Chocolate Magic (AkaixWitch!Reader)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama ini, jiwaku hanya untuknya seorang. Tapi saat aku terbiasa dengan kehidupan baruku, seseorang dari masa laluku datang untuk mengingatkanku kembali cokelat yang pernah mempertemukan kita.

***

"Jadi... tahun ini kau tidak buka toko cokelatmu?" Suara seorang pemuda yang sudah tidak asing lagi bagiku terdengar mengusikku.

"Setiap valentine aku melakukannya bukan? Jangan menanyakan hal yang sudah jelas, Amuro." Jawabku sambil mengaduk cokelat leleh di atas kompor.

Inilah keseharianku di toko kecil milikku. Aku memiliki sebuah toko sekaligus tempat tinggalku bersama Amuro. Dan asal kalian tahu saja, toko kami terletak di dalam hutan yang masih belum terjamah manusia.

Alasannya sangatlah sederhana, karena cokelatku bukan cokelat biasa.

Cokelatku bisa mengabulkan segala keinginanmu.

Apapun itu.

Tapi harga yang dibayar haruslah setimpal dengan keinginan sang pembeli. Dengan kata lain...

Cokelatku sangatlah mahal.

Aku bukanlah tipe gadis yang tergila-gila pada uang, jadi yang kumaksud mahal di sini bukanlah uang. Tapi sesuatu yang alami pada diri manusia. Sifat, emosi ataupun perasaan... manusia selalu hidup dengan cara mereka sendiri. Karena itu jiwa merekapun beragam. Hal-hal semacam itulah yang kuambil dari mereka atas cokelat buatanku.

"Memang kenapa sih? Kurasa emosi para gadis itu yang ingin cintanya diterima sangat enak jika dicampur dengan cokelat buatanmu itu." Keluh Amuro. Pemuda berkulit eksotis itu duduk dengan malasnya di kursi yang berada di belakangku.

Aku cuma menghela nafas."Iblis sepertimu, tidak akan tahu cara pikir kami." Jawabku tenang.

"Cih, dasar manusia!" Gerutu Amuro.

Ya, jika ada hal yang perlu kalian ketahui adalah Amuro bukanlah manusia. Dia adalah iblis yang mengikat kontrak denganku. Dia memberiku kekuatan sebagai penyihir cokelat dengan bayaran jiwaku.Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku jadi penyihir cokelat? Alasannya cukup sederhana. Aku ingin membuat cokelat yang bisa mengabulkan permohonan dan berharap bisa bertemu dengan orang itu...

"(Name), sudah selesai buat cokelatnya?" Pertanyaan Amuro menyeretku kembali dari dunia pikirku.

Aku meletakkan beberapa cokelat macaroon di dalam toples dan menyimpannya di suhu yang cukup sejuk agar kualitas cokelat tetap terjaga. Sambil melepas apron berwarna ungu yang tadi kupakai, aku melirik Amuro.

"Besok adalah valentine, jadi aku akan pergi ke luar dan menutup toko. Apa kau mau ikut?" Tanyaku.

"Kurasa tidak perlu. Cuma buang-buang waktu saja." Jawab Amuro cuek.

Aku menghela nafas dan melanjutkan kegiatanku. Menata cokelat-cokelat di dalam toples.

***

Hari valentine, hari dimana seorang gadis menyatakan perasaannya dengan cokelat dan sering juga disebut hari kasih sayang. Sungguh aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merayakan valentine. Karena kehidupanku yang suram, tidak memungkinkanku untuk merayakan hari yang jatuh pada tanggal 14 februari ini.

Ibuku meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selama 10 tahun, aku hidup dibesarkan oleh ayahku seorang diri yang bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan kecil. Tapi ayahku bukanlah ayah yang bisa memberi contoh baik terhadap anaknya. Ia sering mabuk dan pulang larut. Bahkan terkadang dia memukulku tanpa alasan yang jelas.

Untuk meredam kesedihan karena tingkah laku ayahku, setiap harinya aku bermain di lapangan yang tak jauh dari tempatku tinggal. Dan di sana juga, aku bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya.

Seorang anak lelaki dengan rambut yang agak berantakan, bermanik blue saphire, memakai topi rajutan dan berjaket hitam. Untuk ukuran anak seusianya, dia sangatlah pendiam. Daripada ikut bermain bersama teman-temannya, ia malah duduk di bangku taman sambil memakan cokelat yang dia bawa.

Awalnya aku ragu mendekatinya hingga akhirnya dia yang malah menyapaku duluan.

"Apa kau mau cokelat?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkannya padaku dan masih kuingat hingga sekarang.

Aku mengangguk sebagai jawaban dan anak itupun mematahkan cokelat yang dibawanya menjadi dua bagian. Ia menyodorkan salah satunya untukku.

"Dark chocolate bukan cokelat manis, tapi sangat bagus untuk memperbanyak hormon endorphin."

Setelah dia mengatakan hal itu, aku baru sadar. Anak lelaki itu bukanlah anak biasa. Pengetahuannya sangat luas dan ucapannya berbeda dari anak-anak yang pernah kutemui. Aku sangat takjub pada anak itu mengingat umur kami masih sama-sama 11 tahun, tentu hal itu sangat luar biasa bagiku.

Sejak saat itu, aku mulai mengenal anak jenius itu. Akai Shuichi, itulah namanya dan aku sering memanggilnya Shu. Sering kali saat aku bermain di taman itu, aku pasti menjumpai sosoknya dengan penampilannya yang sangat khas.

Setelah dua tahun tahun berteman dengannya, akhirnya mimpi burukku dimulai.

Perusahaan ayahku jatuh bangkrut dan banyak pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh perusahaan. Ayahku pun tidak luput dari pemutusan hubungan kerja ini. Ia memikul tanggung jawab yang berat untuk membesarkan anak gadisnya tanpa pekerjaan yang pasti.

Hingga akhirnya, keputusasaan itu membutakan ayahku.

Ia melakukan ritual untuk memanggil iblis agar kehidupannya bisa diperbaiki.

Saat itulah, iblis Amuro Toru muncul.

Ia bersedia membantu ayahku asalkan harga yang dibayar setimpal dengan permintaannya.

Entah kenapa, yang ada di pikiran ayahku saat itu adalah mengorbankan diriku. Dengan kata lain...

Akulah bayarannya.

Amuro menyetujuinya dan membawaku pergi. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan ayahku ataupun Shu.

Aku mulai putus asa saat tahu jika aku tidak bisa menemui Ayahku ataupun Shu lagi. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku meminta pada Amuro untuk mengabulkan keinginanku. Aku ingin membuat cokelat terlezat yang pernah ada untuk diberikan pada Shu. Setidaknya, aku ingin agar dia tahu jika aku menyukai sosoknya yang hangat dan ramah.

Amuro mengabulkan keinginanku. Kali ini, dia meminta jiwaku sebagai bayarannya. Aku menyetujuinya, dan inilah aku yang sekarang. Membuka toko besar yang terkesan suram di pelosok hutan yang tak terjamah manusia.

Tapi walaupun begitu, selalu ada saja orang yang memberanikan diri datang ke tokoku meminta cokelat untuk mengabulkan keinginan mereka. Tentu saja aku memberikan apapun keinginan mereka setelah mereka tahu apa yang akan 'hilang' dari diri mereka.

Langkah kakiku terhenti di sebuah taman yang tak asing bagiku. Aku menghela nafas kecewa karena tak menyangka aku asyik melamunkan masa laluku hingga tak menyadari jika kakiku membawaku ke tempat ini.

Aku berbalik dan hendak pergi. Sejujurnya aku menghindari tempat ini selama 3 tahun. Aku belum siap bertemu Shu sekarang.

"(Name)?"

Jantungku serasa terhenti mendengar suara yang memanggilku dengan nada ragu. Tubuhku bagaikan tersihir hingga tak bergerak sesentipun. Sungguh aneh mengingat aku adalah seorang penyihir sekarang.

"(Name)?" Suara pemuda itu kembali menyebutkan namaku untuk memastikan jawabanku.

Dengan segenap kekuatan yang kumiliki, kupaksakan kepalaku untuk menoleh ke belakang. Mataku langsung membulat tidak percaya melihat sesosok pemuda yang kini berdiri di belakangku.

Sesosok pemuda dengan rambut yang agak berantakan, bermanik blue saphire, memakau topi rajut dan jaket hitam tengah menatapku penuh selidik. Seolah menganalisa apakah aku orang yang sama dengan gadis kecil dalam memori otaknya.

Tapi aku tidak ingin dia tahu jika aku sudah berubah. Aku bukan lagi manusia. Aku adalah penyihir yang jiwanya diambil oleh iblis.

"Sumimasen, kurasa anda salah orang." Ujarku dengan datar. Satu-satunya alasanku menghindarinya sekarang adalah aku belum bisa memberinya cokelat buatanku. Atau lebih tepatnya, aku belum siap mengambil 'bayaran' darinya.

Shu tidak tinggal diam. Dia justru menarik tanganku dan mendorongku hingga punggungku menghantam tembok di pinggir taman. Aku tidak bisa berkutik karena dia mengurungku di tengah kungkungan kedua tangannya.

Angin berhembus pelan seolah menjadi saksi bisu pertemuan kami kembali setelah sekian lama. Air mataku nyaris menetes saat melihat wajah sendu Shu yang begitu dekat dengan wajahku.

"Kenapa kau menghindariku?" Tanyanya dengan nada yang penuh intimidasi.

Bibirku bergetar bingung merangkai kata. Tapi otakku mengeluarkan perintah untuk keluar terlebih dahulu dari situasi ini atau nanti akan berakhir buruk.

"Su-sudah kubilang. Kau salah orang." Aku memalingkan wajahku. Tidak sanggup jika harus menatap manik blue saphirenya. Tapi aku tahu jika ucapanku tadi sangatlah melawan realita dan Shu pasti tahu keanehan dari nada bicaraku.

Tanpa terduga, Shu menyibak poni rambutku di sebelah kiri, membuatku tersentak kaget.

"Luka sayatan pisau sepanjang 3 senti dan dijahit di sebuah klinik baru yang dokternya masih amatiran. Dilihat dari kondisi jahitan yang hampir hilang, luka ini kau dapat sekitar 5 tahun lalu. Dan... akulah yang membawamu ke klinik dokter itu setelah kau dianiaya ayahmu."

Checkmate!

Aku tidak bisa mengelak lagi dengan paparan analisanya barusan. Sasuga Akai Shuichi. Dia langsung tahu aku dengan ciri fisik yang mungkin sudah berubah sejak 3 tahun lalu.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau bersikap seperti ini?" Nada bicara Shu melunak hingga membuatku makin bingung dan serba salah.

"Shu, aku..." Ucapanku terpotong saat aku merasakan sesuatu yang hangat mengecup bibirku sekilas. Hanya sepersekian detik!

Aku menatap Shu tidak percaya. Barusan... dia menciumku?

"Kau nyaris membuatku gila karena sosokmu tiba-tiba menghilang." Ujarnya pelan.

"Kalau begitu, akan kuperbaiki hidupmu." Entah dapat kekuatan dari mana, aku mulai kembali menguasai diriku. Aku tidak sanggup lagi melihat lelaki ini terus mendesakku dan mendapatkan hasil yang nihil karena dia tidak bisa mewujudkan keinginan hatinya.

"Apa maksudmu?" Pemuda bersurai hitam itu menautkan alisnya bingung.

Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan sekotak cokelat lalu kuberikan padanya.

"Kuharap kau mau memakannya."

Shu tersenyum lembut dan menatapku hangat. Sungguh, aku tidak ingin momen langka ini berakhir karena mungkin setelah ini, aku tidak bisa melihat senyuman penuh keteduhan itu.

Shu menerima cokelat itu dan memakannya. Detik berikutnya, kotak cokelat yang dipegangnya jatuh dan dia mundur beberapa langkah ke belakang.

"Setiap keinginan akan dikabulkan. Dan setiap keinginan, akan dibayar dengan harga yang setimpal. Dengan cokelat ini, aku akan mengambil bayaran darimu. Yaitu..." Aku sempat ragu dan bibirku bergetar berusaha melanjutkan manteraku. Sedangkan Shu menatapku memohon seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tetap mengayunkan tanganku dan melanjutkan ucapanku dengan nada bergetar.

"...segala ingatanmu tentang diriku!"

Butiran cahaya muncul dari tubuh Shu dan berkumpul di telapak tanganku membentuk sebuah kristal cahaya yang sangat indah. Saat butiran cahaya terakhir keluar, Shu jatuh tak sadarkan diri.

Aku menghela nafas dan menggenggam kristal cahaya di tanganku dengan erat.

"Maaf, Shu..." Gumanku pelan.

"Yare yare, kau bilang tidak menjual cokelatmu hari ini?"

Aku menoleh ke sumber suara dan melihat Amuro duduk di salah satu dahan pohon yang tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Jangan bilang kau melihat semua kejadian tadi?" Sikapku kembali seperti semula yang datar dan dingin.

Amuro tersenyum. Tidak, tepatnya menyeringai.

"Menurutmu?" Amuro melompat turun dan berjalan mendekatiku.

"Apa yang akan kau lakukan dengan essens itu?" Amuro menatap kristal cahaya yang masih berpendar di tanganku.

Kini giliranku yang menyeringai.
"Yang jelas, aku tidak akan memberikan ini untukmu. Karena essens ini milikku."

-
-
-
Akhirnya... kelar juga chapter dua. Maaf kalau chapter kali ini absurd banget. Ini pakai sistem kebut seminggu soalnya.
*slaped*

Mungkin beberapa diantara kalian ada yang nggak asing dengan plot cerita ini. Haruka bikinnya terinspirasi ama manga Chocolate Magic karya Rina Mizuho. ^0^

Oke, chap tiga sekaligus story yang terakhir bakal dipublish besok karena ini masih in progess.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro