ᴛᴏ ʟɪᴠᴇꜱ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bokuto Koutarou adalah sosok yang penuh semangat. Perangainya riang, cengiran dan bicaranya menyenangkan juga bisa menghibur orang.

Dia kapten bola voli pria di Akademi Fukurodani, salah satu sekolah yang kuat di Tokyo. Kata orang, dia pemain yang bisa diandalkan.

Dia punya teman-teman se-tim yang bisa diandalkan pula. Di lapangan, Bokuto selalu terkagum dengan kemampuan timnya. Ia mengakui teman-temannya selayaknya dia mengakui kemampuan dirinya sendiri.

Bokuto pria yang percaya diri, bahkan di luar lapangan sekalipun. Ketika jam istirahat berbunyi, ia tidak ragu menghampiri kelas Akaashi Keijiーsetter yang merupakan adik kelas Bokutoーmenyapanya riang pemuda yang terduduk diam di bangku.

"Akaashi! Kau sudah makan tidak? Ke kantin bareng yuk!" ajak Bokuto, enerjik seperti biasa, pun tak menghiraukan eksistensi siswa yang masih tersisa di kelas Akaashi memandanginya.

"Maaf Bokuto-san, aku ada riset tugas sama teman kelompok di perpustakaan sekarang," jawab Akaashi, merasa tak enak.

Bokuto menghela napas. Rautnya jadi sedih juga kecewa. Akaashi makin tak enak hati.

Pemuda berambut gelap hendak membuka suara, tetapi sang senior sudah berseru terlebih dahulu, "Hoho, ya sudah Akaashi, kau kerjakan tugasmu yang rajin ya! Aku ke kantin dulu karena aku sangaaatt lapaar~! Dah, Akaashi!"

Akaashi mengejap, menatapi menghilangnya punggung Bokuto yang telah berlalu.

Dia hampir lupa kalau senior dan kaptennya itu adalah seorang Bokuto Koutarou yang perasaannya mudah menggebu  pun juga mudah surut bak gelombang pasang air laut.

[][][]

Bokuto ingin menjadi kapten yang baik. Oleh karena itu, ia berpikir menjaga relasi dengan rekan-rekan se-timnya di luar lapangan itu perlu.

Nyatanya, hampir semua rekannya punya kesibukan sendiri. Seperti sekarang misal, dia jadi makan di kantin sendiri. Akaashi ada keperluan kelompok, kawan sepantaran kelas tiganya, Bokuto menghampiri kelas mereka dan tidak mendapati satupun dari mereka entah kemana.

Apa hanya dia sendiri yang tidak begitu punya kesibukan? Bokuto tidak suka berpikir, maka ia hempas jauh-jauh pemikiran yang berkelebat.

Pemuda berambut hitam-putih itu mencoba kembali fokus pada makanannya. Namun, ketika pandangan yang awalnya menatap nanar arah depan hendak dialihkan ke meja makan, ia menangkap iris hijau mint memandang dirinya dari kejauhan.

Seorang gadis duduk di meja ujung depan kantin sekolah yang berhadapan dengan Bokuto. Pemuda itu menarik senyumnya lantas beranjak.

"Hai, Aiza! Kau makan sendiri? Aku boleh duduk sini?"

Gadis dengan rambut sewarna dengan gumpalan awan langit hampir tersedak, kala Bokuto Koutarou menghampiri dan menyapa.

"Koutarou? Tumben kau sendirian?"

Bokuto tak menanggapi, ia lebih lahap menyantap makanannya sekarang. Toh, ia tak lagi sendiri di kerumunan kantin yang ramai, dan itu membuatnya merasa lebih baik.

Bokuto terlalu sibuk dengan makanannya, sedangkan gadis beriris hijau mint sibuk mengontrol degup jantungnya, yang tentunya tidak disadari oleh pemuda itu.

[][][]

Pekan ujian tengah semester begitu menghabiskan tenaga dan pikiran. Bokuto tak menyukai itu.

Ia lebih suka mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk melesat di setiap ujung lapangan bola voli. Tetapi, selama pekan ujian kegiatan klub diliburkan. Bokuto tidak menyukai ketika ada bagian dari dirinya yang hilang dan ia merasa hampa.

Namun, ia juga tidak menyukai ketika rasa gelisah dan khawatir menelannya. Bokuto memang bukan akademik sentris. Kendati demikian, satu-persatu nilai ujian yang mulai keluar membuat dia dirundungi gundah dan merasa tak berdaya. Dia tidak berekspektasi mendapat nilai yang bagus, tetapi kemerosotan satu-dua dari nilainya juga di luar ekspektasi.

Katakanlah memang, kalau satu-satunya ambisi Bokuto adalah voli. Passion sejatinya, tempat ia menemukan segala tentang jati diri.

Katakanlah memang, dia seorang kapten dari tim sekolah andalan dan pemain yang bisa diandalkan.

Tetapi, apakah di luar itu ia memang bisa diandalkan? Apa ia sudah menggapai pencapaian yang memuaskan? Kalau ia bisa diandalkan oleh orang lain, apa ia mampu mengandalkan dirinya sendiri?

Kelebat pertanyaan berderai mencerca pemikiran dangkalnya. Pertanyaan yang paling membuat pelipisnya berkedut ialah, "Mengapa aku mendadak memikirkan banyak pertanyaan?"

Dalam gemingnya langkah kaki di jalanan beraspal, Bokuto menengadahkan kepala, memandangi pergerakan lembut gumpalan kapas putih yang terembus angin. Ia mencari penenangan dari birunya langit dan putihnya gemawan. Juga mencari sekelumit jawaban dari pertanyaan yang sempat berkelebat di benak.

Satu suara menghempaskannya dari angan. "Koutarou, kau sedang apa?"

Bokuto tergelak ringan, atensi dialihkan pada sosok gadis yang ia kenal. "Oh, Aiza? Kau sudah mau pulang?"

Payah sekali. Sudah jelas ini memang jalan pulang dari sekolah.

Takahara Aiza, gadis yang seangkatan namun beda kelas dengan Bokuto, dengan iris hijau mint dan rambut putih, mengangguk kecil. "Kau keluar ujian lebih dulu tadi?"

"Haha, iya. Aku tak betah lama-lama mengerjakan soal ujian matematika. Payah sekali ya?"

"Tidak sama sekali. Kenapa harus mencibir kemampuan diri sendiri?"

Bokuto terdiam. Roda di otaknya bergerak mencerna dengan lamat.

"Terus kau sedang apa terdiam di sini?"

"Ah, itu ... aku hanya sedangー"

"Mencemaskan hasil ujianmu?"

Bokuto pemuda yang ekspresif. Tiap guratan di raut mukanya menggambarkan isi hati dan pikirannya, menjadikan ia mudah diterka.

Aiza mengulum senyum, "Tetap semangat, Koutarou. Apapun hasilnya kau sudah berusaha, 'kan?"

Detik berikutnya Bokuto jadi tertegun. Oleh kata-kata yang diucapkan gadis itu, oleh senyuman yang terulas tipis di pipi pucat sang gadis.

Ia menatap netra hijau mint Aiza. Warna netranya meneduhkan, mengingatkan Bokuto akan dedaunan pohon yang terembus angin. Pun juga dengan rambut putih gadis itu, yang mengingatkan si pemuda akan gumpalan awan menggantung yang menghiasi langit biru.

Bokuto seolah menemukan penenangan di sana. Ia lantas mengejap setelah beberapa detik terpekur.

"Koutarou?"

"Aiza, mau pulang bersama tidak?"

Bokuto tidak suka kala ia sendiri, ia jadi sensitif dan memikirkan banyak hal. Sebelumnya ia tidak pernah suka berpikir aneh-aneh, entah mengapa ia tiba-tiba menjadi begini, pemuda itu juga tidak habis pikir.

Satu lagi yang Bokuto baru sadari hal yang tak ia sukai; adalah kesukarannya dalam mendefinisikan perasaan abstrak saat kini ia berjalan berdampingan dengan sosok Aiza.

[][][]

Ketika klub voli kembali beraktivitas seperti biasa pasca pekan ujian, semangat Bokuto berkobar untuk kembali latihan.

Decitan sepatu yang bergesekan dengan lantai suaranya memenuhi ruangan gedung. Seruan dari masing-masing pemain yang berlatih pun saling bersahutan, memercikkan energi bagi Bokuto untuk terus menyelaraskan gerak dengan ritme permainan.

"Bokuto, bukannya itu Aiza?" ujar Konoha tiba-tiba saat set kedua sesi latihan mereka baru berakhir, membuat Bokuto refleks memasang raut tanda tanya.

"Mana?"

"Itu, dia daritadi ngeliatin dari luar pintu."

Bokuto celingukan, dan benar mendapati eksistensi Aiza yang bergeming di luar pintu, mampir menonton agenda latihan klub voli.

"Heh iya. Ngapain dia di situ?"

"Ngapain lagi, nontonin kamu latihan mungkin." Konoha mengendikkan bahu, sedangkan Bokuto masih dengan ekspresi bertanya-tanya.

Kawan Bokuto itu menghela napas ketika temannya tersebut terlalu lugu seolah tidak menyadari apa-apa. Padahal, hampir seluruh anggota tim tahu dan setidaknya sudah paham. Hanya saja, kapten mereka itu masih lamban mencerna.

Bokuto pria yang pemikirannya sederhana. Ketika dia diberitahu hal demikian, dia tidak menerka-nerka, tetapi langsung berefek membuat semangatnya menggebu dan membara.

"Hey hey hey! Ayo main beberapa set lagi!"

[][][]

Sesi latihan klub voli telah usai agak awal dari biasanya. Kala itu, langit sore belum tampak terlalu oranye. Bokuto dan kawannya berjalan bebarengan menuju gerbang, melewati lapangan sepak bola yang masih ramai.

Netra emasnya menangkap sosok gadis yang berdiri di pinggir lapangan, yang memerhatikan gerakan penggiringan bola oleh pemain-pemain klub sepak bola yang sedang berlatih.

Bokuto tertegun sejenak, tanpa pikir panjang langkah kaki membawa dirinya mendekati lapangan.

Dari kejauhan, teman-temannya mengangguk paham, lantas berseru untuk berpamitan. "Bokuto kami duluan ya!"

Seruan itu tentu hanya mampu di dengar samar, sebab Bokuto sudah cukup jauh dan telah sampai di pinggir lapangan.

"Apa klub sepak bola dalam dekat ini ada turnamen?"

Gadis berambut putih terperanjat, saat mendapati sosok Bokuto tiba-tiba berada di sampingnya. "Hm, begitulah."

"Woah, pasti susah ya jadi manajer cewek klub sepak bola sendirian?" Kalimat itu Bokuto katakan setelah melirik sekilas catatan-catatan pada buku yang sedang didekap Aiza.

"E-eh, nggak juga kok." Aiza mendadak celingukan, masih heran akan keberadaan Bokuto. "Klub voli sudah selesai latihan?"

"Hooh. Kata Konoha tadi kau mampir menonton latihan kami?"

Pertanyaan Bokuto yang terang-terangan itu seakan menyambar gadis di sebelahnya. Ia hanya mampu mengangguk kaku sebagai jawaban.

"Wah kapan-kapan kalau mampir masuk aja, Aiza. Jangan cuma ngintip dari pintu, nanti kau disangka penguntit, lho. Hahaha."

Kejenakaan dan tawa Bokuto menular, membuat Aiza terkekeh kecil. Gadis itu jadi menertawakan tingkahnya sendiri, apalagi sampai ketahuan dan diberitahu blak-blakan oleh Bokuto secara langsung.

"Aiza, kapten klub sepak bola menurutmu bagaimana?"

Iris hijau mint gadis itu menatap Bokuto bingung. Ia kemudian menjawab, "Sama seperti kapten pada umumnya? Dia bertanggungjawab atas tiap rekan tim, wibawanya selalu dapat memercikkan semangat tim agar tidak padam. Dan juga ... mengayomi."

Bokuto manggut-manggut, pandangannya tampak menerawang hijaunya rumput lapangan. Angannya mendadak penuh dengan penggambaran abstrak bagaimana sejatinya sosok seorang kapten itu.

"Tapi yang jelas, sebagai seorang kapten, dia itu ... tidak pernah merasa menanggung beban sendirian. Ada tiap rekan yang selalu menyokong satu sama lain. Seorang kapten yang hebat bukan membangun penyokong itu sendiri, tetapi memperkuat penyokong yang sudah ada," tambah Aiza. Ditatapnya lamat sosok gagah Bokuto yang masih sibuk dengan angan.

"Begitu ... ya," gumam Bokuto. Dia lalu mengulas cengiran ke gadis di sebelahnya, "kau seorang manajer yang keren sekali!" kata pemuda itu sambil mengacungkan ibu jari. Mata emasnya berbinar kagum.

"Makasih banyak, Aiza. Untuk jawabanmu, dan untuk roti yakisobamu tadi pagi."

Bokuto bingung mengapa wajah Aiza tiba-tiba memerah dengan iris yang membelalak. Apa dia salah berucap?

"Roti yakisoba?" tanya Aiza lirih.

"Iya, tadi pagi Konoha melihatmu menaruh roti yakisoba di lokerku, benarkan? Enak sekali, perut pagiku terselamatkan karena belum sempat sarapan---eh lho, Aiza?"

Kebingungan Bokuto bertambah ketika gadis berambut putih itu sudah mengacir ke sisi lain lapangan, menghampiri sang pelatih sepak bola, meninggalkan Bokuto yang jadi kelimpungan.

Bokuto belum lama memutuskan untuk berhenti berangan mengenai pandangan akan cara dia hidup; tentang pencapaian, sikap yang seharusnya ia lakukan, atau tentang bayang-bayang beragam ekspektasi dan kekecewaan. Gerigi roda otaknya telah berhenti bergerak untuk memikirkan hal itu.

Tetapi, sebagai gantinya, gerigi roda otaknya sedang mencoba bergerak untuk memikirkan hal lain. Hal yang lagi-lagi, tak pernah terpikirkan sebelumnya. Mengenai sikap dan tingkah seorang Takahara Aiza terhadapnya misal, atau tentang ragam rasa yang baru ia cecap sekarang. []

.

i'm not lonely
i say to the night sky without any strength
i'm okay today
i say to myself over and over again

when i leave
tomorrow morning
i wish there was someone
who would tell me, have a good day
and even now

that person i'm looking for
i'm sure that person
is looking at the same sky

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro