Tiga Puluh Satu - Ikhtiar Menjalani Untung Menyudahi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pantang menyerah sebelum berhasil itu moto baruku." - Pembimbing Anak Magang yang sedang berbahagia.

Aku meregangkan tubuh setelah satu jam bekerja. Sudah hampir sembilan bulan kami bekerja dari rumah. Tidak ada tanda-tanda pandemi akan selesai. Beberapa bulan lalu, kantor kami sempat memberlakukan sistem 50% bekerja dari rumah dan 50% bekerja dari kantor. Tetapi kenaikan jumlah penderita setelah masa liburan lebaran membuat PSBB kembali diberlakukan.

Bekerja di rumah adalah tantangan tersendiri. Awalnya Pak Anwar merasa kalau bekerja dari rumah berarti tidak bisa mengontrol kami secara penuh dan khawatir terus menerus kalau pekerjaan tidak berjalan lancar. Itu sebabnya kami membuat beberapa perubahan.

DJ dan Ai membuat workspace secara digital yang kemudian memungkinkan kami bekerja bersama-sama meskipun dari rumah. Hal ini membuat kekhawatiran Pak Anwar berkurang apalagi saat kami membuktikan kinerja tidak menurun meskipun bekerja dari rumah.

Para anak magang sudah masuk ke dalam tahap laporan pembuatan project yang telah selesai seminggu lalu dan sudah dipresentasikan ke jajaran manajemen. Sebenarnya presentasi itu hanya formalitas karena mereka seluruh project mereka sudah digunakan oleh perusahaan. Ketiga anak magang memanfaatkan waktu saat bekerja di rumah dengan sebaik mungkin sesuai dengan arahanku sehingga kami bisa meluncurkan hasil project tiga bulan setelah masa bekerja dari rumah.

Selanjutnya, mereka terus melakukan peningkatan sistem dan hal-hal bermanfaat lainnya sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian terlalu banyak. Kami patut bersyukur karena kondisi perusahaan semakin stabil. Sementara di luar sana, banyak perusahaan yang harus melepas karyawan karena kondisi keuangan perusahaan terguncang.

Kekuatan utama manusia adalah beradaptasi. Aku melihat sendiri bagaimana banyak orang beradaptasi dengan kondisi terbatas akibat pandemi. Termasuk di antaranya para anak magang yang harus bekerja sekaligus kuliah online. Mereka hampir tidak pernah mengeluh dengan banyak hal yang harus dilakukan kecuali satu hal seperti pesan yang masuk ke dalam grup kecil kami.

[Mamet]: Aku bosan setengah mati di rumah terus. Kapan kita bisa masuk, Kak?

Mamet terus menerus menanyakan kapan boleh masuk untuk bekerja dari kantor setidaknya sekali sehari. Dia bilang kalau berat badannya sudah bertambah lima kilo padahal tidak pernah mengemil. Aku hanya tertawa karena saat Mamet mengatakan hal itu, kami sedang rapat melalui Zoom dan dia sedang meminum kopi kekinian. Tidak pernah mengemil tetapi minum minuman berkalori tinggi. Sama juga bohong!

[Ai]: Berisik! Sana bikin laporan!

Ai masih saja galak dan kerap mengucapkan kalimat sarkas. Tetapi aku tahu bahwa Ai menyayangi kami. Hal itu dibuktikan dengan paket kiriman makanan atau kue buatannya yang dikirimkan ke rumah kami masing-masing. Gadis itu hanya mengungkapkan perasaannya dengan cara yang berbeda.

[DJ]: Gue ngebalik layar dulu, deh. Pasti sebentar lagi kalian perang stiker.

DJ paling sebal kalau Mamet dan Ai mulai perang stiker. Katanya itu bikin ponselnya terus mengeluarkan notifikasi. Ai menyuruh DJ untuk mematikan notifikasi tetapi gadis itu malah dimarahi. DJ bilang kalau notifikasi mati, dia tidak bisa tahu jika ada keadaan darurat. Itu sebabnya setiap Mamet dan Ai bertengkar, DJ akan membalik ponselnya dan bersikap masa bodoh.

Aku tertawa, jelas merindukan interaksi kami secara langsung dalam ruangan kecil itu. Namun dengan kondisi seperti ini, aku tetap mensyukuri apa yang sudah terjadi belakangan. Kami berempat dalam kondisi sehat dan selalu semangat dalam menghadapi tantangan.

Mama mengetuk pintu kamarku lalu masuk. Orang tua yang telah melahirkanku ini terlihat ceria. Sejak pandemi melanda dan aku harus lebih sering di rumah, banyak waktu yang telah kami habiskan bersama.

"Ke bawah yuk, Cass. Mama udah bikin camilan."

Ajakan Mama membuatku teringat kalau sekarang sudah pukul sepuluh. Bekerja di rumah membuat Mama mengetahui pola bekerjaku. Setiap pukul sepuluh aku akan menyeduh kopi dan menikmati camilan. Jadi Mama selalu menyediakan camilan untukku.

"Mama bikin apa?" tanyaku sambil menggandeng Mama saat menuruni tangga.

"Pie buah," jawab Mama bangga.

Pie buah buatan Mama luar biasa lezat. Ketika kupuji, Mama langsung bersiaga menyiapkan kotak-kotak.

"Buat apa, Ma?"

"Kirim ke anak-anak magang kamu. Pesenin ekspedisi ya, Cass."

Mama sekarang juga akrab dengan para anak magang yang kukenalkan saat kami mengobrol santai di akhir pekan beberapa bulan lalu. Ketika Mama tahu tentang kehidupan anak-anak magang, beliau langsung ribut untuk mengirimkan kue atau masakan. Ai adalah anak favorit Mama. Mereka bahkan sering mengobrol berdua di telepon, membicarakan resep atau hanya bergosip. Mungkin, Ai menemukan sosok ibunya dalam diri Mama.

Selesai membantu Mama memesankan ekspedisi dan menghabiskan kue, aku kembali bekerja. Ini adalah hari Jumat dan aku harus memeriksa laporan penjualan dari tim marketing serta mengecek laporan dari tim gudang. Berhubung masih kenyang saat makan siang, kuputuskan untuk meneruskan bekerja sampai pukul satu siang.

Terdengar bel pintu rumah berdentang dan suara Mama yang berbicara pada entah siapa di bawah. Tidak banyak tetangga yang datang di kondisi seperti ini. Biasanya kami mengobrol dengan tetangga saat berjemur matahari pagi atau olahraga ringan dengan tetap membatasi jarak. Hanya ada satu orang yang belakangan sering datang. Terdengar Mama memanggil namaku. Untunglah pekerjaanku sudah beres, jadi dengan ringan aku melangkah turun.

Saat aku tiba di lantai bawah, Mama sedang tertawa sambil menyentuh bunga dahlia dalam pot besar yang pasti dibawa tamu. Dahlia itu berwarna oranye dan merah muda. Cantik sekali. Mama memang penggemar tanaman dan bunga. Kebun kami yang indah, jelas sekali merupakan hasil dari kerja keras Mama.

"Hai, Cass." Tamu yang mengenakan kaus polo berwarna biru gelap dipadu dengan celana jeans hitam, tersenyum dengan cerah.

"Hai." Aku membalas sapaannya lalu membantu Mama memindahkan pot bunga ke halaman. Mama sibuk menginstruksikan di mana pot bunga harus diletakkan.

"Tumben ke sini hari Jumat," kataku setelah selesai menaruh pot bunga dan mencuci tangan.

"Mau numpang makan. Mama bilang kamu belum makan, jadi aku sekalian ke sini," jawab laki-laki itu sambil tertawa dan memamerkan geliginya.

Aku ikut tertawa sambil mengajaknya masuk. Ini adalah rutinitas akhir pekan kami. Jika bukan aku yang berkunjung ke rumahnya, dia yang datang. Kebetulan juga kami mendapat tim yang sama di kantor jadi tidak ada masalah bagi kami.

Masakan rumahan memang terbukti selalu hebat. Mama memasak tempe dan tahu bacem, sayur asam dan perkedel jagung. Tiba-tiba saja aku merasa lapar. Mama sempat menemani kami mengobrol sebentar sebelum izin untuk beristirahat.

"Cassie, aku mau bicara sesuatu. Sekarang sudah akhir tahun dan pengumuman untuk siapa yang menjabat sebagai asisten manajer sudah dekat. Hanya salah satu di antara kita yang bisa menjabat."

Aku menatap mata Hershey yang terlihat khawatir itu. Hubunganku dan laki-laki ini memang berkembang ke arah yang lebih baik sejak beberapa bulan belakangan.

Dua bulan lalu, Baron mengajakku bicara panjang lebar. Kami memutuskan untuk memulai hubungan lebih dari teman supaya lebih mudah berdebat. Sampai sekarang tidak ada masalah berarti dalam hubungan kami kecuali bayang-bayang yang dicemaskan Baron tentang posisi yang sebelumnya kami perebutkan.

Aku masih ingat saat Baron datang pertama kali ke rumahku. Dia membawa banyak masakan buatan sendiri sampai kupikir dia punya usaha katering. Rupanya Baron bicara pada Mama dan berkata ingin serius menjalin hubungan denganku.

Saat itu, aku nyaris tertawa karena mengira itu hanyalah lelucon. Balasan gara-gara mulut kurang ajarku mengecupnya di rooftop. Untunglah aku masih sempat melihat kilat serius di mata Baron, jadi tawa yang nyaris tersembur itu langsung tertelan lagi.

"Kenapa kamu suka aku?" tanyaku setelah berhasil menahan tawa.

"Kurasa, kamu adalah perempuan hebat dan kuat menghadapi masalah. Cerdas dan yang terpenting ... kamu adalah lawan tangguh dalam berdebat."

Aku tertawa keras mendengar ucapannya. Baron menyukaiku hanya karena aku tangguh dalam berdebat. Tidak bisa tidak, aku pun jatuh dalam pesona laki-laki bermata hershey ini. Perasaan itu pun semakin hari terus berkembang.

Sekarang, aku menatap laki-laki tampan yang berdiri salah tingkah. Jemariku terulur dan mengusap rahang kokoh yang mulai ditumbuhi bulu halus. Mata Baron terpejam dan dia mengecup telapak tanganku.

"Aku nggak masalah, Baron. Seenggaknya aku sudah berusaha. Siapa pun yang mendapat kenaikan jabatan berarti dia layak." Aku memang sungguh sudah tidak terlalu ambisius. Bukan karena Baron saat ini adalah kekasihku, melainkan karena percaya bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jika aku belum dipercaya menjadi asisten manajer, itu berarti usahaku belum cukup maksimal. Baron menghela napas tetapi sebelum dia bicara lagi, ponselku berdering. Pak Anwar yang menelepon.

"Cassandra, kamu ada waktu? Saya mau bicara serius."

Aku memberi kode pada Baron kalau ini adalah Pak Anwar yang menelepon.

"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu."

"Saya mau bicara tentang promosi kamu." Suara Pak Anwar tenang dan dalam. Membuat jantungku berdebar-debar.

"Seharusnya pengumuman itu dilakukan akhir tahun. Tetapi karena ada beberapa hal yang mau dibicarakan secara pribadi, saya harus menelepon kamu sebelum pengumuman."

Kutarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ada banyak kemungkinan Pak Anwar menghubungiku terlebih dulu. Mungkin karena gagal sehingga atasanku itu harus memberi tahu.

"Sayang sekali, Cassandra ...."

This is it! Mungkin belum rezekiku untuk naik jabatan. Mungkin saat ini adalah rezeki Baron.

"Sayang sekali kamu harus berpisah dengan Baron. Manajemen memutuskan untuk memindahkan Baron ke divisi Non Medical Unit dan mengangkatnya sebagai manajer. Sedangkan kamu ... selamat ya, untuk jabatan baru kamu sebagai asisten manajer saya."

Bibirku terbuka karena kaget saat mendengar Baron akan pindah divisi. Lebih kaget lagi saat mendengar kalau aku lolos dalam proses promosi.

"Pak, ini beneran?" tanyaku memastikan. Terdengar suara tawa di ujung sana.

"Saya dapat informasi menarik dari orang-orang yang bekerja bersamamu. Kamu jujur, mau mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan itu dan berjuang. Hal yang lebih penting lagi adalah kamu pantang menyerah. Itu adalah kualifikasi yang saya cari, Cassandra. Mengenai Baron, mungkin kamu bisa menanyai secara langsung."

Pak Anwar memutuskan panggilan setelah memberitahu jadwal pengangkatanku secara resmi. Begitu panggilan selesai, aku bergegas mencari Baron. Laki-laki itu sedang mencuci piring dan segera mengelap tangannya yang basah saat melihatku datang.

"Kejutan! Selamat ya Asisstant Manager Operations!" Baron berseru riang dengan suara kecil karena takut mengganggu istirahat Mama.

Aku tertawa sekaligus terharu. Rupanya dia sudah tahu dari awal. Baron membentangkan tangannya untuk memelukku erat. Dia menaruh dagu di pucuk kepalaku.

"Sementara kamu melesat menjadi manajer. Selamat Non Medical Unit Manager!" balasku sambil tertawa. Baron menjauhkan dirinya untuk kemudian menciumku dengan lembut. Dadaku berdebar kencang bercampur dengan kebahagiaan.

Kita tidak pernah tahu kejutan apa yang disimpan oleh Tuhan pada kita. Seperti aku yang mendapat kejutan saat mengetahui watak para anak magang. Juga kejutan berupa perubahan hubungan antara aku dan Baron. Tugasku adalah menjalani sebaik-baiknya hidup dan berusaha agar halangan serta rintangan dilalui tanpa pantang menyerah.

***

Catatan Peribahasa:

Ikhtiar menjalani untung menyudahi = Orang harus berusaha jika ingin mencapai suatu maksud, tercapai atau tidak tergantung pada nasib.

- Fin -

***
Selamat sore semua. Akhirnya cerita ini tamat sampai di sini. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca cerita tentang Cassie sampai akhir. Love you so much. 😘😘😘❤️

Anyway, saat ini Ayas juga sedang menulis cerita chicklit tentang pewaris perusahaan besar.

Live Above All

Blurb:

Zana Auristela Tranggana, 29 tahun, perempuan mandiri yang memiliki banyak kelebihan termasuk berat badan. Sebagai salah satu pewaris bisnis keluarga Tranggana, PT Tranggana Lotus Rayon, Zana harus belajar dan bersiap untuk menggantikan ayahnya yang harus menjalani pengobatan di Singapura.

Masalahnya adalah tidak semua orang suka dengan kehadiran Zana yang dinilai tidak representatif sebagai wajah CEO PT Tranggana Lotus Rayon. Zana juga dinilai sebagai anak kemarin sore yang tidak punya pengalaman di bidang ready to wear clothing yang menjadi napas utama dari bisnis PT Tranggana Lotus Rayon.

Ketika ketidaksukaan itu berkembang menjadi hal yang membahayakan nyawa, Zana pun harus bergerak. Bersama dengan Varen, si Marketing Manajer tampan yang ceria itu, Zana berjuang mencari kebenaran. Mampukah Zana membongkar siapa dalang di balik semua kejadian tidak mengenakkan sebelum nyawanya melayang?

Link wattpad: http://bit.ly/LifeAboveAll

Jangan lupa untuk baca cerita tentang Zana, ya. 😘😘

Love,
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro