Abell Farra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

By: Xfnzhr

============


"ZAHA! BUKA PINTU!"

Aku berdecak, menghela napas keras sembari bangkit dari kasur dengan malas.

"ZAHAAAA!"

"Iya iya, berisik deh."

Kutarik kenop pintu kamarku, menatap sesosok gadis cantik berambut blonde dengan kedua bola matanya yang berwarna kelabu. Seulas senyuman lebar menghiasi wajahnya, membuat jantungku mendadak berdetak cepat dan dengan sekuat tenaga menahan ekspresi datarku di hadapannya.

"Nah, udah bangun, 'kan, sekarang?"

"Belom." Aku mendorong pintu kamarku kembali, hendak menutupnya dan kembali tidur. Namun Abell—gadis ini—menahan pintu kamarku. Ia mendorongnya hingga wajah cantiknya kembali terlihat di hadapanku.

"Anterin gue lagi, please."

"Ah ngapain, sih?"

Abell pun menyatukan kedua tangannya di depan wajah sembari memelas. "Ya ya? Nanti gue jajanin deh. Ya, please?"

Sekali lagi aku mendesah keras, mengacak-acak rambutku sendiri kemudian melebarkan pintu kamarku. "Masuk. Jangan sentuh apapun. Duduk aja di kasur." Titahku yang langsung ia turuti dengan anggukan semangat.

Setelahnya aku langsung membasuh diri di kamar mandi yang berada di luar kamar. Tak lupa membawa pakaian ganti serta handuk ke dalam kamar mandi.

Saat aku kembali, aku melihat Abell tengah berbaring di atas kasurku sembari memainkan ponselnya. Membuatku diam-diam tersenyum tipis sembari kembali menggantung pakaianku beserta handuk di balik pintu kamar.

Aku hanya memakai jeans dan kaus hitam serta kemeja putih sebagai luaran. Rambutku kubiarkan acak-acakan karena aku tahu Abell menyukainya.

"Ayo." Aku meraih kunci mobil, dompet beserta ponselku yang berada di atas nakas di samping kasur.

Abell pun menyamakan langkah besarku saat ia telah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Gadis itu memakai celana jeans selutut beserta kaus berwarna putih yang menampilkan bahunya. Tas yang ia pakai pun tergolong kecil—atau mungkin aku biasa menyebutnya tas selempang.

Dengan rambut blonde alami beserta poninya yang berada tepat di atas alis, membuat wajahnya semakin terlihat cantik di mataku. Ditambah kedua bola matanya yang berwarna kelabu dan keturunan bule, membuatnya terlihat sangat mencolok.

Dan itu jelas membuatku cemburu.

Saat berada di garasi mobil, Abell membukakan pintu garasi untukku. Melihatnya yang tengah susah payah mendorong pintu yang sudah kekurangan oli itu membuatku tertawa di dalam mobil. Ia sangat menggemaskan.

"CEPETAN, ZAHA!"

Aku mengangguk-angguk, segera memundurkan mobil menuju pekarangan. Abell pun berlari memutari mobil, menempati posisi di sampingku kemudian ia memasang seatbelt.

"Ayo, jalan."

Aku menoleh ke arahnya, membuat kami saling beradu tatap. "Emang mau kemana?"

"Perpustakaan!"

"Lagi?"

Dengan antusias Abell mengangguk. "Iyap."

Kali ini aku yang mengangguk, menginjak pedal gas kemudian melaju di antara jalanan yang cukup lengang. Bingung? Tenang saja. Ini bukan Jakarta. Melainkan daerah lainnya yang memang tidak banyak dihuni oleh manusia.

Kami pun tenggelam di dalam keheningan. Hanya hembusan angin alam yang masuk lewat jendela yang terdengar oleh kami. Abell memang menyukainya.

Walaupun ia seorang blasteran, ia lebih suka hidup tanpa segala fasilitas yang selalu ia dapatkan saat tinggal di rumahnya yang berada di kampung halaman sang ibu.

"Za," panggilnya yang hanya kubalas dengan gumaman. "Lo gak ada acara hari ini?"

"Enggak," jawabku sedikit ragu. "Hari ini tanggal 12, 'kan?"

Sekilas dapat kulihat Abell mengangguk. "Iya."

"Kenapa?"

"Gak, gak apa-apa."

Aku tak menjawab. Hanya terfokus pada jalanan di hadapan kami yang sudah tak jauh lagi dari tempat yang kami tuju.

Gadis di sampingku ini memang sangat menyukai buku. Ia bahkan rela menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk membaca buku di perpustakaan. Bahkan kemarin kami pulang dari perpustakaan sekitar lima menit sebelum perpustakaan tersebut ditutup.

Setelah sampai di dalam, sang penjaga perpustakan menyapa kami. Membuatku mengangguk ke arahnya yang langsung membuat pria paruh baya itu pergi dari tempatnya.

Aku menyusul Abell yang kini sudah entah dimana. Membuatku berputar-putar mencari gadis itu hingga mendapatinya di bagian rak yang berjudul "Fantasi", salah satu genre favoritnya.

Kemudian kami duduk bersebrangan. Sementara Abell membaca buku, aku hanya menumpu wajahku dengan telapak tangan sembari memperhatikan gadis itu lekat-lekat.

Entah apa yang membuat gadis ini terganggu, mendadak ia mendongak untuk menatapku. Membuatku mengangkat kedua alis bertanya-tanya yang dibalas dengan helaan napas dari mulutnya.

"Gak usah merhatiin gua segitunya deh, Za."

"Kenapa? Lo gak suka?" tanyaku yang berhasil membuatnya diam seribu bahasa. Aku tahu dengan sangat jelas bahwa ia diam-diam menyimpan perasaan padaku. "Bukannya lo malah nikmatin?"

"Apaan, sih, Za?" tanyanya balik seraya kembali mencoba membaca buku di hadapannya. Aku pun tertawa, kembali memperhatikan gadis berambut blonde ini lekat-lekat hingga membuatnya kembali menatapku.

Kedua mata kelabunya menatapku memelas, seakan memintaku untuk berhenti menatapnya. Namun aku salah pengertian. Justru ia menyingkirkan buku di hadapannya dan ikut menumpukan wajahnya dengan salah satu tangan.

Tatapannya begitu lurus ke arahku. Membuat jantungku berdetak semakin kencang dan kedua kakiku yang mulai bergetar gugup.

"Gue gak mau kalah."

Kemudian aku tersenyum. Dan tanpa ia sadari, dapat kulihat perlahan-lahan wajah Abell memerah. Nah, kan, ia salting.

"Gak mau kalah, kok, mukanya malah memerah gitu?" Mendadak Abell mengerucutkan bibirnya yang lagi-lagi mengundang tawaku. Tak tahan lagi, aku pun meraih kedua pipinya dan mencubitnya gemas. "Lucu banget, sih."

Bukannya mengelak, Abell malah menggeleng-gelengkan kepalanya dan membiarkanku mencubit pipinya gemas. "Gue tau, kok, gue lucu. Gak usah terpesona gitu dong."

"Bukannya lo yang terpesona sama gua?"

Lagi, wajah Abell semakin memerah. "Ah, kalah mulu gue."

Untuk terakhir kalinya aku tertawa, mendekatkan wajahku pada wajah Abell yang lantas membuat gadis itu menahan napas. "Lo gak kalah, kok."

Kedua alis Abell pun berkerut. "Maksudnya?"

"Tenang aja, Abe, lo udah menangin hati gue."

"Gak lucu, Za," ujar Abell dengan wajah yang sudah memerah padam kemudian menggigit pipi bagian dalamnya untuk menahan kedutan di kedua sudut bibirnya.

"Enggak, Abe, gua serius." Aku pun menatap kedua mata kelabu itu semakin lekat. "Gua udah terpesona sama lo jauh sebelum lo sadar."

Mendadak lampu perpustakaan menjadi padam. Kedua tangan Abell secara otomatis mencari tanganku untuk ia genggam—ia selalu melakukannya setiap kali kegelapan hadir.

"Gak usah takut," bisikku yang hanya dibalas oleh anggukan kepala Abell.

Perlahan-lahan dan satu persatu buku yang ada di dalam rak-rak besar pun menyala. Memancarkan sinar layaknya sebuah senter.

Dengan pasti, pandangan Abell pun perlahan beralih menuju buku-buku yang mulai memancarkan cahaya. Membuahkan seulas senyuman di wajahku yang tak lagi terbendung. Melihatnya terpesona dengan keajaiban buku-buku ini membuatku semakin terjatuh ke dalam cintanya.

Dapat kurasakan Abell menahan napas, sesekali ia melirik ke arahku yang kemudian tak kutanggapi. Aku malah memutar arah pandangku, menatap apa yang ia tatap dan tersenyum semakin lebar.

"Selamat ulang tahun, Abell Farra." Kami pun saling bertatapan. "Lo suka?"

Dengan antusias Abell mengangguk. "Gue suka banget, Za."

Buku-buku bercahaya itu menyampaikan pesan yang tentunya sudah gadis ini tunggu-tunggukan dariku. Membuat sebuah tulisan 'Selamat ulang tahun' yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Aku sangat menikmati pemandangan wajah Abell di hadapanku. Membuatku ingin sekali menciumnya namun sebuah rasa terlarang itu mengganjalku.

"Semoga panjang umur, Abe. Semoga kita bisa sama-sama terus. Walaupun kejutan ini gak seberapa, gua udah seneng banget pas tau lo suka," ujarku sembari menggenggam kedua tangannya. "Makasih udah ngebiarin gua jadi seseorang. Makasih udah ngebiarin gua ngisi hati lo walaupun kita sama-sama tau ini salah. Makasih udah bikin gua ngerasa penting, Abe."

Setelahnya aku mendengar Abell tertawa. "Kok jadi lo yang bilang makasih, Za?"

Aku pun mengedikkan bahuku. "Entah. Dan walaupun kita kakak-adek yang beda ibu, gua sayang sama lo, Abe. Gua gak mau pisah dari lo."

"Iya, Za. Gua juga gak mau pisah dari lo," balasnya kemudian tersenyum lebar. "Makasih juga udah mau ngisi hati gue, Za. Gua juga sayang sama lo."

=END=

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro