Lima Belas - Belum Mengajun Sudah Tertarung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang membuat debaran jantung menggila sepuluh kali lipat?" - Pembimbing Anak Magang yang sedang terkejut.

Aku nyaris berdiri selama delapan jam belakangan. Workshop yang dihadiri banyak beauty blogger ini berlangsung dengan lancar. Beberapa wartawan yang datang untuk meliput acara terlihat duduk dan menikmati coffee break yang disediakan oleh pihak hotel. Kuperbaiki letak tas selempang, sambil berjalan ke arah belakang tempat acara.

Biasanya saat mengawasi acara berlangsung, aku mengenakan tas selempang yang berukuran sedang untuk membawa barang-barang. Ini lebih praktis saat membawa barang sekaligus tidak berat.

Timon berjalan ke arahku sambil memberikan botol minuman ionisasi dingin. Kuterima botol itu dengan rasa terima kasih. Temanku itu datang untuk mengecek keadaan dan menginformasikan kalau persiapan seminar berjalan dengan baik. Seminar memang diadakan setelah workshop karena kami juga memberi diskon untuk pembelian tiket bagi peserta workshop yang ingin mengikuti seminar.

"Lo capek, Cass? Mau lihat persiapan seminar? Dokter yang akan jadi pembicara sudah datang. Kenalan, yuk! Pak Tono bisa bantu awasi di sini," ajak Timon.

Pak Tono mengangguk dan langsung berkata kalau dia bisa mengawasi jalannya workshop selama aku melihat persiapan seminar dan berkenalan dengan dokter kecantikan yang akan menjadi pembicara. Kami berdua berjalan menuju ruang seminar sambil mengobrol. Bersama Timon, rasanya ada banyak hal yang dibicarakan meskipun dia lebih sering mengisengiku.

Seminar akan diadakan di ruang pertemuan dengan kapasitas 500 orang. Aku bisa melihat beberapa orang mengecek suara, lampu, dekorasi dan layar besar. Seorang perempuan bertubuh semampai dengan rambut hitam panjang lurus sedang tertawa bersama Baron. Mereka berdiri menghadap panggung sehingga tidak menyadari kedatangan kami.

"Kamu masih terapi, Ron? Sudah lebih lancar?" tanya sang perempuan sambil menyelipkan seberkas rambutnya ke belakang telinga. Suara perempuan itu lembut sekaligus renyah. Seperti sedang makan oreo yang manis.

"Masih. Sekarang sudah sebulan sekali. Aku lebih lancar dalam memahami tulisan sekarang." Baron berkata tenang sementara perempuan di sampingnya berdecak kagum.

"Kurasa kamu sangat bekerja keras." Perempuan itu baru akan melanjutkan ucapannya ketika menyadari kehadiran kami.

Perempuan berambut panjang itulah dokter kecantikan yang akan menjadi narasumber dalam seminar nanti sore. Namanya dokter Vida dan dia ternyata teman sekolah Baron. Aku tidak tahu kalau laki-laki itu dibesarkan di Surabaya. Baron hanya tersenyum sambil mengatakan kalau dia hanya sempat tinggal dua tahun di kota ini.

Setelah mengobrol sebentar, aku meminta izin untuk kembali ke ruang workshop. Tidak baik meninggalkan acara yang sebenarnya menjadi tanggung jawabku. Kali ini Baron yang menemaniku kembali. Dia beralasan ingin melihat workshop yang sedang berlangsung.

"Gue nggak tahu kalau lo besar di Surabaya," ucapku setelah beberapa menit hening.

"Banyak yang lo nggak tahu tentang gue." Baron tertawa.

"Emang lo terapi apa?" Aku berusaha untuk tidak ingin tahu, tetapi tidak bisa. Ucapan mengenai terapi yang dilontarkan dokter Vida membuat rasa ingin tahuku membuncah. Sejenak Baron terdiam seolah menimbang-nimbang apakah aku bisa dipercaya atau tidak.

"Nggak usah dijawab, kalau nggak mau," ucapku cepat. Aku tahu kalau kami bersaing dan setiap kelemahan adalah kartu as bagi yang lain. Selain itu, bisa jadi Baron tidak nyaman dalam mengungkapkan rahasia terbesarnya karena sepertinya ini rahasia yang lebih besar dibanding tidak suka tauge.

"Setiap orang punya kelemahan, Cassandra. Di gue itu berarti visual dyslexia." Tiba-tiba saja Baron mengucapkan itu.

Aku mencerna kata-katanya ketika kami sudah tiba di tempat workshop. Perhatianku langsung teralih seketika. Saat ini, salah satu make-up artist yang menjadi pembicara sekaligus trainer untuk praktek, sedang menerangkan trik menyapukan make-up pigmented.

Baron menyapa Pak Tono dan mereka berdua berbicara dengan suara pelan. Sementara aku berjalan ke arah photografer untuk mengecek hasil foto-foto. Untuk sekarang, rasa ingin tahuku akan kelemahan Baron harus diredam.

Setelahnya aku sibuk bekerja sampai tidak menyadari kalau Baron sudah menghilang dari ruangan. Pukul tiga sore, workshop selesai. Satu dua orang didekati oleh wartawan yang kemudian mewawancarai mereka. Aku tersenyum saat mendengar orang yang diwawancarai memberikan masukan positif. Beberapa peserta ada yang masih duduk di kursi mereka sambil mengobrol. Mereka pasti akan mengikuti seminar. Melalui pengelolaan waktu, kami membuat peserta bisa mengikuti seminar yang hanya berjeda tiga puluh menit dari waktu selesainya workshop.

Kuselonjorkan kaki yang pegal dan duduk di atas karpet sementara yang lain merapikan peralatan. Tidak sendiri, disampingku duduk si photografer dan Timon. Kami sedang berdiskusi tentang workshop yang baru saja selesai.

"Lo nanti ke tempat seminar, Cassie?" tanya Timon sambil berdiri sementara aku masih setia duduk di karpet dan memangku laptop.

"Iya. Gue mau ke sana setelah ngeberesin semua hasil evaluasi." Kepalaku mendongak menatap Timon dan dia tersenyum maklum lalu pamit pergi ke tempat seminar. Beberapa peserta yang tadi juga menghabiskan waktu untuk menunggu, juga beranjak pergi ke tempat seminar. Hanya tinggal aku, beberapa pegawai hotel yang membereskan ruangan dan pekerja yang melepas peralatan serta cermin.

Aku meneruskan pekerjaan. Setiap acara yang diadakan La Beauté, harus memiliki hasil evaluasi. Hal ini supaya kami bisa melihat tingkat kesuksesan acara dan mendapat masukan jika ada kekurangan. Sejauh ini hasil evaluasi workshop cukup baik meskipun tetap saja ada masukan di sana-sini. Setelah semua perlengkapan dibereskan satu jam kemudian, aku mengucapkan terima kasih pada tim yang telah membantu.

Perjalanan menuju ruang seminar kuhabiskan dengan mencari tahu apa itu visual dyslexia. Ternyata itu adalah kesulitan dalam memaknai kata yang dilihat. Keningku berkerut, Baron tidak pernah terlihat aneh dalam beberapa kali pertemuan kami di ruang rapat. Aku memang pernah melihatnya merekam pembicaraan rapat dengan alasan supaya tidak ada hasil rapat yang terlewat, tetapi akhir-akhir ini dia tidak membawa alat perekam.

Aku menyelinap masuk ke dalam ruang seminar. Nyaris seluruh kursi terisi, menandakan seminar ini menggugah rasa ingin tahu. Tema yang diangkat memang bukan hanya tentang kecantikan kulit tapi juga bagaimana make-up dapat mengubah hidup.

Ide mengenai seminar ini tercetus dariku saat teringat sebuah komik webtoon. Bercerita tentang anak perempuan yang merasa dirinya tidak menarik lalu berusaha belajar make-up sehingga hidupnya bisa berubah.

Timon mendekatiku yang sedang bersandar di dinding, area paling belakang ruangan ini. Dia membawakanku air mineral. Setelah sampai di ruangan ini, baru kusadari rasa haus yang menyerang.

"Udah selesai semua?" tanya Timon sambil ikut-ikutan menyender.

"Iya. Hasil evaluasi udah gue kirim, ya?

Kali ini Timon hanya mengangguk. Salah satu standard operation procedure dalam penyelenggaraan acara adalah hasil evaluasi langsung dikirimkan ke seluruh tim yang terlibat. Hasil ini akan dibicarakan dalam after action review, sebuah prosedur selanjutnya dalam mengevaluasi acara.

"Lo prosedural banget ya, Cass?"

Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Aku memegang teguh peraturan tersebut meskipun yang lain biasanya menunda pengiriman evaluasi secara langsung dengan alasan sibuk membereskan barang atau sudah terlalu malam dan sebagainya. Bagiku, pantang pulang membawa pekerjaan rumah. Selesaikan di tempat dan hidup akan lebih tenang.

"Baron dan Pak Tono ada di depan. Mereka siaga untuk hal-hal yang tidak diinginkan," kata Timon.

Aku tahu tentang hal itu, sebagai person in contact, Baron memang bertanggung jawab terhadap acara ini. Dia harus siaga penuh untuk mengantisipasi jika ada peralatan yang tidak berfungsi. Sekali lagi pandanganku beredar ke seluruh ruangan. Ada sekitar seratus peserta yang datang, sepertiganya adalah peserta di tempat workshop. Acara yang kami adakan sepertinya cukup sukses.

"Omong-omong, lo tahu kan hubungan Baron sama dokter cantik yang lagi di panggung itu?" Tiba-tiba saja Timon mengangkat pembicaraan itu.

Aku menatap ke arah panggung. Lampu sorot menyinari wajah sang dokter yang terlihat cantik. Saat itu dokter Vida sedang membicarakan bahwa meskipun make-up bisa mengubah hidup, hati yang cantik adalah hal terpenting. Baron tersenyum lembut dan kusadari dokter Vida mengerling pada laki-laki itu. Aku tidak pernah tahu kalau Baron bisa tersenyum lembut seperti itu. Kalau berhadapan denganku, dia selalu marah atau bertindak aneh.

"Tahu," jawabku. Pasti Timon membicarakan tentang Baron dan sang Dokter yang merupakan teman sekolah.

"Gila, ya? Nggak nyangka banget. Gue kira si Baron itu macam pertapa tua yang paling malas punya hubungan. Makanya pas ada gosip sama lo, gue seneng banget. Gue pikir lo berhasil ngubah si Baron."

Dahiku mengernyit, tidak paham dengan ucapan Timon. Aku tidak bisa membalas karena saat itu salah satu petugas yang merekam acara menoleh dan menggerakkan tangannya ke arah mulut. Itu artinya suaraku dan Timon terlalu besar. Kami langsung terdiam.

Banyak sekali pertanyaan yang diajukan oleh peserta seminar, sampai master of ceremony harus memotong pertanyaan supaya acara bisa selesai tepat waktu. Tidak kukira, aku juga menikmati seminar itu. Teman Baron ini sangat pandai berbicara. Intonasi yang digunakannya tepat sehingga pendengar tidak bosan. Banyak sekali ilmu yang kudapatkan selama seminar tersebut.

Bekerja di La Beauté bukan berarti aku sering menggunakan make-up. Bagiku, perawatan wajah lebih penting ketimbang make-up. Seminar ini membukakan mataku kalau make-up itu bukan tabu. Jika digunakan dengan tepat, bisa memberi perubahan yang berarti pada wajah kita. Persis seperti yang dilakukan oleh Jukyung, tokoh dalam webtoon yang kubaca.

Saat acara hampir berakhir dan peserta seminar sedang mengisi evaluasi, Timon kembali menghampiriku. Suasana sekarang sudah ramai dan rekaman sedang di pause, sehingga kami leluasa berbicara.

"Apa rasanya ya bekerja bersama mantan dan calon pacar sekaligus?"

Pertanyaan Timon membuatku bingung. Dia melihat tatapan mataku lalu terkejut.

"Lah? Katanya lo tadi tahu? Si dokter itu kan mantannya Baron."

Kali ini akulah yang terkejut.

*

Catatan peribahasa:

Belum mengajun sudah tertarung = Baru hendak melakukan sesuatu sudah mendapat halangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro