Gitar Putih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Woi, woi!" Niat Naifa yang ingin kembali ke kelas usai sarapan pagi di kantin pun terurung sesaat melihat kerumunan siswa-siswi di depan mading, tampak seperti membincangkan suatu berita yang sedang heboh.

"Ada apaaan, nih?" tanya Naifa kepada salah satu siswi yang dikucir satu.

"Ituuu ...." Siswi itu terlihat terbata-bata, wajahnya yang pucat pasi berhiaskan peluh-peluh yang menetes melewati sudut matanya. Naifa berdeham, tak sabar menanti kalimat selanjutnya siswi itu. "Beberapa dari anak tawuran yang ikut kemarin-kemarin, ada yang meninggal secara misterius pas jalan pulang."

Naifa mengerutkan dahinya, sedikit kaget. "Hah?! Kok ... bisa? Meninggal misterius itu maksudnya apa?"

"Jadi gini, mereka pas mau pulang ke rumah masing-masing, ketemu sama pria yang pake jubah serba item. Bawa gitar putih. Nah, di situ pria itu mainin gitarnya. Serem dah! Mereka kira 'kan dia lagi ngamen ya, gak sadar empat anak ada yang kehipnotis sama mainan gitar itu. Sisanya pada lari," jelas siswi ber-nick name Fani itu dengan antusias.

Naifa yang menyimak cerita dari Fani pun ikut tertarik. "Terus? Terus?"

"Empat orang tadi--yang kehipnotis---katanya 'sih langsung diculik sama pria itu."

"Anjir! Seriusan? Terus?"

Fani menghela napas berat. "Mereka dibunuh, polisi nemu mayatnya di gubuk kosong---"

Sebelum Fani meluruskan ucapannya, Naifa sudah memotong akibat teringat dengan seseorang yang ikut aksi tawuran beberapa hari lalu itu. "Oh, iya! Lo liat Nafa gak?!"

"Na ... fa?" Fani melongo dengan mata membulat sempurna, Naifa mengangguk cepat. "Nafa ... anak kelas XII-4 IPS itu?"

Naifa lagi-lagi mengangguk untuk menanggapi. "Iya. Kenapa?"

"Dia siapa lo?"

"Errrr ... pacar gue."

"Sumpah?!" Fani menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air muka prihatin. Ia menepuk kedua bahu Naifa pelan. "Jadi lo Naifa pacarnya Nafa? Gue gak mau ngomong soal dia, takutnya elo jadi sedih."

"Nafa kenapa?!" desak Naifa dengan suara parau. Sebagian dari siswa-siswi yang sedang ribut menggosip itu pun menoleh ke arahnya.

"Nafa ... Nafa, dia salah satu anak yang jadi korban."

Detik itu Naifa merasa dunianya pelan-pelan runtuh. Sepertinya usaha melarang kekasihnya itu untuk tidak tawuran tampak sia-sia. Semua terlambat. Cowok itu sudah kembali ke Yang-Maha-Kuasa karena ego dirinya sendiri.

***

Naifa mengubah posisi terlentangnya jadi menyamping, didekapnya guling kesayangannya. Sudah larut malam, tapi Naifa belum ada minat untuk tidur. Lampu di kamarnya masih dibiarkan menyala. Naifa bangkit dari tempat tidurnya lalu duduk di meja belajar. "Nafa kemana, ya? Kok gak ada kabarnya dari kemaren? Gue telepon aja kali, ya?"

Diraihnya sebuah ponsel ber-case ungu, membuka lockscreen, dan mulai mengetik nomor kekasihnya. Naifa menempelkan benda persegi panjang itu di salah satu telinga dengan harap-harap cemas.

Tut-tut-tut.

Tidak tersambung.

Naifa melempar ponselnya ke springbed, tangannya terulur mengambil sebuah bingkai foto yang dilapisi kaca figura. Terdapat dua insan yang saling berangkulan di sana, berlatar belakang taman kanak-kanak. Naifa memperhatikan potret dirinya sendiri yang sedang memegang permen kapas. Ia terkekeh geli.

Kemudian tatapannya beralih ke potret seorang lelaki berambut acak-acakan, Nafa, yang cenderung tak bersahabat di foto itu. Wajahnya datar, tanpa menyunggingkan senyum. Naifa tersenyum penuh makna. Ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu.

"Naf! Senyum dong! Muka lo jangan datar gitu!"

"Bodo' amat, gue gak suka difoto."

"Lo mah gitu, foto ini buat kenang-kenangan tau! Bentar lagi 'kan kita kelulusan, siapa tau beda tempat kuliah."

"Kalo gue gak lulus gimana? Gue 'kan suka tawuran?"

"Itu, 'sih, derita lo!"

***

"Naf ... kok lo gak ngasih kabar ke gue lagi, 'sih? Lo kemana?"

"Naf ... gue kangen," Naifa menyeka bulir-bulir bening yang mengalir bebas di permukaan pipinya. Dengan tangan yang bergetar hebat itu, ia meletakan sebuah bunga mawar di dekat pusara Nafa. Sejak kemarin, Naifa tidak bisa bernapas dengan teratur karena flu, dadanya turut sesak. Naifa membuang pandangannya, mencari pasokan oksigen. Semilir angin menerpa kulitnya dengan lembut. Menari-narikan rambut hitamnya yang terurai.

Setelah itu, Naifa kembali beralih ke makam yang tanahnya masih merah itu. "Gue mau pulang dulu, ya, bye Soang."

Kini, Naifa tak lagi mendengar balasan biasa dari Nafa kala Naifa mengucapkan dua baris kata terakhirnya itu.

"Bye juga, Bebek!"

"Jangan panggil gue Bebek, Soang!"

Di tengah perjalanannya yang ingin keluar dari area pemakaman umum, sepasang mata Naifa tak sengaja menangkap sosok pria berpostur tinggi mengenakan jubah hitam legam yang sedang berdiri di antara semak-semak belukar. Di tangannya tergenggam sebuah gitar putih keluaran Spanyol kuno, Naifa berhenti sejenak. Secara reflek ia mengingat kata-kata Fani kemarin. Naifa bergidik dan cepat-cepat berlari menghampiri mobilnya di peraltaran parkir. Di bantingnya pintu mobil itu dengan kasar, lalu Naifa duduk di kursi pengemudi. Napasnya tersendat-sendat akibat capek berlari.

"Eh, kunci mobilnya mana, ya?"

Naifa terus mengacak-acak isi dasbor, juga saku celananya. Mencari keberadaan kunci mobil warisan Sang Ibu di dalam sana. Nihil, Naifa tak kunjung menemukannya.

"Pasti ketinggalan di makam!"

Sejurus kemudian Naifa keluar dari mobil, gemuruh petir tampak berasal dari langit yang mulai kelabu. Tangan kanannya berancang-ancang ingin menutup pintu mobil, bersamaan dengan itu sebuah tangan lain mendarat di sana. Naifa meneguk ludahnya, keringat dingin mulai menetes keluar dari pori-porinya. Dengan gerakan lambat, Naifa mendongak ke atas. Melihat seorang pria berwajah pucat yang kepalanya tertutupi oleh jubah hitam. Pria itu tersenyum bengis sebelum memetik senar gitarnya dengan penuh penghayatan. Terciptalah sebuah lagu tanpa lirik.

Mata Naifa langsung terasa berat, kepalanya mengangguk-angguk menahan kantuk, samar-samar ia melihat pria itu yang masih setia memainkan gitar putihnya sampai semua yang Naifa rasakan mulai berputar, gelap gulita. Tubuhnya terhuyung ke belakang diiringi turunnya rintik-rintik hujan yang membasahi bumi.

'Dengan caranya ini, aku bisa menemuimu Nafa, biarkan kita melanjutkan lembar hidup yang baru, di tempat yang lebih abadi di sana.'

=Tamat=

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro