Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semilir angin menggoyangkan dedaunan pinus yang tumbuh di sisi perkebunan palawija. Bentangan ladang hijau yang ditanami berbagai jenis sayuran. Beberapa petani sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh di antara tanaman. Beberapa yang lain tengah menyemprotkan pupuk untuk menghindari hama-hama perusak. Petani-petani ini hanyalah pekerja dari ladang yang mereka garap. Rata-rata tanah pertanian di kampung Cirembang, merupakan milik Juragan Karta, sebagian lainnya milik Haji Kosim. Namun, tanah Haji Kosim terletak cukup jauh, dan berbatasan dengan bukit utara.

Gugun menundukan kepala, menghitung jumlah uang yang dia dapatkan. Sama halnya dengan Jana, pekerja ladang lainnya pun melakukan hal serupa. Senyuman tersungging di bibir mereka kala melihat jumlah upah yang di dapat. Namun, bibir Gugun terasa kelu untuk tersenyum. Dia hanya mendapatkan dua lembar seratus rupiah, upah kerja sebulan.

“Kang Amin, punten, kenapa punya saya hanya dua ratus? Biasanya lima ratus?” tanyanya pada mandor kepercayaan Juragan Karta.

“Eleuh, eleuh, maneh teh berani protes? Cing atuh mikir, minggu kemarin kamu kan ke dokter, nah uangnya dipotong dari gaji kamu.”

“Tapi ….”

“Kamu mau upah itu apa nggak? Kalau mau protes, sana ke juragan Karta. Kehed!” Kang Amin menatap sinis sebelum berbalik pergi.

Gugun menghela napas. Dia kemudian pasrah menggenggam uang tersebut ke saku celananya. Pikiran pria itu memutar ucapan istrinya pagi tadi. Tiwi mengeluh tentang beras yang sudah habis, serta biaya untuk ke bidan sore nanti guna mengecek kandungannya yang telah menginjak bulan ke sembilan.

Baru saja Gugun akan membuka tutup botol minum, seseorang berteriak memanggil namanya sambil berlari.

“Gun! Gugun! Cepat pulang Gun.”

“Kang Wardi?” Gugun kembali menutup botol minumnya kemudian menghampiri Wardi yang tersengal-sengal mengendalikan napas.

“Tiwi, Gun! Tiwi pendarahan. Dia sekarang dibawa ke puskesmas. Cepat pulang, Gun!” Masih tersengal-sengal, Wardi menjelaskan kronologinya pada Gugun. Mendengar hal itu, tanpa menghiraukan apa-apa lagi, Gugun segera mengambil langkah seribu dengan Wardi di belakangnya yang kembali berlari.

***

Gugun mendengar jerit kesakitan istrinya. Dia wanti-wanti di depan ruang bersalin. Namun, belum juga jeritan istrinya mereda, pintu ruangan itu terbuka. Seorang dokter wanita keluar dengan peluh bercucuran.

“Pak, kami harus segera membawa istri bapak ke rumah sakit. Kandungannya bermasalah. Tenaga dan peralatan medis di sini tidak lengkap untuk menanganinya.”
Gugun masih tidak bisa menjawab perkataan dokter itu sampai jeritan istrinya kembali terdengar.

“Ba—bawa saja Dok, saya ingin istri dan anak saya selamat.”

“Mau pake apa kamu nyelametin anak saya?” Tiba-tiba suara ibu mertuanya terdengar lantang. Gugun berbalik, wajahnya pucat dan dipenuhi rasa cemas, ketika menatap mertuanya yang melotot marah.

“A—ambu,” ucapnya terbata.

Hasna mendelik sinis kemudian mengangkat telunjuknya.

“Mantu tak berguna! Anakku sakit semua karena kamu mengajaknya hidup miskin. Coba dulu kamu nggak ngerayu dia, anakku pasti sudah bahagia dengan juragan Karta,” cacinya.

Gugun menundukan kepala. Dia cemas memikirkan nasib istrinya, jerit tangisnya menusuk hati.

“Ambu, Tiwi tengah kesakitan, bisakah ambu menahan emosi Ambu dulu?” bujuk Gugun.

Namun, seakan tak terima dinasihati, Hasna menampar Gugun membuat semua orang yang berada di lorong puskesmas itu terperenyak kaget. Dokter yang sebelumnya berbicara dengan Gugun menggelengkan kepala. Tak ingin ikut berurusan dengan keluarga ini, dia kembali masuk ke ruangan Tiwi terbaring.

“Kurang ajar kamu, berani mengaturku.” Bahu Hasna naik-turun tak terkendali. Wajahnya penuh amarah tak tertahan. Jika tak ada orang-orang di lorong itu, mungkin dia sudah memukuli menantunya itu.

“Sudahlah, Bu Hasna. Tenangkan marahmu, aku di sini berjanji akan menolong Tiwi.”

Suara pria lain yang berada di belakang Hasna berucap dengan kelembutan dibuat-buat. Gugun yang tertunduk, seketika mendongak. Dia melihat juragan Karta tengah menepuk bahu ibu mertuanya.

“Juragan, untung ada Juragan yang mau menolong. Tolong Tiwi, Juragan, bawa dia ke rumah sakit di kota.”

“Tentu, tentu ….” Juragan Karta terkekeh-kekeh sambil menatap Gugun dengan tatapan mencemooh.

“Ambu, saya suaminya, saya yang akan membawa Tiwi ke rumah sakit. Saya ….”

“Apa? Kamu? Bisa apa kamu? Kamu punya duit?”

“Gugun akan usahakan semuanya, Tiwi ….”

Jeritan Tiwi kembali terdengar sehingga membuat Gugun menghentikan ucapan. Segera Hasna mendorong menantunya ke samping, kemudian masuk ke dalam ruangan.

Seakan-akan tak menganggap penting keputusan Gugun, akhirnya Tiwi dibawa ke rumah sakit oleh juragan Karta dan Hasna. Ibu mertuanya tak mengijinkan Gugun ikut di mobil ambulan yang disewa juragan Karta. Gugun mencoba berulang kali memohon untuk diikutkan, tetapi lagi-lagi hanya makian yang ia dapat. Sampai kemudian dia melihat wajah Tiwi yang pucat kesakitan, barulah pria itu mengalah. Asal Tiwi dan bayinya selamat.

Nasib nahas. Pada akhirnya, anak dalam kandungan itu tak terselamatkan. Gugun hanya mendapatkan kiriman jenazah anaknya. Dia menangis tergugu sambil memeluk bayi pucat yang terbungkus plastik dari rumah sakit.

Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, Tiwi pulang dan tinggal di rumah ibunya. Namun, dua minggu kemudian dia bersikukuh kembali ke rumah Gugun, meskipun Hasna menghalang-halangi. Perdebatan itu membuat Hasna semakin membenci Gugun.

“Tiwi telah menikah, Bu. Ambu seharusnya mengerti posisi Tiwi.”

“Maneh teh konyol. Hidup menderita dengan pria yang hanya buruh ladang juragan Karta, kok seneng. Turutin omongan Ambu, kamu pasti bahagia dengan juragan Karta. Sekarang lihat, kamu sakit, biaya rumah sakit siapa yang bayarkan?Juragan Karta ikhlas bantu kamu.”

“Ambu! Ambu nggak pantas ngomong seperti itu. Bagaimana pun Tiwi adalah istri Kang Gugun. Tiwi hanya mencintai Kang Gugun. Apa ambu pernah berpikir, jika Tiwi jadi istri keenam juragan, apakah Tiwi bahagia? Tiwi tak akan bahagia, karena Tiwi tak mencintainya.”

“Alaahh! Lama-lama kamu juga bisa mencintai juragan. Kamu bakal hidup enak, nggak kayak sekarang,” cemoohnya, “miskin.”

“Ambu ….” Tiwi menggeleng-geleng sambil menahan amarah.

Dia tak tahan lagi jika harus terus menerus bertengkar seperti ini. Sebisa mungkin dia tak ingin berdebat hingga lupa kedudukannya sebagai anak yang harus menghormati orang tua. Karena itu, Tiwi harus pergi dari rumah ibunya dan kembali pada suaminya.
Tepat ketika dia berbalik hendak pergi. Tiwi mendapati wajah teduh dan sayu suaminya sedang berdiri kikuk di tengah pintu. Pria itu memandang Tiwi dengan mata berkaca-kaca.

“A ... kang,” sapa Tiwi terbata.

Wanita itu kemudian menoleh kepada Hasna. Melihat Hasna membuang muka, Tiwi tahu, ibunya sengaja berkata menyakitkan karena tahu Gugun ada di sana.

“Ayo kita pulang, Kang!”

“Kondisimu, Neng ….”

“Pulang sana, manusia miskin! Rumah ini tak menerima orang miskin.” Hasna menunjuk Gugun. Telunjuk itu bergetar menggambarkan kemarahannya yang memuncak.

“Ayo, Kang!” Tanpa menoleh pada ibunya, Tiwi meraih tangan Gugun lalu setengah menyeretnya keluar.

Di belakangnya, terdengar raungan Hasna, “Tiwi, jika kau selangkah saja pergi dari sini, kau bukan lagi anakku!”

Air mata Tiwi meleleh. Gugun menghentikan langkahnya, menarik tangan Tiwi dengan lembut. “Neng ….”

“Jangan Kang, jangan bujuk Tiwi untuk kembali pada ibu. Mun Akang nyaah ka Tiwi, bawa Tiwi pergi dari sini.” Air mata semakin menganak sungai, dadanya sesak, ingin berteriak menuntaskan lara hati yang terpendam. Bukan sekali saja ibunya berucap demikian. Dan itu membuat Tiwi tak berdaya.

Gugun menoleh ke belakang, melihat mertuanya yang menatap penuh kebencian. Percuma saja memang, jikalaupun ia menyerahkan Tiwi. Tiwi tak bahagia dengan keadaannya sekarang.

“Ayo, Kang! Bawa Tiwi pergi!” Tiwi menyeret lengan Gugun kembali, memaksanya meninggalkan halaman rumah Hasna.

Keduanya sampai di pintu gerbang, terhenti ketika juragan Karta berkacak pinggang menatap Tiwi dan Gugun.

“Ohh, setelah sehat, kau berani datang lagi rupanya.” Cemoohan juragan Karta disertai kekeh sinis.

Tiwi semakin erta menggenggam Gugun. Gugun merasakan ketakutan istrinya itu. Dia langsung maju selangkah, menyembunyikan Tiwi di belakangnya.

“Juragan,” sapanya dengan sopan. “Saya datang untuk menjemput Tiwi, dan juga ….” Gugun merogoh saku kantong celananya, mengeluarkan segepok uang kertas berwarna merah. Kemudian dengan penuh hormat menyodorkan uang itu kepada juragan Karta.

“Ini, saya berniat mengembalikan uang juragan Karta yang dipakai ….”

Plakkk! Uang yang di tangan Gugun berhamburan di tanah.

Gugun dan Tiwi tertegun, tetapi ekspresi Gugun kembali tenang. Dia lalu menggenggam tangan istrinya yang berkeringat dingin.

“Juragan, urusan utang piutang biaya rumah sakit ini telah selesai di sini. Saya dan Tiwi pamit,” ucapnya dengan tenang kemudian menuntun Tiwi melewati juragan Karta yang terlihat menahan amarah.

Tiwi maupun Gugun tak ada yang berani menengok ke belakang. Gugun membawanya ke depan sebuah delman, kemudian membantu Tiwi menaiki delman tersebut. Setelahnya mereka pergi tanpa menghiraukan raungan juragan Karta dan suara tendangan yang menghantam pagar rumah Hasna.

“Ini delman siapa, Kang?” tanya Tiwi sambil mengelus sisi-sisi kursi delman.

Gugun tersenyum dengan hangat. Dia menghela napas lega sebelum menjawab, “Ini milik Pak Haji Kosim. Akang sekarang kerja sebagai kusir delman beliau.”

“Oh, ya?” Binar bahagia muncul di manik mata Tiwi. Dia tersenyum lembut kemudian bergelayut mesra di pundak suaminya.

“Tiwi bersyukur akang nggak kerja lagi di ladangnya juragan Karta. Tiwi selalu tak nyaman.”

“Iya, Neng. Setelah Akang pikir-pikir juga begitu, kita masih bisa mencari rejeki di tempat lain.”

Tiwi mengangguk, dia lalu teringat sesuatu. Perlahan wanita itu menoleh menatap suaminya.

“Akang dapat duit dari mana buat bayar utang ke juragan Karta?”

Gugun tak segera menjawab. Dia fokus mengendalikan laju kuda agar stabil, takut membuat Tiwi takut jika jalan kuda semakin cepat.

“Kang ….”

“Akang menjual kalung dan cincin punya Ibu.”

Gugun menjawab dengan tak acuh, tetapi Tiwi langsung merasa tak enak hati. Dia tahu, kalung dan cincin ibu mertuanya sangat berharga untuk Gugun.

“Tiwi minta maaf, Kang.”

Gugun menoleh ketika mendengar isakan sang istri. Dia menghentikan laju kuda, lalu mengangkat tangan membelai rambut Tiwi.

“Tak ada yang harus dimaafkan. Ini gunanya Ibu meninggalkan perhiasan itu untuk kita. Lagi pula, Ibu pasti setuju dengan keputusan Akang ini.” Jemari pria itu membelai lelehan air mata di pipi Tiwi.

“Sudahlah, Sayang. Setelah hari ini, ayo kita membangun kebahagiaan kita lagi. Setuju?”

Tiwi mengangguk, lalu merangsek masuk ke pelukan Gugun. Dia menangis, tetapi hatinya bahagia.

Tak ada yang nenyadari dari kejauhan, sebuah mobil jeep hitam melihat segala bentuk interaksi Tiwi dan Gugun. Juragan Karta mengepalkan tangannya penuh geram.

“Awasi terus mereka. Pantau Gugun dan kediamannya. Kalian mengerti?”

“Mengerti juragan!” sambut empat orang yang berada di jok belakang mobil itu.

***

Menatap suaminya yang tengah membersihkan kuda, Tiwi menyunggingkan senyum. Dia beranjak menghampiri Gugun sambil menyodorkan segelas teh hangat. Gugun menerimanya, kemudian berterimakasih sambil mengecup kening Tiwi.

Sebulan berlalu. Tiwi bahagia dengan keadaannya sekarang. Sang ibu tak pernah datang mengusik kehidupan rumah tangganya. Pun dengan pekerjaan Gugun yang lancar tanpa hambatan. Tiwi merasa, inilah imbalan dari rasa sakit mereka kemarin.

“Akang kerja dulu, ya?” pamit Gugun, “hati-hati di rumah. Jika ada apa-apa minta tolong pada Kang Wardi atau Teh Elis, ya?”

Tiwi mengangguk kemudian mengecup punggung tangan Gugun. Dia lalu menyerahkan rantang perak dua susun berisi makan siang suaminya.

Tiwi melambaikan tangan kala Gugun melaju bersama delmannya menuju rumah Haji Kosim. Rumah majikan Gugun memang lumayan jauh dibandingkan dengan ladang juragan Karta. Karena itu, Gugun selalu berangkat pagi-pagi dan pulang kala petang menyambut.

Baru saja Tiwi masuk ke kamarnya, bunyi ketukan pintu rumah didengarnya begitu lantang. Tiwi mengernyitkan kening kemudian beranjak kembali ke ruang tamu.
Ketukan bagai tak sabar dan semakin keras. Dengan raut wajah jengkel, Tiwi membuka selot pintu. Belum sampai dia manarik pintu, pintu tersebut di dorong dari luar dengan keras. Tiwi terdorong hingga mundur beberapa langkah.

Dia membeliak kaget sekaligus takut ketika muncul Hasna masuk bersisian dengan juragan Karta.

“A—ambu ….”

***

Bubuy bulan
Bubuy bulan sangray bentang
Panon poe, panon poe disasate
Unggal bulan, unggal bulan abdi teang
Unggal poe, unggal poe oge hade
Situ ciburuy
Laukna hese dipancing
Nyeredet  hate ningali ngeplak caina
Duh eta saha, nu ngalangkung unggal enjing
Nyeredet hati ningali sorot socana

Gugun mendengar nyanyian dari salah satu pekerja pembuat anyaman bambu milik haji Kosim. Hatinya tiba-tiba resah. Sang istri sangat menyukai lagu ini. Setiap malam, sebelum tidur, Tiwi selalu mendendangkan lagu tersebut. Dan Gugun sangat menikmati suara merdu istrinya.
Namun sekarang, mendengar lagu itu perasaannya tiba-tiba kacau. Entah mengapa, dia secepatnya ingin pulang. Jantung Gugun berdegub kencang. Keringat dingin membasahi telapak tangan.

“Kamu kenapa, Gun?” Haji Kosim yang melihat tingkah aneh kusirnya tersebut langsung bertanya. Cerutu di tangan kanan Pak Haji mengepul dengan bau tembakau yang kuat.

“Anu pak haji, saya … saya kepikiran Tiwi. Perasaan saya aneh, tiba-tiba saja resah.”

Haji Kosim menempelkan kembali cerutu tersebut di bibirnya, menghisap dalam-dalam lalu mengembuskan asap dengan pelan.

“Nggeus balik wae atuh, bising aya nanaon.” (Sudah pulang saja sana, khawatir terjadi apa-apa.)

“Bo, boleh? Boleh saya pulang, Pak Haji?”

Haji Kosim mengangguk lalu mengambil sepotong pisang goreng.

Setelah mendapat persetujuan, Gugun langsung berlari ke arah delman dan secepat mungkin mengendarainya. Rasa cemas begitu melanda, hingga dia pun tak menghiraukan panggilan teman kerjanya yang menyapa.

“Tiwi …,” sebutnya tak sadar.

***

Tiwi menjerit ketika juragan Karta menarik rambutnya lalu kembali membanting wanita itu ke ranjang. Di luar rumah, Hasna mengepalkan tangan. Dia tak kuasa mendengar jeritan Tiwi. Namun, dia juga tak berdaya.

Hasna mondar-mandir di halaman rumah Gugun. Meski di sini berdekatan dengan tetangga. Mereka tak ada yang berani keluar jika juragan Karta tengah berbuat kebejatan. Semuanya takut, bahkan pamong kampung tak ada yang berani menghentikan tindakan sang juragan.

“Bodoh, kenapa dia tak menerima saja,” geram Hasna. Hatinya panik juga tak tega, tetapi dia tak punya cara lain.

Suara benda dibanting kembali terdengar. Kali ini benda pecah belah. Hasna gemetar dan beranjak ke arah pintu. Namun, dia dicegat oleh dua penjaga juragan Karta. Hasna kembali mundur. Rasa menyesal mulai menyelusup ketika raungan tangis Tiwi terdengar.

“Aku, aku … aku ingin berbicara dengan juragan,” sahut Hasna.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Bu Hasna kan sudah menyetujui perjanjian ini,” kata salah satu penjaga tersebut.

Hasna mengepalkan tangannya yang terasa dingin. Jeritan Tiwi kembali terdengar kali ini suara pukulan terdengar jelas membuat Hasna terbelalak.

“Aku harus masuk, aku ….”
“Mundurlah, jika juragan selesai dengan urusannya, dia akan keluar, dan kalian bisa bicara.”

Hasna mengusap wajahnya. Tangan wanita paruh baya itu gemetar. Dia tak tahan dengan jeritan Tiwi di dalam sana, akhirnya Hasna menjauh sambil menutupi telinganya rapat-rapat.

Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Hasna segera berbalik, menyongsong juragan Karta yang tengah memakai kemejanya tergesa-gesa. Ada noda darah di dada dan tangan. Dia terlihat kacau, pandangannya ketakutan. Tanpa menghiraukan Hasna yang menghadangnya, Juragan Karta menepis mundur wanita itu.

“Juragan … Juragan!” Hasna memanggil, lalu menggenggam tangan juragan Karta.

Juragan Karta menepis hingga lepas, Hasna tersuruk ke tanah.

“Aku tidak membunuhnya! Dia membunuh dirinya sendiri,” ucapnya kasar sambil mendelik tajam.
Setelahnya dia bergegas ke arah jeep hitam dan langsung diikuti anak buahnya.

Hasna masih tak paham dengan perkataan juragan Karta. Dia kemudian menoleh ke arah pintu rumah yang terbuka. Hatinya kalut juga takut.

Ketika dia mencoba mencerna kata-kata sang juragan, wajahnya memucat. Hasna menggelengkan kepala, dia tertatih bangun dengan tubuh gemetar. Wanita itu mendekat ke arah pintu yang terbuka, tampak kekacauan melanda. Barang-barang pecah belah berserakan, pun meja dan kursi yang berpindah tempat. Sepertinya Tiwi memang melawan dengan keras.

Kaki Hasna gemetar, dia masuk perlahan, memindai segala sudut ruangan rumah kecil itu. Hingga pandangannya menumbuk pada sosok tubuh berlumur darah yang menancap pada tiang kayu penyangga rumah. Hasna membekap mulutnya. Air mata berlinang menyekat teriakan yang tak bisa dia gaungkan.

Hasna luruh ke lantai, terisak tanpa suara. Dia meraung dalam diam, merutuk dirinya sendiri. Sedang di ujung ruangan. Tubuh tiwi tertancap dengan parang besar yang menancap dadanya. Mata wanita itu terbuka, menyiratkan rasa sakit dan tak berdaya. Sudut bibirnya mengalirkan darah membentuk dua aliran.
Gaun cream yang dikenakannya telah ternoda darah dari berbagai sisi. Terkoyak hingga memperlihatkan bekas tebasan yang mengalirkan darah.

Hasna berusaha mengumpulkan kekuatan, dia bergerak tertatih, berharap meminta bantuan para tetangga. Namun, ketika berbalik, dia mendapati sosok Gugun berdiri kaku. Mata Gugun membeliak, memerah karena tangis yang tertahan. Bibir pria itu bergetar, menyebut-sebut nama sang istri hampir lirih.

“Tiwi … Tiwi ….”

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro