Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pelayat terakhir meninggalkan tanah pemakaman Tiwi beberapa saat lalu. Hembusan angin sore menyapu kulit Gugun. Dingin. Namun, pria itu tak merasakannya sama sekali. Dia terpekur memeluk nisan dengan goresan nama Pertiwi Sukma binti Zubaidi.

Seakan keheningan kuburan ini tak menakutkan baginya. Sedang matahari telah terbujuk senja bergantian dengan bulan sabit yang mengintip samar pada celah awan. Samar suara serangga hutan mulai meramaikan waktu tanda maghrib menjelang. Namun, Gugun masih saja memegang erat nisan.

Jiwanya terasa kosong. Bahkan bujukan pelayat-pelayat yang tak seberapa banyak tadi, tak mampu ia dengar.

Tangan pria itu kembali mengelus nisan. Pandangan mata kosong menatap taburan bunga di tanah yang terlihat masih basah. Tak ada air mata, tetapi obsidian matanya memerah.

Tak jauh dari kuburan Tiwi, di pintu masuk pemakaman, dua orang memperhatikan Gugun. Elis dan Wardi, terlihat menyusut air mata mereka berkali-kali.

Kang … geura atuh bujuk si Gugun, kasihan atuh Neng Tiwi mun manehna di ditu terus. Pamali, Akang!” Elis kembali mengusapkan kain kerudung hitamnya ke pipi.
(Kang ... ayo bujuk si Gugun, kasihan atuh Neng tiwi kalau dianya di situ terus. Pamali, akang!)

Wardi memandang Gugun kembali. Setelah mengusap air matanya hingga kering, dan memastikan tak ada bekas kesedihan itu, dia melangkah mendekati Gugun.

“Gun, hayu balik Gun. Karunya ka Neng Tiwi, engke teu tenang di dituna. Hayuk, Gun, balik ya ….” Tangan Wardi menepuk-tepuk bahu Gugun. Gugun bergeming, tangannya masih mengelusi nisan.
(Gun, ayo pulang, Gun. Kasihan ke Neng Tiwi, nanti nggak tenang. Ayo pulang ya Gun.)

“Gun …, atos sareup iyeu teh, hayu balik Gun. Gugun, nyaah pan ka Neng Tiwi?”
(Gun ..., sudah wayah maghrib ini tuh, ayo pulang Gun. Gugun sayang kan ke Neng Tiwi?)

Seolah kata-kata bujukan itu tak ia dengar, Gugun masih terus bergeming. Elis yang melihat Gugun masih tak beranjak, segera datang dan ikut membujuk.

“Gun, kasihan sama Neng Tiwi kalau Gugun seperti ini. Biarkan Neng Tiwi tenang, Gun. Gugun pulang ya, bersihkan diri, kirim doa kangge Neng Tiwi.”

Kelopak mata Gugun berkedip beberapa kali. Air mata yang tertahan, akhirnya mengalir begitu saja. Wardi memapah Gugun, membantunya berdiri, perlahan mereka bertiga meninggalkan pemakaman.

Sunyi. Hanya angin yang pelan berhembus, menggiring saltasi butiran tanah, meniup kelopak-kelopak bunga yang bertaburan di makam Tiwi.

***

Malam menjelang. Selepas tahlilan hari pertama yang hanya dihadiri enam orang. Gugun duduk termenung di halaman rumahnya. Suasana yang dingin tak membuat pria itu menggosok kulit. Sedangkan kabut gunung telah turun hingga mengaburkan jalanan kampung Cirembang.

Elis dan Wardi mengelap tangan mereka setelah membereskan piring dan gelas. Keduanya tetangga belakang Gugun. Mereka menatap punggung Gugun yang terlihat kesepian.

“Abi teh nyesel, Kang. Naha siang tadi teh, abi teu aya di bumi,” sahut lirih Elis sambil meletakkan tangannya di dada. (Aku menyesal, Kang. Kenapa siang tadi, aku nggak di rumah.)

“Lis, mun siang tadi di dieu, Elis berani ngalawan juragan Karta? Elis yakin, bukan kita yang bakal jadi korban?” Wardi menjawab sambil berbisik. Tak munafik, kejadian yang menimpa Tiwi membawa ketakutan sendiri bagi warga kampung. Namun, mereka tak berani melawan centeng-centeng juragan Karta yang terkenal kejam.

“Kasihan Gugun, Kang.” Elis mengusap air matanya kembali.
Wardi memandang punggung sepi Gugun. Semenjak pemakaman Tiwi, Gugun tak mengatakan satu ucap kata pun. Hanya ketika harus mengadzani jenazah Tiwi yang dimasukkan ke liang lahat lah pria itu mengeluarkan suara. Setelahnya, bahkan tangisnya pun tak terdengar.
Tetangga-tetangga tak ada yang berani bertandang. Hanya keluarga Wardi, Kyai Salim, Haji Kosim dan beberapa pekerjanya yang membantu mengurus jenazah Tiwi.

Bagi warga di sana, siapa pun yang berurusan dengan juragan Karta, jangan berani membela, atau mereka akan kehilangan mata pencahariannya. Bagi mereka, berurusan dengan sang juragan merupakan momok yang bisa mematikan.
Hal itu pula yang membuat warga desa tak berani melaporkan kejadian pembunuhan Tiwi kepada polisi. Ketika Wardi dan Elis berniat melaporkan pada pihak berwajib, tiba-tiba saja salah satu utusan Juragan Karta datang dan memperingatkan mereka.

Di samping letak kampung Cirembang memang jauh dari kantor polisi terdekat, jalanan dan kendaraan yang tidak memadai pun menjadikan kendala. Butuh beberapa jam untuk sampai ke kecamatan.
Pada akhirnya, harapan Gugun pupus untuk meminta keadilan. Semua saling berkaitan pada kesejahteraan keluarga yang lain.

“Gun, udah atuh terima lapang dada ya, Gun. Teteh tahu kamu terluka, sedih, tapi … Teteh dan Kang Jana gak berani kalau harus ngelawan juragan. Kamu tahu ‘kan, Gun, Kang Jana kerja di ladang juragan Karta. Kalau dia dipecat, kami dapat uang dari mana? Sedangkan ponakan-ponakan kamu masih kecil, Yuni juga baru masuk SD, kami butuh biaya.”

Itu yang Gugun dapatkan kala dia meminta bantuan kakak semata wayangnya. Dia tak tahu harus bepegang pada siapa, bahkan Haji Kosim tak mau menerima resiko keributan besar hanya demi membela kusirnya.

Tiga hari berlalu sejak kematian Tiwi. Gugun menghabiskan waktunya untuk bolak-balik mengunjungi kuburan istrinya. Bahkan warga desa merasa takut dengan tingkah Gugun yang sering tidur di samping makam Tiwi.

Para peronda malam, berturut-turut berpapasan dengan Gugun yang memasuki tanah pemakaman dengan lampu cempor, kemudian duduk di sisi kuburan Tiwi. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala, menganggap Gugun telah gila.

***

Hasna memeluk dirinya sendiri. Kembali tergugu ketika bayangan kematian Tiwi terus-menerus berkelebat dalam ingatan. Dia menggigit bibir menahan gigilan. Perasaan yang campur aduk. Takut, bimbang, juga menyesal.

Mata Tiwi yang membelalak pada saat kematiannya, seakan menghakimi Hasna akan dosa yang tak bisa dia hapus. Mengingat darah merah yang melumuri tubuh anaknya, Hasna tak tahan lagi. Dia memejamkan mata sambil terisak kuat.

“Ambu menyesal, Wi. Ambu menyesal!!” teriaknya dalam tangis. Kepala wanita itu menggeleng-geleng kuat.

Mengapa dia melakukan ini?
Dia tak pernah berniat membunuh anaknya. Dia hanya ingin mendisiplinkan Tiwi agar menuruti ucapannya. Hasna ingin anaknya hidup bahagia bergelimang harta. Hasna hanya ingin Tiwi meninggalkan Gugun. Bukan ini yang dia inginkan.

“Juragan, juragan ….” Seakan tersadar sesuatu, Hasna menghentikan tangisnya. Ia berdiri sempoyongan, lalu memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ketika emosinya sedikit tenang, ia lalu beranjak keluar rumah menuju rumah besar juragan Karta.

Rumah besar itu tak jauh dari tempat Hasna. Hanya melewati dua bentang ladang, ada jalan besar yang telah dilapisi aspal. Dia harus menuntut penjelasan juragan Karta. Dia tak bisa membiarkan ini semua begitu saja. Kalau tidak, Tiwi mungkin akan semakin menyalahkannya.

“Juragan!” teriak Hasna, “juragan Karta!”

Para pekerja juragan Karta yang tengah mengerjakan pekerjaan mereka seketika menengok, ingin tahu siapa yang bertiak lantang di halaman depan.
Hasna menaiki undakan tangga kecil yang mengarah ke teras. Di sana berdiri istri kedua juragan Karta yang menatap Hasna ketakutan. Hasna datang dengan kondisi kacau. Rambut awut-awutan serta mata memerah karena tangis.

“Cepat panggil Bapak!” perintah Murni pada salah satu pembantunya. Tak menunggu diperintah dua kali, abdi setianya langsung masuk ke dalam.

Murni mundur beberapa langkah ketika Hasna mendekat. “Mau apa kamu? Jangan dekat-dekat!”

“Ke mana juragan Karta? Mana dia? Dia harus tanggungjawab pada Tiwi. Dia membunuh anakku!”

“Idihh … tos gelo meureun nya, dongkap kadieu teh jejeritan.”
(idih, udah gila kali ya, datang ke sini kok jerit-jerit.)

“Heh! Mana juragan Karta!” Hasna kembali berteriak. Hingga istri juragan karta itu kembali mundur lalu berbalik masuk ke rumah. Hasna hendak mengejarnya ketika Mandor Amin yang disusul juragan Karta keluar dari rumah.

“Heh Hasna! Naon maneh teh, gawe ribut di imah batur?” Mandor Amin pasang badan di depan juragan Karta yang memegangi cerutunya.
(Hei,Hasna! Kamu kenapa bikin ribut di rumah orang?)

“Juragan! Juragan!” Hasna menjerit sambil menangis. Dia mendesak ingin mendekat, tetapi mandor Amin mendorongnya hingga tersungkur ke tanah.

“Ai sia teh teu ngadengekeun urang, hah?”
(Kamu tuh nggak dengerin saya, ya?)

“Juragan … tolong juragan, anakku mati sia-sia, tolong tanggung jawab atas kematian Tiwi,” isak Hasna sambil menangkupkan telapak tangan. Air matanya mengalir hingga menetes ke dagu. Namun, juragan Karta hanya diam dan sibuk menghembuskan asap cerutunya.

“Kamu minta saya tanggungjawab atas kematian Tiwi?” juragan Karta terkekeh,“Memangnya kamu lihat saya ngebunuh Tiwi?”

“Jangan macam-macam kamu, Hasna! Nuduh sembarangan teh pamali!” Mandor Amin kembali bersuara.

Juragan Karta melangkah menuju Hasna. Wanita itu menangis tergugu. Pikirannya dangkal hingga dia berani merangsek ke dalam halaman rumah sang juragan. Sekarang, setelah ucapan mandor Amin, itu mengingatkannya bahwa dia tak punya kekuatan apa-apa untuk menuntut juragan Karta.

“Am—ampun Juragan, aku tak bermaksud kurang ajar.”
Juragan Karta menghisap cerutunya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan.

“Kita memang akan jadi gila kalau anak kita mati begitu saja, saya paham akan hal itu.” Juragan Karta menyunggingkan senyum dingin.

“Amin,” seru juragan Karta.

“Ya, Juragan.”

“Ladang di perbatasan Haji Kosim, berikan pada Hasna. Oh, ya, utang-utang dia yang dulu juga anggap lunas. Ini supaya Tiwi, anakmu itu, tidak menyalahkanmu nanti.”

Bahu Hasna terlihat gemetar. Dia tak berani menatap sang juragan. Hanya terdengar percakapan Amin dan majikannya itu yang sayup-sayup terdengar membicarakan soal kompensasi. Hasna memejamkan mata.

Di bawah pohon akasia, seberang jalan rumah juragan Karta, pandangan Gugun begitu suram dan dingin. Tangannya mengepal hingga terlihat urat-urat bertonjolan.

***

Maghrib menjelang ketika Hasna tertatih pulang ke rumahnya. Rumah begitu gelap tanpa penerangan sama sekali. Dia membuka pintu dengan gontai. Tak bertenaga meski untuk menutup kembali. Akan tetapi, matanya kemudian terbelalak saat melihat bayangan seseorang yang berdiri di kegelapan.

Ckres!

Korek api batang disulut oleh sosok yang berdiri itu, lalu segera menyalakan lampu cempor yang menempel di tembok. Sesudahnya, Gugun meniup sisa api pada batang korek. Lampu yang terang menrangi ruang tamu, Hasna jelas melihat Gugun yang menatapnya dengan dingin.

“Kamu, kenapa kamu di sini?”

Hasna mungkin sedih dengan kematian Tiwi. Namun, terhadap Gugun, perasaan bencinya tak pernah berubah. Semua yang menimpa Tiwi berkaitan dengan pria ini.

“Keluar kamu! Cepat keluar, sana!”

“Ambu,” ucap Gugun sambil menatap ibu mertuanya. Hasna terlihat kacau, tetapi kebencian di mata ibu Tiwi ini tak pernah surut.

“Ambu, kan yang membawa juragan Karta ke rumahku saat itu? Ambu yang memaksa Tiwi bertemu juragan Karta?”

Hasna tak menjawab pertanyaan itu. Dia melengoskan wajah, lalu berkata, “Aku tak menerimamu di sini, pergilah! Dulu ketika Tiwi masih hidup, atau sekarang, bagiku, kau bukan menantuku.”

“Mengapa? Mengapa Ambu membunuh Tiwi?”

“Bukan aku yang membunuhnya! Kau! kau yang menyebabkan Tiwi mati. Jika dulu kau tak mendekati anakku, kau tak menikahinya, Tiwi masih hidup sekarang ini.” Hasna melotot. Rasa bersalah, tak berdaya, benci, ia tumpahkan pada Gugun yang hanya diam menatapnya tanpa emosi.

“Benar. Kaulah penyebab Tiwi meninggal. Pergi kamu! Pergi!” Seakan kesetanan, Hasna mendorong dan memukuli tubuh Gugun. Melampiaskan rasa bencinya pada hal-hal yang berkaitan dengan kematian Tiwi. Proyeksi akan dosa yang sebernarnya menghantui.

“DIAM!!!” Gugun menjerit lalu balik mendorong Hasna hingga wanita paruh baya itu menabrak tembok.
Napas Gugun tersengal menahan amarah yang meluap. Dia mendekat lalu mengambil golok yang terselip di belakang pinggangnya. Hasna terbelalak. Dia melihat kesungguhan di dalam pandangan Gugun.
Gugun ingin membunuhnya.

“To—tolong!!!”

“Tolong!!!”

Hasna menjerit keras lalu berlari keluar rumah. Jeritannya membuat tetangga keluar satu persatu. Hasna berlari sambil meneriakan bahwa Gugun ingin membunuhnya.

Tetangga bertandang dan langsung menghentikan Gugun yang akan mengejar Hasna.
Gugun diringkus oleh para tetangga Hasna. Menjerit-jerit antara kebencian dan frustasi. Jeritannya menyayat hati. Tangis seorang lelaki yang putus asa menahan lara.
Dia menjeritkan nama Tiwi kemudian menangis dengan raungan pilu.

***

Juragan Karta mondar-mandir di kamarnya. Terlihat cemas, bahkan jemari tangannya pun gemetar. Murni istrinya berdecak kesal lalu dengan tak acuh menyelimuti diri mengabaikan sang suami.

Sang juragan kemudian mengambil kemejanya. Tergesa-gesa dia mengancingkan kemeja, lalu keluar begitu saja tanpa pamit pada sang istri.

“Dang! Dadang! Kadieu!”

“Iya, juragan, aya naon?” Dadang menghampiri juragan Karta yang melambaikan tangan tergesa-gesa.

“Kita pergi ke rumah Aki Miun.”
Juragan Karta terlihat tergesa-gesa. Malam berkabut, dingin dan mendung. Semakin membuatnya gelisah akan sesuatu.

Melihat majikannya tak ingin menunda waktu, empat orang lainnya segera mengikuti sang juragan. Tak lama kemudian, jeep hitam itu melaju membelah malam menuju rumah kecil yang berada di bawah bukit.

Rumah dengan cahaya remang. Api dalam lampu cempor bergoyang-goyang tertiup angin gunung. Orang harus membuka mata lebar-lebar untuk melintasi jalan ke halaman rumah. Tingginya rumput ilalang menambah kesan suram dan misteri pada rumah tersebut.

Juragan Karta menggosok kedua telapak tangan sebelum mengetuk pintu. Ketukan tiga kali, lalu dia memanggil nama sang empunya rumah. Pintu terbuka menampakan kegelapan di dalamnya.
Menghela napas pelan, juragan Karta kemudian masuk tanpa ditemani anak buahnya.

“Ki,” sapa juragan Karta sambil menghaturkan sembah.

Aki Miun hanya sekilas menatapnya sebelum kembali menatap keris yang sedang ia mandikan.

“Kau ketakutan, Karta.” Itu bukan pertanyaan. Aki Miun terkekeh.

Juragan Karta menggosok hidungnya.
“Aki, beberapa hari ini saya selalu mimpi buruk. Dia, si Tiwi itu selalu masuk ke mimpi. Bahkan jimat darimu juga tak mempan untuk mengusirnya dari mimpi.”

“Heum ….” Aki Miun mengambil kerisnya perlahan, kemudian mencelupkan benda tersebut pada tempayan kecil berisi air dan bunga tujuh rupa. Seketika air dalam tempayan berbuih halus lalu mengeluarkan kabut putih.

“Pertiwi,” sebut Aki Miun. Kemudian dukun itu terkekeh pelan memperlihatkan giginya yang menghitam.

“Selasa kliwon, tepat tujuh hari dia meninggal, kita akan memenjarakan arwahnya.”

Ada raut cemas pada wajah juragan Karta. “Tapi … kuburannya selalu dijaga oleh suaminya, Ki.”

“Heh? Kau takut pada suaminya?”
Juragan Karta menggeleng. Aki Miun menatap kerisnya kembali.

“Kau tahu, apa yang harus dilakukan, Karta!”

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro