Mirror

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mirror on the wall, here we are again

Through my rise and fall

You've been my only friend

You told me that they can understand the man I am

So why are we here talkin' to each other again?

***

"Kamu suka banget ya sama cermin? Ke mana-mana selalu bawa cermin."

Emilia mengangguk menanggapi pertanyaan Rey. Baginya, cermin tak bisa dipisahkan dalam hidupnya. Seperti manusia membutuhkan jantung untuk bertahan hidup, begitulah Emilia menilai arti cermin dalam hidupnya.

Emilia bukanlah seorang pesolek yang setiap saat menatap cermin untuk menilai penampilannya. Namun kebutuhannya untuk berada di dekat cermin adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi.

Rey selalu bingung melihat kebiasaan aneh teman kecilnya itu. Rey tahu jika Emilia gadis biasa-biasa saja. Bukan gadis pecinta dandan. Namun, kebiasaan temannya untuk membawa cermin masih membuatnya bingung sampai saat ini.

"Kamu suka cermin kenapa? Aku bingung kapan kamu jadi kecanduan pegang cermin begini," ujar Rey seraya tertawa renyah.

Emilia membalas pertanyaan Rey dengan senyum khasnya. "Aku suka cermin soalnya," mata Emilia menerawang, "apa kamu pernah ngelihat dirimu lebih jujur dibanding cermin? Apa ada orang yang nilai kamu lebih jujur dari cermin?"

Rey tertegun mendengar pertanyaan Emilia. Memang sebuah filosofi yang umum jika cermin refleksi diri yang jujur. Namun, dia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Emilia.

"Memang cermin yang paling jujur bisa menilai diri sendiri tapi kamu bisa saja menipu cermin," jawab Rey tenang, "yang kulihat juga, kamu nggak begitu sering bercermin."

Emilia menggenggam cermin kecil yang di tangan kirinya sedikit lebih erat. Ada perasaan tak enak yang membuatnya tak nyaman. Bukan karena pertanyaan Rey. Tapi sesuatu yang selalu dipendamnya telah terbuka dari benteng pertahanannya.

"Kamu nggak ngerti, Rey. Ini gak semudah pemahaman yang kamu tahu. Kamu nggak tahu rasanya ada sesuatu yang bisa menunjukkan dirimu apa adanya, bisa menilaimu secara jujur. Kamu gak paham, Rey."

Rey mengerutkan dahi dan menghembuskan napas kecil. "Aku masih nggak paham maksudmu, Mil."

"Kamu memang nggak tahu, Rey. Kamu gak akan paham. Ini tak semudah itu. Hanya cermin yang bisa melihatku, yang bisa menghargai diriku. Aku tahu kamu akan mengataiku aneh tapi bagiku cermin seperti saudaraku sendiri tapi lebih baik kamu tak mendengar ini," batin Emilia.

Semilir angin berhembus di sekitar Rey dan Emilia, keduanya terenyuh dengan pemikirannya masing-masing.

Pikiran Emilia kembali ke hari itu, pada saat dirinya masih mengenakan seragam merah-putih. Kejadian yang lama, mungkin sebelas tahun yang lalu.

Saat itu, Emilia pulang sekolah. Rumahnya terlihat sepi dan gelap, dia sudah terbiasa. Kedua orang tuanya memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan, Emilia pun harus dikorbankan demi karir mereka. Seharian di rumah, dihabiskan Emilia bermain dengan boneka barbie kesayangannya.

Semuanya baik-baik saja, sampai ada suara gaduh yang membuatnya terkejut. Emilia mengendap-endap mencari tahu asal suara itu. Emilia menajamkan pendengarannya mencari tahu asal suara ribut-ribut itu.

Emilia berlari kecil mendekati asal suara itu. "Loh, Papa sama Mama," ujarnya berbisik. Dia memilih bersembunyi dibalik kamar yang terhubung dengan dapur, tempat di mana Papa dan Mamanya menimbulkan suara gaduh.

"Kamu selalu aja salahin aku, Dre." Mama Emilia menangis tersedu-sedu seraya memegangi pipinya.

Ini sudah sering terjadi, Emilia tidak begitu terkejut dengan tontonan ini.

"Ya kamu gak bisa pikir? Kamu pikir tindakanmu itu benar? Pulang sama teman kantor laki-laki. Kamu pikir itu pantas, An?" teriak Papa Emilia seraya berkacak pinggang. Wajah Papa Emilia merah padam, matanya melotot memandangi Mama Emilia yang bersimpuh di bawah kakinya.

"Dia cuma antar aku, Dre. Dia sudah punya istri juga. Dre, kamu jangan posesif gini. Kamu selalu salah paham. Aku sudah minta kamu jemput aku, tapi alasanmu apa?"

Tiba-tiba saja Papa Emilia tertawa kencang, tawa yang membuat Emilia bergidik. Emilia meringkuk, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia merapatkan tubuh pada tembok. Emilia menatap cermin yang tergantung di tembok. Dia menemukan wajah yang menatapnya prihatin. Wajah yang serupa dengannya, seolah mampu membaca hatinya.

"Kenapa melihatku?" tanya Emilia.

"Aku tahu perasaanmu," jawab wajah yang berada dalam cermin.

Emilia tersenyum tipis seraya berkata, "Terima kasih untuk mengetahui perasaanku."

Wajah dalam cermin membalas senyumannya dengan senyum tipis yang prihatin.

"Emilia! Kamu di mana, Mil?!"

Emilia memeluk lututnya erat, dia sangat ketakutan. Dia tidak mau bertemu Papanya. Dia ingin bersembunyi dari Papanya.

Emilia masuk ke kolong kasur.

"Emilia!" Suara Papanya semakin jelas. Emilia menutup mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar Papanya.

Cklek. Papa Emilia membuka pintu kamarnya. "Emil, kamu di mana?"

Seluruh tubuh Emilia bergetar saat suara Papanya semakin jelas. Air mata membasahi seluruh wajahnya.

"Emil!"

Emilia mengerjapkan mata. Dirinya baru disadarkan dari pemikirannya sendiri.

"Kamu kenapa, Mil?" tanya Rey panik melihat raut wajah Emilia yang berubah pucat pasi. "Sakit?"

Emilia menghindar saat tangan Rey berusaha menyentuh dahi Emilia. "Aku gak apa-apa, Rey. Balik ke kelas yuk, mau bel."

Rey tak ingin memaksa, dia tahu Emilia tak suka dipaksa. Dia juga tak ingin membuat Emilia menjadi histeris. Rey cukup tahu kejadian buruk yang dialami Emilia. Kejadian yang merenggut nyawa Mama Emilia.

Rey salut pada Emilia, setelah kejadian buruk yang dialami Emilia. Gadis itu bisa tumbuh menjadi orang yang ceria. Dia berjanji untuk menjaga Emilia apa pun yang terjadi.

"Rey, kamu ke kelas duluan ya. Aku mau ke toilet," pamit Emilia.

Emilia masuk ke salah satu bilik toilet, dinyalakannya keran air untuk meredam suaranya. Emilia menatap cermin yang sedari tadi dipegangnya.

"Hey! Kamu tahu, Rey membuat luka lamaku terbuka. Menakutkan." Emilia berkata pada gadis yang berada dalam pantulan cermin.

"Andaikan aku dapat memelukmu, Mil. Dia tidak tahu apa-apa, Mil. Dia hanya ingin tahu," balas gadis di hadapannya.

"Terima kasih untuk selalu berada di dekatmu, Jess. Aku tahu orang akan menganggapku gila, mereka tak pernah percaya jika kuceritakan tentangmu. Dari dulu, hanya kamu yang mengerti aku, Jess." Emilia meneteskan air mata, rasanya perih saat mengingat peristiwa yang menimpanya saat itu.

Bayangan kenangan itu terkenang kembali.

Papa Emilia masuk ke kamar Emilia dan meneriakkan nama Emilia berkali-kali, Emilia masih bungkam dan bersembunyi.

Cermin yang tergantung di tembok tiba-tiba saja jatuh ke lantai. Emilia nyaris saja berteriak saat itu. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Papanya hingga cermin terjatuh dan pecah.

"Dre, Dre, kamu mau apa? Jangan apa-apain Emilia!" Suara Mama Emilia, tak jauh terdengar. Emilia menebak Mamanya mengejar Papanya.

"Kamu mau apa, An? Jangan sok pahlawan, pikirkan kelakuan kotormu!"

Emilia terkejut ketika suara benda jatuh berdenting. Rupanya Papanya baru saja mendorong Mamanya hingga terjatuh. Mama Emilia terkapar di lantai seraya menangis.

Mata Mama Emilia bertemu dengan mata Emilia. Bibir Mama Emilia memberi tanda agar Emilia tetap diam dan bersembunyi.

Emilia mengambil pecahan cermin yang terlempar di dekat kolong. Digenggamnya erat saat dia melihat Papanya mencekik Mamanya.

Emilia melihat wajah Mamanya yang sangat kesakitan. Papanya menyabetkan pecahan cermin ke pipi Mamanya.

"Jangan diingat lagi, Mil!" Suara dari balik cermin di hadapan Emilia membuatnya tersadar pada dunianya. "Jangan diingat jika itu menyakitkan. Jangan menyakiti dirimu."

Emilia menggenggam erat cerminnya. Menyimpan semua kenangannya itu rapat-rapat. Menguncinya kembali di sudut hatinya yang paling dalam.

=FIN=

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro