaitannya dengan itu?"

Dazai terdiam kemudian berdeham kecil.

"Tentu. Seorang The Dancing Knife yang merupakan momok mengerikan bagi pemerintah, dan semua penjahat di kota ini, ada perlunya untuk ku berantas. Aku sudah mengawasimu semenjak kita pertama kali bertemu, nona. Kau hanya gadis ceroboh dan bodoh yang bermain-main dengan pembunuhan."

[Name] tertawa. Kepalanya sampai mendongak ke arah langit, begitu tergelitik usai mendengar ucapan lelaki di hadapannya.

"Ya, ya. Waktu itu memang kesalahanku, membiarkanmu memiliki buku catatan pentingku, juga menaruh alat sadap dan menghadiri pertemuanku dengan klien, mendengar semuanya hingga kau datang kesini. Tapi, lihat.. semua itu percuma, Tuan. Kau tak berhasil menggagalkan usaha pembunuhanku. Oh dan satu lagi, biarkan aku memberitahumu... Aku tidak akan bertindak ceroboh lagi Osamu-san."

[Name] merogoh saku dalam jas seragam pelayannya, mengeluarkan benda berukuran cilik yang selalu di bawa kemana-kemana. Benda yang sudah bak jiwa raganya. Pisau lipat dengan ketajaman mata pisau khusus dengan penutupnya yang berhias ukiran indah.

"Kau mau membunuhku?"

"Tentu saja. Aku harus menyingkirkan semua yang menghalangi. Kau terlalu ikut campur Osamu-san." Giliran Dazai yang tergelak. Lelaki itu sudah muak dengan segala bualan yang dikatakan gadis tersebut. [Name] mulai merubah gaya dan nada bicaranya, menatap sinis ke arah sang lawan bicara.

"Jangan sombong dulu gadis kecil."

Dazai melompat ke belakang tatkala [Name] menerjang ke arahnya dengan cekatan. Gadis itu melayangkan tendangan ke tubuh Dazai, namun berhasil dihindari.

"Aku tidak mau berkelahi dengan perempuan, terutama gadis kecil sepertimu." Dazai terus menghindari serangan bertubi-tubi dari [Name]. Gadis itu tak menyerah dan tak sedikitpun lengah. Disela serangannya itu ia menyeringai.

"Bukanlah suatu tindakan yang baik jika kau meremehkan lawanmu, Osamu-san. Aku tahu kau hanya jadi berharga karena kemampuanmu itu. Melawan seorang pembunuh professional tak berkekuatan khusus? Aku ragu kau akan menang. Kemampuan khususmu tak akan mempan padaku."

Grap!

Dazai menangkis pukulan dari [Name], menjadi genggaman erat pada lengan baju si gadis.

Brak!

Ditatapnya tajam gadis itu, kemudian ia menghempaskan si gadis hingga jatuh telentang. Pisau [Name] tergeletak agak jauh dari tubuhnya yang terkapar di aspal gang sempit itu. Dazai berjalan menghampiri, tatapannya penuh kebencian sekarang. Tanpa merubah posisi tubuh, [Name] menggerayangi tanah―mencoba meraih pisaunya.

Dazai berjongkok, pandangannya terkunci pada [Name]. Gadis itu memasang ekspresi kesakitan. Tangan berbalut perban Dazai perlahan menyentuh wajahnya, mengelus dengan begitu lembut.

"Sayang sekali, gadis cantik sepertimu harus ternoda oleh dosa-dosa. Ikutlah bersamaku, maka akan kusucikan nodamu."

"Cuih. Jika penyucian noda yang kau maksud adalah penjara.. kau salah orang, bodoh. Aku tidak akan pernah sudi." ujar [Name] dengan sarkas. Ia memalingkan wajahnya ke arah samping kiri, sedangkan tangan kanan gadis itu masih mencoba meraih-raih. Dazai memegang dagu [Name], membuat gadis tersebut kembali menatapnya.

'sedikit lagi..'

'sedikit lagi.. kumohon.'

'Dapat!'

"Tebuslah semua dosamu, dear―AKHH!" Pisau bermata khusus itu menancap di belakang perutnya. Dazai memekik kaget, matanya membelalak ke arah [Name]. Lelaki itu akhirnya menyingkir dari tubuh si gadis dan menjadi kesempatan emas untuk melarikan diri dari jeratan pria yang sedang terkapar memegang perutnya. Lari dengan kencang, bagai berbaur dengan angin―menuju seberang jalan dari gang sempit itu dan menumpangi mobil yang sudah menunggu.

Derap langkah kaki terdengar dari belakang arah Dazai.

"DAZAI!! KAU TIDAK APA-APA?!"

Kunikida agaknya histeris begitu melihat kondisi sang partner. Dazai menunjuk ke arah depannya, dimana semua kembali gelap lagi sebab awan mendung kembali bersinggasana.

"A..aku ba..baik....b..ik saja. I..ku..ti orang itu, Kunikida-kun."

"APA? APA KAU GILA? KAU TERLUKA PARAH BODOH!! KAU BISA MATI NANTI!" Kunikida membopong Dazai dengan sekuat tenaga. Pria itu datang sendirian kala Ranpo secara tiba-tiba menelponnya untuk membantu Dazai. Ia tak tahu apa maksud Ranpo di telepon tadi, dan sampai sekarang pun Kunikida tak bisa mengerti situasi yang terjadi. Yang saat ini diketahuinya adalah Dazai si primadona Agen Detektif Bersenjata sedang terkapar bersimbah darah.

><><><

To be continued

><><><

Halu minna~! Saya kembali datang membawa apdetan chapter terbaru "The Gestard Hall".

Nama gedung di atas sepenuhnya Kay ngaco, jadi kalo kalian search di gugel nggak ada di Yokohama ya maklum ya..

Kenapa nama panjang reader "Satsuki [Name]" kok nggak "[Full Name]" ?

Well, coba ditebak dulu hehe..

Untuk adegan Romance masih belum ada ya.. um.. saya harus bilang, mungkin Fanfic ini minor romance karena lebih fokus ke alur cerita.. tapi tetap saja, akan ada romancenya kok!

Sekian, terima kasih bagi kalian semua yang sudah berkenan membaca!

Vote sama komennya bolehlah? atau bila menyukai cerita ini boleh di share :3 //gkada

See You~!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro