TECHNOLOGIA :: acap kali kita berada di hari-hari jarang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

———

1.1k words.

———

Tidak ada yang bisa mengalahkan bunyi bola yang jatuh di sisi lain, diikuti peluit tanda pertandingan telah usai dan ledak sorak penonton dan teriak girang dari timnya sendiri. Semi Eita memandang glamor kemenangan dari bangku cadangan, adik kelas yang mengganti posisinya tidak buruk-buruk amat, ternyata. Bibir membentuk senyum canggung ketika kau menarik lengannya dan berhasil memasukkan kalian ke dalam frame foto pada detik-detik terakhir. Telapak tanganmu disodorkan ke depan mukanya, isyarat singkat untuk tos. Cengiran yang kau tunjukkan kala kedua tangan menciptakan bunyi 'klap' membuat jantungnya berdetak lantang hingga ke kepala.

Tim voli Shiratorizawa tidak pernah punya tempat khusus untuk merayakan sesuatu, kelas-kelas kosong di gedung akademi acap kali memenuhi kebutuhan itu-dengan satu set kartu uno, tumpukan kaleng soda, dan lagu rock dari mini speaker milik remaja berambut abu. Kau tahu akan hal ini, tentu saja, mengingat jabatanmu sebagai manajer Shiratorizawa mencakup menghamburkan uang kas guna memenuhi kebutuhan (baca: hal-hal kurang penting yang mereka rengek untuk kau dapatkan) anggota timnya. Lantas, saat datang hari-hari jarang di mana Tendou dan beberapa anak kelas satu menarik-narik lenganmu usai kau keluar dari loker perempuan untuk berganti baju, praktis memohon dengan untaian kata yang diberi pemanis demi satu lagi permintaan kurang penting—tapi sedikit menyenangkan, kau rasa—dirimu mengangguk.

Semi Eita menggeleng kepala, memikirkan alasan apa saja agar ia tidak perlu ikut ke tempat yang dipilih teman terkutuknya; noraebang. Jujur saja, sang remaja lebih memilih memetik gitar dan menyanyikan melodi lembut di kamarnya alih-alih menggenggam mikrofon dan unjuk kebolehan vokal di depan tim voli kesayangannya. Tapi kau tidak mendengarkan, tentu saja, seperti yang ia prediksi, tipikal sekali. Jemarimu menggamit lengannya untuk kedua kali sore itu—mulut bergerak bicarakan sesuatu tentang 'karaoke akan menyenangkan, percaya, deh!' atau apalah. Lalu, dengan helaan napas, ia mengalah.

Lelaki berambut abu itu percaya kalau ini adalah keputusan yang buruk. Kereta sore acap kali padat penduduk, dan peruntungannya tidak pernah cukup baik untuk bisa menapakkan kaki ke hari-hari jarang di mana transportasi umum tersebut absen akan hiruk pikuk. Ia merasakan kau berdiri di samping kanannya, jaket manajer telah lama dilepas dan diikat ke pinggang—berperan sebagai lapisan tambahan untuk menutupi rok Shiratorizawa yang kelewat pendek. Semi Eita melemparkan tatapan tajam ke pria paruh baya yang menatap dari belakang, menawarkan diri untuk mundur sedikit dan memblokir pandangannya padamu.

Ia berdiri dalam diam selama separuh perjalanan. Tatapan terpaku pada hamparan angkasa jingga yang dipandangnya lewat jendela, tiang kereta terpenjara dalam telapaknya, kelopak sesekali tertutup dalam usaha abaikan ramai yang makin lama makin membuatnya pusing. Sang remaja tergoda untuk memijat pelipisnya, barangkali mabuk akan tawamu yang mendominasi pendengaran, akan bagaimana tubuhmu sesekali berayun ke belakang dan setengah bersandar ke figurnya—ia bersyukur kau tidak berkomentar tentang naiknya degup jantung, akan kelip di matamu saat Tendou mengatakan kalau ia juga suka LiSA. Genggamannya ke tiang di kereta mengerat saat kau berayun ke belakang lagi—pelembut pakaian yang melekat di kemejamu samar tercium olehnya—Semi Eita menoleh padamu saat lengan seragamnya ditarik pelan.

"Lagu kesukaanmu main, Ei."

Sang adam menajamkan pendengaran, radio kereta memutar lagu barat yang nadanya dapat ia mainkan meski sambil menutup mata. Gumamnya, "Crash My Car," tidak gagal tertangkap oleh telingamu.

"Nanti mau menyanyikan lagu itu?"

"Aku niatnya lihat kalian saja."

Kau menyikut pinggangnya. "Enggak seru banget. Suaramu 'kan bagus."

"Sayang sekali aku tidak ada keinginan untuk mengesankan orang lain."

Lalu, kau diam—tapi Semi Eita tahu lebih baik daripada mengira kau akan berhenti membujuknya begitu saja. Ia dapat membayangkan dengan persis kilau usil di matamu saat kata selanjutnya terlontar: "Mau menyanyi denganku? Dijamin, suara sumbang milikku bakal gagal membuat orang terkesan padamu."

Ia menghela napas—acap kali lelaki ini keras kepala, namun kau dan keberuntungan anehmu selalu berhasil lolos di hari-hari jarang sang remaja tidak keberatan untuk mengatakan iya. Suaranya nyaris teredam bunyi kereta saat ia berkata, "Aku yang pilih lagunya."

Lampu neon di kotak karaoke itu tidak buruk. Ia dapat melihat kilat di matamu, bibirmu yang merekahkan senyum lebar, ponsel di tangan yang siap memahatkan panorama ini ke memori tiada goyah. Menggenggam strap ranselnya lebih erat, ia praktis dapat merasakan rasa semangat milikmu. Untuk yang ketiga kali, kau menggamit tangannya dan menarik kalian berdua ke sofa terdekat. Semi Eita bersumpah kepalanya berdenyut hanya karena memikirkannya: sebab tanganmu ada di sana dan menyentuh lengannya dan seluruh raganya berteriak untuk membawa jemari lentik terkutukmu itu ke genggamannya sendiri, sebab kau sedekat ini dan ia dapat merasakan hangat tubuhmu dan hal itu sudah cukup membuat benaknya berdansa di ambang kewarasan—lelaki itu membiarkan jarinya menyisir rambut dengan frustasi.

"Aku lebih memilih bilik karaoke tradisional Jepang, tapi ini boleh juga." Suara berat Ushijima membuat kau menoleh, Tendou yang muncul di belakang menambah atmosfer antusias dengan caranya yang berdansa kecil guna masuk bilik—mengambil sofa tengah.

"Tuh 'kan! Kubilang, karaoke bakal jadi perayaan yang seru," ujar Tendou, anak-anak kelas satu yang mengekor ikut mengangguk. Kau menggeleng jenaka, tanganmu lepas dari lengan remaja berambut abu guna mencapai mikrofon.

"Mau menyanyi denganku duluan, Satori?" tanyamu riang. "Eita nanti saja."

Lantas, ia melihat temannya yang kelewat aktif itu berdiri girang, menarik tanganmu dalam prosesnya. Kalian memilih lagu LiSA, tentu saja, dan ia tak familiar dengan nada yang kau lantunkan. Namun, sang adam tetap berharap ia dapat memasukkan suaramu ke dalam botol yang nantinya akan ia buka dan biarkan melodi keluar dari sana—meski nampaknya pendengaran dapat jadi taruhan. Remaja berambut abu itu ingin duduk di tempat ini selamanya dan mendengarkan nyanyianmu yang diselingi tawa indah dan kilat menawan yang ada di netra tiap kali kau bahagia dan barangkali ia akhirnya akan punya keberanian untuk memegang tanganmu—tapi kau menoleh padanya saat selesai, Semi Eita mengangguk singkat sebelum melangkah mendekat.

Ia memilih lagu di layar digital yang tersedia, kau berkomentar: "Bukan Crash My Car?"

"Bukan. Aku pikir kau tidak akan bisa menyanyikan yang itu."

Kau memukul pundaknya pelan, menggerutu. Sang lelaki hanya menampilkan senyum tipis-yang mana hatimu nyaris jungkir balik karenanya.

Adegan kau menyanyi bersamanya tadi berjalan lebih baik dari yang ia duga, anak-anak kelas satu bersiul di akhir lagu—tapi bukan masalah. Masalahnya adalah sekarang kalian berada di kereta malam, kawan timnya terlelap akibat lelah merajai raga mereka, dan kau juga. Ia merasakan kepalamu jatuh di pundaknya, dengan kelopak tertutup dan ritme napas yang tenang. Dibutuhkan nyaris seluruh kendali dirinya untuk tidak mengulurkan tangan dan menyingkirkan rambut yang menutupi separuh mukamu. Semi Eita ikut menutup matanya, kepala disandarkan ke kursi; jantung masih berdenyut sampai kepala, dan ia berharap kau tidak terbangun karenanya.

Kau menarik lengan kemejanya pelan, setengah tenggelam dalam bunga tidur. "Kapan-kapan pergi karaoke denganku lagi, ya."

Ia bergumam setuju, menepuk lembut kepalamu sekali. "Pasti."[]

10/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro