Dua - Air Tenang Menghanyutkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kadang apa yang kita kira bukan ancaman bencana, ternyata adalah kenyataan berwujud bencana itu sendiri." Pembimbing Anak Magang yang cemas.

Di rumahku, hari minggu ditetapkan sebagai hari keluarga. Apa pun yang terjadi, kami akan berkumpul. Jadi aku tidak bisa pergi-pergi seenaknya. Apalagi kakakku hanya akan pulang di akhir pekan setelah dia menikah.

Aku tidak pernah keberatan tentang peraturan ini. Pertama, kakakku selalu membawa oleh-oleh makanan atau barang yang kusuka. Kedua, hari minggu di rumah akan lebih berwarna dengan kehadiran keponakan kecilku yang berusia satu tahun.

Rai, keponakanku yang menggemaskan itu masih berjalan seperti robot. Aku tertawa sambil bermain dengannya sebentar sebelum mama menginvasi waktu bermain kami. Berhubung aku mau sesi curhat dengan Kak Ola, kurelakan mama membawa Rai.

"Mereka mengerikan, Kak. Gue nggak bisa tahu gimana jalan pikiran anak-anak zaman sekarang!" seruku berapi-api setelah memastikan Mama tidak ada di ruangan. Salah satu hal yang paling tidak mama sukai adalah panggilan gue-lo yang diucapkanku saat bersama dengan kakak. Jadi ini seperti rahasia antara kami berdua.

Kakak hanya tertawa mendengar ucapan penuh emosi itu. Dia mengacak rambutku lalu menyodorkan sepiring cheesecake. Sementara aku menerima piring sambil cemberut dan merapikan rambut dengan satu tangan. Kakakku, Faola Serafina, memiliki rambut bergelombang yang mirip denganku. Bedanya rambutnya begitu halus dan indah sementara milikku selalu berantakan.

"Ucapan lo kaya udah umur ratusan tahun, Dek," ucap Kak Ola sambil duduk di beanbag hijau yang ada di pojok ruang keluarga.

"Dih! Kakak, nih. Serius, Kak. Gue nggak bisa paham deh pola pikir mereka. Maunya yang happy-happy terus." Mulutku semakin cemberut saat ingat bagaimana tingkah ketiga anak magang itu.

Kak Ola menyendok cheesecake bagiannya sambil mengulum senyum. Aku baru saja bercerita tentang kejadian pertama saat para anak magang baru datang. Saat itu mereka masuk ke dalam ruangan meeting bulanan seluruh tim dan langsung menjadi perhatian seluruh karyawan.

Salah satu anak magang, perempuan bernama Aileen yang sudah pasti akan menarik perhatian para kaum lelaki di kantorku. Dia masih muda dan ada sesuatu yang membuat kita betah untuk menatap wajahnya. Pipinya merona merah jambu dan kacamata yang digunakan anak itu serasi dengan wajah mungilnya. Suasana rapat yang memang biasanya dibawakan secara serius namun santai diselingi dengan beberapa pertanyaan kepada para anak magang termasuk nomor ponsel mereka saat sesi perkenalan.

Hatiku cukup senang saat memperhatikan gadis itu menjadi salah satu tanggung jawabku. Sikapnya yang tenang pasti tidak akan terlalu merepotkan. Itu adalah pikiran yang jelas amat sangat salah. Dua menit setelah sesi perkenalan berlangsung, tiba-tiba saja Ai berbicara.

"Maaf ya, Kak. Sebenarnya apakah ada fungsi lain dari acara ini selain perkenalan yang hanya menyebutkan nama? Dari tadi saya menunggu apakah ada informasi penting seperti job desk atau apapun hal yang lebih penting dari sekedar meminta nomor ponsel anak magang." Ucapan sarkastik dengan nada tenang itu keluar begitu saja dari mulut Ai.

Bisa kurasakan ruangan langsung sunyi seketika dan pandangan menusuk mulai diarahkan kepadaku. Sebagai penanggung jawab anak magang, tentu aku dituntut untuk bisa mengatur mereka.

"Job desk dan hal lain terkait pekerjaan, akan saya sampaikan setelah makan siang, Aileen. Sesi perkenalan di akhir rapat ini memang belum berbicara tentang pekerjaan. Oh ya, untuk menyambut kedatangan kalian, kita akan makan siang bersama setelah ini," ucapku dengan nada ramah.

"Baiklah. Oh, silakan panggil Ai saja. Aileen terlalu panjang dan aneh." Ai mengucapkan kata baiklah dengan nada bosan yang membuatku langsung mendapat firasat kalau menjadi pembimbing anak magang, mungkin tidak akan semudah yang kubayangkan.

Belum cukup dengan itu, setelah nada bosan Ai menghilang dari udara, suara tawa memecah keheningan. Aku melihat dengan tajam ke arah laki-laki dengan rambut ditata gaya pompadour yang tertawa.

"Kurasa anak-anak ini menyenangkan. Selera humor mereka, bolehlah," ujar laki-laki itu dan tawanya disambut yang lain.

Aku hanya bisa menatap laki-laki itu. Baron Diraja, salah satu laki-laki yang disebut Ela sebagai, most available man di kantor ini. Baron menjabat sebagai Strategic Officer dengan peranan besar di La Beauté. Orang-orang bilang ide Baron selalu brilian dan tidak pernah terpikirkan oleh kompetitor. Tahun lalu bahkan strategi yang dijalankan oleh Baron membuat La Beauté meraih penghargaan sebagai perusahaan kosmetik nomor satu di Indonesia.

Baron mengedipkan mata padaku. Namun, belum sempat aku bicara, terdengar pertanyaan anak magang laki-laki bertubuh kurus bernama Ahmad Jaelani yang lebih suka dipanggil Mamet.

"Kak, Ini kan hari pertama kita. Berarti setelah kenalan dan makan siang, kita boleh pulang, ya?"

Kak Ola terbahak saat aku bercerita dengan meniru gaya suara Mamet yang bertanya. Aku hanya menghela napas. Rasanya kejadian itu baru saja terjadi kemarin.

"Terus lo jawab apa?" tanya Kak Ola masih tertawa.

"Ya jawab nggak bolehlah. Semua kira itu cuma bercanda, tapi kan gue langsung punya firasat kalau perjalanan bersama tiga anak magang ini bakal berliku-liku," sungutku lagi sambil menyendok cheese cake lalu mendesah pelan. Sumpah! Dari sekian banyak makanan hanya cheese cake yang bisa menenangkan hati.

Aku meneruskan cerita sampai pada permintaan mereka untuk permainan di kantor. Kak Ola tertawa ketika mendengar cerita ini. Apalagi saat mereka mencoba memaksaku untuk membuat proposal mengenai permintaan tersebut lebih dulu.

"Terus lo bikin proposal?" Kak Ola mengulum sendok kecil yang berisi potongan cheese cake terakhirnya.

"Ya belum. Nanti-nanti saja. Gue udah bilang kalau lihat kinerja mereka dulu. Ya, masa baru tiga hari kerja udah minta macam-macam."

Kak Ola mengangguk-angguk. Menurutnya itu hal yang masuk akal. Tidak baik kalau aku langsung menuruti permintaan mereka tanpa mempertimbangkan kinerja. Aku berdiri, mengambil piring dari tangan Kak Ola lalu berjalan ke dapur.

Mama selalu mengajarkan pada kami untuk tidak menunda pekerjaan. Jadi, aku langsung menyalakan keran air untuk mencuci piring kotor yang baru saja digunakan. Kakakku membuntuti lalu berdiri di sampingku untuk menerima piring yang baru saja dicuci.

Sejak kecil, kami selalu bekerja sama dalam pekerjaan rumah tangga. Bila aku mencuci piring, maka Kak Ola akan mengeringkan. Hal yang paling kurindukan setelah kakakku menikah adalah mengobrol dengannya sambil bekerja.

"Dek, lo tahu kalau lo itu pekerja yang baik?" tanya Kak Ola tiba-tiba setelah selesai mengeringkan piring. Aku mencuci tangan dan mengeringkannya sambil mengangguk tidak paham dengan arah pembicaraan dari curhat ke tiba-tiba pekerja yang baik.

"Seorang pekerja yang baik, tidak akan menyerah saat mendapat sedikit masalah. Anggap saja, mengerti tentang kepribadian anak-anak asuh lo itu salah satu tantangan yang harus ditaklukin."

"Amit-amit mereka jadi anak asuh," semburku cepat.

Kak Ola tertawa mendengar ucapanku. Matanya menyipit dengan pipi memerah saat tawa membuncah. Faola Sarafina, kakakku itu memang cantik. Tetapi dia paling cantik kalau tertawa seperti ini.

"Lo inget-inget aja, Dek. Mereka itu tantangan bukan batu sandungan."

Kalimat Kak Ola di akhir pekan itu menghantuiku sampai hari senin tiba. Dulu aku tidak pernah mempermasalahkan hari senin. Tetapi sekarang rasanya senin adalah hari termalasku untuk berangkat kerja.

Ruangan Operations, dibagi menjadi beberapa bagian. Tahun ini, tempat kerjaku terpisah dari yang lain. Terdiri dari tiga meja panjang dengan sekat-sekat transparan semi-permanen. Kukuatkan hati untuk mengusir rasa malas dan melangkah masuk ke dalam ruang kerja.

Pagi ini ruang tempat bagianku bekerja masih sepi. Hanya ada seorang anak bertubuh mungil dengan rambut cokelat bergelombang dan pipi merona alami yang sedang sibuk mengutak-atik laptopnya. Sekilas dia seperti anak SMU menunggui orang tuanya yang sedang bekerja karena terlihat sangat muda.

Aku menghela napas. Anak itu bisa saja terlihat mungil dan muda, tapi otaknya luar biasa brilian dan mulutnya luar biasa sarkastik. Gadis itu menoleh saat melihatku masuk setelah mengetuk dua kali pada daun pintu yang terbuka lebar. Kami terbiasa membuka pintu saat bekerja karena rasanya menyesakkan bekerja di ruangan kecil dengan jumlah orang sedikit. Setidaknya pintu yang terbuka memungkinkan kami melihat orang lalu lalang.

"Tumben, Kak. Ini baru jam delapan. Biasanya selalu datang jam setengah sembilan." Gadis dengan pipi rona merah jambu itu tersenyum.

Jam kerja di kantorku memang baru dimulai pada pukul sembilan pagi. Seperti kata gadis itu, aku memang biasa datang tepat waktu tapi tidak terlalu pagi seperti saat ini. Aileen Kusuma, salah satu anak magang yang menjadi tanggung jawabku ini berusia 21 tahun. Selain kesukaannya melontarkan kata-kata di luar ekspektasi, hobinya pun luar biasa. Membaca buku dengan bahasa paling rumit di dunia, bahasa pemrograman. Aku bahkan tidak dapat memahami satu pun isi buku yang sering dibacanya.

"Hari ini ada rapat mingguan. Aku mau ngerjain tugas harian sebelum nanti ngecek kemajuan project kalian," jawabku pelan sambil tersenyum. Kalau ini adalah tantangan seperti kata Kak Ola, mungkin senyum bisa menjadi salah satu senjata.

Setiap awal minggu, para anak magang memang harus menyerahkan laporan proses kemajuan project. Itu sebabnya aku datang lebih pagi. Setidaknya aku tidak harus lembur untuk mengerjakan tugas harian.

"Kak, yakin baik-baik aja? Ini kakak baru senyum, lho. Biasanya kan datar dan licin kaya perosotan TK. Wow! Apakah hari ini akan hujan badai?"

Sudah kubilang, kan? Gadis ini sungguh pandai memilih kata sarkastik. 

***

Catatan peribahasa:

Air Tenang Menghanyutkan = orang yang pendiam biasanya memiliki banyak pengetahuan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro