10. That's Not Good First Impression (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shortlist Part
NaruHina
Masashi Kishimoto (Disc)
Hanaamj

.

.

.

.

Rate: T
Genre: DarkRomance
Alternate Universe
Naruto's Point Of View

.

.

.

.

"Kau adalah penjara. Hatiku tidak akan bisa kemana-mana karena kau punya kekangan tersendiri."

.

.

.

.

Aku sedang berjalan secara terburu-buru. Sejujurnya aku tidak ingin melakukan ini. Hidup bagaikan tahanan yang sedang melarikan diri dari sel. Kehilangan hak hidup dan kehilangan kebebasan. Hak hidupku sudah mati. Semua sejak satu bulan aku menjadi kekasih Hyuga Hinata.

Kakiku terus menelusuri trotoar. Earphone terpasang di kepalaku. Kedua tangan kumasukkan ke dalam saku jeans. Pandanganku was-was menatap sekitar, melirik kesana, dan kemari waspada.

Sampai di persimpangan jalan, kutunggu rambu-rambu penyebrangan menjadi berwarna hijau. Saat itu aku merasa mulai ada yang mengawasiku. Aku kesal dan merutuk dalam hati. Beralih dari emosi, aku mulai berjalan lebih cepat guna menghindari si penguntit.

Aku tidak akan bertanya, siapa yang menguntitku. Memangnya siapa lagi selain gadis gila itu.

Sudah beberapa kali aku mengalami hal seperti ini. Kabur bagai dikejar penagih hutang. Namun, pada akhirnya, si penagih hutang tetap mendapatkan sasarannya.

"Naruto-kun!"

Ahk, sial.

Disaat aku mulai berhenti mencak-mencak dalam batin, aku menenangkan diri. Menghela nafas. Berusaha bersandiwara senang saat bertemu gadis itu. Kutolehkan kepalaku ke arah sekitar.

Lihat, dia ada di depan sana dan melambaikan tangan.

Andai siapa-saja tahu apa yang aku rasakan. Aku ingin memaki-maki gadis itu. Ia memang terlihat cantik, anggun dan berkharisma dari luar. Tapi bagiku, ia hanya seorang nenek sihir dan psikopat gila. Ini adalah salah satu alasanku bersandiwara senang saat bertemu dengannya. Hatiku sudah menetap untuk membencinya. Sangat.

Aku teringat. Saat itu petang sudah menjelang. Itu sudah kelima harinya aku tidak masuk sekolah. Dihari sebelumnya, aku tentu tidak masuk. Sempat mengalami trauma ringan dan luka infeksi pada punggungku karena Hyuga Hinata saat malam yang telah lalu. Kadang aku merasa ketakutan untuk keluar rumah, takut-takut kalau bertemu gadis itu. Namun, aku semakin merasa tertekan kala Hinata malah menjengukku dan bilang pada Ibu bahwa ialah kekasihku. Ibuku tentu saja percaya dengan nenek sihir itu, karena aku tidak pernah menceritakan kejadian sebenarnya. Aku tidak mau beban ibuku semakin bertambah.

Saat ia menjenguk dan masuk ke kamarku. Aku merasa ketakutan setengah mati. Keringatku bercucuran. Namun, gadis itu bersikap baik layaknya merawat kekasihnya yang sedang sakit. Tapi hal itu tentu tidak mengubah pandanganku kepada jiwanya yang sudah gila di dalam.

Aku berteriak, membentak gadis itu. Aku bersyukur ibuku sedang pergi ke supermarket, jadi ia tidak akan tahu apa yang kukatakan---aku sempat mengatakan kata kasar. Untuk berjaga-jaga, kupegang erat vas bunga yang tadinya terletak di atas meja. Tapi dia tetap senyum dan ia berusaha beralih, serta mengatakan kalau aku marah-marah karena merasa lelah dan sakit kepala. Padahal sudah kukatakan terang-terangan mengapa aku membentak bahkan mengusirnya. Kusimpulkan, ia normal ditampilan luar, sakit jiwa di dalam. Ya, memang seperti itu.

Sampai saat aku membuang, lebih tepatnya melempar mangkuk bubur yang ia bawa. Pandangannya menggelap dan tatapannya kosong. Wajah yang tadinya tersenyum manis tapi palsu berubah mendatar. Mungkin ia mulai hilang kesabaran. Aku merasa sedikit gentar saat itu.

"Dengar, Naruto-kun..." Tangan dingin Hinata merayap di pipiku. Aku ketakutan dan serasa tidak mampu bergerak---barangkali guna melempar vas ke kepalanya. Wajahnya mendekat ke arah telingaku. "Ibumu adalah orang yang baik. Aku tidak sampai hati untuk membunuhnya. Namun, kalau kau terus membangkang seperti ini.... aku tidak akan segan," bisiknya di telingaku bagai melodi kematian.

Mulai saat itu, aku terpaksa mengkuti skenario gadis gila tersebut.

Ketika aku kembali ditarik kenyataan, aku sudah melihat Hinata di hadapanku. Senyum manis itu, wajahnya yang terkesan anggun, kharismanya sebagai murid teladan miliknya benar-benar membuatku muak. Dalam dadaku serasa semakin tertekan. Aku merasa ada sesuatu yang tercekat untuk diutarakan dalam hati, sampai rasanya benar-benar membuatku mual.

"Ayo pulang bersama." Tangannya menggenggam lebih dahulu tanganku. Aku hanya mengangguk menuruti. Memasang topeng senyum padanya, seperti yang ia inginkan. Berjalan layaknya sepasang kekasih pada umumnya.

Hinata, kau tahu? Aku semakin merasa muak padamu.

***

Akhir pekan, sekolah tentu libur. Aku berniat mengistirahatkan diri di rumah. Namun, semua itu hancur, saat Hinata mengajakku jalan ke taman. Aku tentu tidak menolaknya karena memang tidak akan pernah bisa menolaknya. Yang terjadi saat aku menolak keinginan atau mengubah skenario yang diinginkannya adalah tubuhku yang penuh luka gores.

Aku paling ingat pada luka gores yang berada di punggungku dan telapak tanganku. Itu luka yang terdalam. Bekas luka yang ada di punggungku merupakan tanda pernyataan cintanya, yang saat itu aku berusaha menyelamatkannya, namun malah dibalas air tuba. Kemudian, bekas luka bergaris besar di telapak tanganku kudapat saat aku menolak permintaan kencannya yang pertama kali. Tentu luka terbesarnya adalah isi hatiku.

Oleh karena itu, aku tidak boleh melakukan kesalahan kecil apalagi kesalahan fatal. Hidupku yang sudah hancur, bisa tambah hancur karenanya. Fakta bahwa psikopat itu cerdas memang seratus persen benar. Hinata melakukan apapun dengan sempurna, termasuk membuat rencana. Ya, kuakui itu karena aku sudah mengalaminya.

Perlahan kutarik nafasku. Aku mempersiapkan diri.

Sekarang, di sinilah aku. Menunggu gadis itu tiba. Mataku melirik sekitar. Kulihat penjual es krim yang tengah melayani anak-anak. Mereka begitu bahagia. Hanya sekedar es krim di tangan dengan uang di saku, nampaknya mereka benar-benar terlihat bahagia. Sesederhana itukah kehidupan anak-anak tersebut?

Sempat terlintas di pikiranku untuk membelikan gadis itu es krim. Tentu dengan niat terselubung lainnya. Misalnya terdapat sianida atau sejenis racun  yang dapat membuat gadis itu lenyap dari kehidupanku. Itu niat yang jahat, dan aku tahu mengapa aku harus melakukan itu. Namun, kutepis semua pikiran itu. Aku tidak pernah mempersiapkan hal sekeji itu. Atau mungkin karena aku belum siap.

Kalau kembali diingat, tempat ini dulunya adalah tempat dimana aku menyatakan perasaanku pada Sakura. Sekarang gadis itu sudah pindah ke luar negeri. Padahal aku masih mencintainya. Tapi, mungkin lebih baik seperti itu. Aku tidak akan pernah mau mendengar kabar tentang terlukanya Sakura karena perbuatan Hinata.

Sesaat kulirik jam di tangan. Bedasarkan waktu pertemuan, gadis itu telat 15 menit. Aku cukup terperangah. Hal ini tidak seperti biasanya. Gadis itu selalu tepat waktu, terlebih lagi ia terobsesi padaku, pastinya bertemu denganku merupakan prioritas utamanya. Mungkinkah ia membatalkan rencana kali ini?

Taman masih dipenuhi orang-orang. Aku merasa jengah dan hampa sesaat. Kupandangi langit sampai aku merasa mengantuk.

"Aahhh... gadis itu kemana?!" Aku membenarkan posisi dudukku yang tadinya merosot. Kurogoh saku dan mengambil ponsel. Saat melihat layar ponsel, ternyata tidak ada notifikasi apapun. Rasa kesalku semakin memuncak. Ini sudah 30 menit waktuku terbuang untuk menunggunya.

Seketika aku bangkit dari duduk. Hendak pergi. Namun, memikirkan sebuah resiko aku menjadi duduk kembali. Gigiku beradu. Aku merenung, pada akhirnya menggelengkan kepala. Aku memutuskan pulang dan mengirim pesan untuk membatalkan pertemuannya.

"Kali ini biarkan saja aku membangkang."

***

Demi melepas kejenuhan, memutari jalan pulang terasa menyenangkan. Sambil melangkah santai, kusiulkan pelan lagu-lagu favorit.

Jalan trotoar di pinggir nampak lebih ramai dari biasanya. Entah kenapa, semua pandangan tertuju pada jalan raya yang cukup ramai. Dikuasai oleh rasa penasaran, aku memilih mendekati kerumunan orang-orang yang nampak ramai.

"Permisi. Ada keramaian apa, ya?" kutanya seorang wanita paruh baya yang menampilkan wajah prihatin.

"Ah, sekitar beberapa waktu yang lalu, terjadi sebuah kecelakaan. Ada truk besar yang menabrak seorang gadis. Tadinya ia tengah berjalan. Mungkin saat ini nyawanya telah hilang. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Tubuh gadis tadi mungkin sudah hancur karena terlindas. Aku syok sekali. Padahal ia gadis yang cantik," jawab wanita di sampingku. Aku mengangguk mengerti.

"Terimakasih atas infonya, Nyonya."

Setelah puas bergabung dengan keramaian aku kembali berjalan santai.

"Rambutnya biru kelam. Kalau tidak salah matanya sewarna amethyst tanpa pupil. Bukankah itu ciri keluarga Hyuga?"

"Benar. Korban bernama Hyuga Hinata. Tim sedang menghubungi keluarganya."

Deg

Hyuga Hinata?

Aku tersentak menoleh ke arah orang yang sedang berbincang. Aku berlari menuju tempat kejadian. Salah satu petugas menahan tubuhku.

"Apa yang kau lakukan? Kami sedang melakukan evakuasi. Apa kau keluarga dari korban?"

"A-aku.... bolehkah aku tahu siapa korbannya?"

"Kami masih ragu. Namun, mengingat identitasnya dari keluarga terpandang. Mungkin Nona malang itu adalah Hyuga Hinata."

Aku terdiam sejenak dan menunduk. Perlahan, suara-suara bising di sekitarku serasa menghilang. Aku merasakan perasaan aneh dalam dadaku. Perasaan apa ini? Senangkah? Atau... hampa? Tapi aku ingin tertawa bahagia.

Kakiku melangkah mundur dengan gerakan kaku. Bisa kurasakan gemetar di sekitar tubuhku. Kemudian, tanpa berpikir apapun lagi, aku berlari meninggalkan tempat kejadian dan kerumunan.

"Oii! Mau kemana?" teriak salah satu petugas yang kutanya. "Dasar aneh..." gumamnya begitu yakin aku sudah pergi jauh dan tidak mendengarnya.

Pergi jauh dan entah apa yang ada di pikiranku. Nafasku mulai terengah ketika berlari cukup lama. Saat kuhentikan kakiku, aku mulai merasakan perasaan itu lagi.

"Hahahaha... lucu sekali."

Sebuah gang sepi tanpa sadar menarik perhatianku untuk memasukinya. Tampak sepi, gelap, dan jauh dari keramaian.

Bersandar pada salah satu tembok dan kepalaku mengadah ke atas. Rupanya awan mulai gelap. Apakah sungguh tepat ketika aku menyuarakan tawaku saat seperti ini? Lantas, bagaimana dengan perasaan lain yang ada dalam dada ini?

"Gadis itu sudah mati.... Berarti, bukankah aku sudah bebas?" Setelah berkata begitu, tanganku dengan gemetar menutup mulutku yang ingin tertawa sekeras-kerasnya. "Khhh... rasakan itu. Dasar kau psikopat."

Dikala aku mulai menyiratkan rasa bahagiaku, aku merasa semua ini terasa terpaksa. Rasanya tidak akan mungkin aku merasa sedih atas kematian gadis itu. Tapi kenapa, dadaku serasa hampa?

Dinding yang tidak bersalah kupukul. Lantas, rasa geregetan menjalar. Pikiran dan perasaanku tidak berjalan dengan seiringan. Kucengkeram dada kiriku.

"Tertawalah, Naruto. Gadis itu mati. Kau bebas sekarang," ucapku pada seorang diri.

Seiring waktu, perasaan senangku pudar. Aku terheran dengan perasaan hampa yang semakin menguasai. Dengan ego selangit, kutorehkan dalam hati, bahwa aku tidak akan pernah merasa sedih karena kehilangannya. Tapi...

"Gawat, aku tidak pernah menyukai gadis itu sedikit pun, kan?"

END (2)

2. An Information:
-Words totaly: 1554 words (only story)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro