Kembang Api Forfa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

By: lita-aya

============


CAUTION! GORE DETECTED!

TELAH kukenakan segala pakaian khas dokter bedah saat beberapa orang anak buahku membawa 'pasien'ku memasuki ruang. Dia adalah seorang pria. Tampak berumur sekitar 40 tahunan. Pria ini terkapar tak sadarkan diri di atas ranjang operasi. Aku pun melirik seseorang yang ada di sudut ruang. Ia tengah terduduk diam di atas kursi malas, tampak tak mau enyah dari ruang operasi.

Aku memecah hening, "Kamu yakin, For?" tanyaku.
Gadisku menyeringai. "Ya, Sayang. Lakuin aja."

Aku mendesah resah. "Tapi dia ayahmu, Forfa."
Forfa bangkit. Di tangannya ia sudah membawa kembang api jumbo. Ia menyerahkan benda itu kepadaku. Aku menerimanya setengah hati.

Aku berkata, "Tapi aku nggak bisa—"

Forfa memotong,  "Aku tahu kamu bisa. Lagipula, ini kan untuk ulang tahunku, masak kamu nggak mau ngelakuin hal sekecil ini buat aku, sih?"
Aku bungkam. Rasa cinta butaku pada Forfa rupanya telah membuatku rela melanggar kode etik kedokteran yang selama ini kupegang teguh. Melihat keraguan yang tampak di wajahku, Forfa mendekat dan membelai pipiku sekilas.

"Aku yakin kamu bisa."
Forfa mengecup sudut bibirku sekilas sebelum akhirnya dia pergi tanpa kata. Rambut panjangnya itu melambai-lambai. Dan sebelum menghilang di belokan lorong, dia sempat menoleh lalu tersenyum manis padaku.

Sialan. Jika begini bagaimana bisa aku menolak keinginannya?

***

Kondisi perut pasienku sudah terbelah lebar. Keringatku menetes deras. Tetapi jelas, tak ada satu pun perawat yang mengelap keningku, karena aku melakukan operasi ini seorang diri. Jika pihak luar ada yang mengetahui rencana gila gadisku ini, pasti aku langsung dipecat dari rumah sakit.

Kuperhatikan lagi isi perut 'calon' mertuaku sekali lagi. Kemudian dengan tanganku yang berbalut sarung tangan plastik itu, kuraba isi perutnya. Tampak begitu sesak, tak ada celah bagiku untuk memasukkan kembang api itu ke dalam perut pasienku. Aku berdecak geram.

Tetapi persetanlah dengan hal itu. Yang harus kulakukan hanyalah sekedar memasukkan kembang api, menjahit lukanya kembali, dan selesai. Lalu akhirnya aku memutuskan untuk meraih kembang api yang sudah kuletakkan di atas meja operasi. Kemudian tanpa aba-aba, kumasukkan kembang api jumbo itu ke dalam perut pasienku yang sebelumnya sudah kusayat dengan pisau operasi.

Aku membenamkan kembang api ke dalam perutnya. Namun sial. Kembang api ini tidak muat. Aku pun mendorong kembang api ini agar masuk lebih dalam. Tampak usus dan lambungnya langsung tertekan ke bawah. Kulihat sekilas di elektrokardiograf, denyut jantung pasienku semakin lemah. Aku merinding.

Tak ingin ada pasien mati tak berdosa di tanganku, aku langsung menjahit perut pria ini kembali dengan terburu-buru. Alhasil, jahitanku ini sama sekali tidak rapi. Bolak balik tanganku menusuk arah yang salah di perutnya, namun siapa peduli. Aku hanya ingin hal gila ini selesai secepat mungkin.
Aku dibuat melipat dahi saat menyadari bahwa perut pasienku kini sedikit menggembung. Kulit perutnya mencetak jelas bentuk kembang api yang ada di dalam sana. Lagi, aku merinding.

Aku sempat limbung dan akhirnya jatuh di atas salah satu kursi. Pikiranku kosong menatap wajah pasienku yang kurasa sebentar lagi akan mati.

Forfa memang gila. Selama ini aku sudah mengencani gadis gila.

Tubuhku gemetar. Di saat itu pula, ponselku yang ada di meja bergetar. Begitu aku melihat nama yang tertera, aku langsung menerima panggilan itu.

"Sayang, kamu sudah selesai?" tanya Forfa dari seberang sana. Nada suaranya sangat kalem, seolah pria di ranjang operasiku ini tak pernah ada.

Setelah membasahi tenggorokanku dengan ludah, aku pun menjawab, "Ya."

Forfa memekik girang, "Bagus! Langsung bawa Papa ke rumahku, ya. Aku sudah ada di rooftop."

Aku terdiam. Tak sanggup menjawab apa-apa.
Tiba-tiba Forfa berseru kesenangan, "Asyik! Bentar lagi aku bakalan lihat kembang api!"

Sekujur tubuhku langsung gemetar hebat.

***

Sejatinya perut pasienku—yang saat ini ada di bangku belakang mobilku—tidak sepenuhnya kujahit. Aku hanya menjahit bagian atas dan bawah dari sayatan yang kubuat. Hal itu menyebabkan ujung kembang api menyembul bebas keluar. Aku melakukan ini sesuai dengan perintah Forfa sesaat sebelum operasi dimulai. Aku tak tahu tujuan Forfa meminta itu. Namun sepertinya Forfa menyuruhku begini agar dia dapat lebih mudah menyulut korek pada kembang api itu, kemudian saat kembang api yang ada di perut pasienku meledak, isi perut... ah, stop. Aku tidak kuat membayangkannya.

Setelah sampai di rumah Forfa, aku langsung memarkirkan mobil di garasi, seperti biasa. Dan aku pun langsung menggendong tubuh Papa Forfa dengan sedikit kewalahan untuk menuju ke rooftop. Aku kesusahan melakukan hal ini. Membawa tubuh pria dewasa yang sekarat menaiki tangga bukanlah perkara mudah.

Hingga akhirnya aku menyerah. Aku menyeret tubuh pasien sialanku ini di sepanjang jalan menuju rooftop rumah Forfa. Aku tak peduli lagi akan suara gemeretak tulangnya yang beradu dengan lantai. Lagipula, sebentar lagi dia juga akan mati di tangan Forfa.

Ketika aku sampai di rooftop, semilir angin malam langsung menyambutku. Membuat keringatku perlahan mengering. Di ujung sana aku melihat Forfa sedang menatapku. Dia tersenyum manis ke arahku. Aku pun membalasnya dengan senyuman kecil yang tampak kubuat-buat.
Kemudian kudapati di tepi rooftop ada sebuah tempat tidur kayu yang sepertinya memang sengaja diletakkan di sana. Aku memandang Forfa, menuntut penjelasan.

"Taruh Papa di sana," perintah Forfa.

Dengan setengah hati, aku melakukan apa yang dia suruh. Aku bernapas berat. "Sebetulnya kamu mau apa?" aku bertanya, bersandiwara bahwa aku sama sekali tak tahu apa tujuannya.

"Masak kamu nggak tau, sih?" Forfa mengerutkan kening. "Emang, ya, cowok itu nggak peka." Dia mengerucutkan bibir.
Aku mendesah, "Forfa, apa pun yang mau kamu lakuin ke Papamu, perasaanku bilang itu bukan hal baik."
Forfa menyahut cepat, "Apa yang Papa lakuin ke aku selama ini juga nggak baik. Aku hanya membalas dia dengan hal yang setimpal."
Aku mendecakkan lidah. "Ini jelas nggak setimpal, Forfa," aku masih berusaha menasihati, padahal aku sendiri sudah putus asa.

Forfa menatapku lamat-lamat. Matanya mendadak menyiratkan dendam yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Kamu... udah terlibat sejauh ini dan masih sempet ceramahin aku?"

Aku bungkam.

Tiba-tiba Forfa membalikkan badan dan merentangkan tangannya ke udara. ia berseru, "Daripada ngomel, mending nikmatin aja. Let's have fun for a night!" Intonasi suara Forfa sontak langsung berbubah drastis. Aku tidak paham dibuatnya.
Forfa mendekati Papanya, dia tampak menyentuh perut orang tuanya yang malang itu dengan jari telunjuk. Lantas tertawa sendiri.

"Sayang, sekarang jam berapa, ya?"

Aku melirik arlojiku. "Jam 23.57."

Forfa bersorak, "Aku bentar lagi 25 tahun! Could you believe that, Dear?" Forfa melirikku selagi mulutnya tersenyum lebar. Kaku, aku mengangguk.

Detik berlalu dengan sangat lambat. Aku hanya bisa berdiri dengan kaku dan menunggu hal gila apa yang akan terjadi setelah ini. Hingga beberapa detik lagi yang tersisa untuk menuju tengah malam, Forfa mengeluarkan korek api dari sakunya. Kini dia sudah menyulut api, lalu dia menoleh ke arahku.

"Tolong hitung mundur!" perintahnya.

Lalu seperti kacung yang menaati majikannya, aku langsung menatap arlojiku. Kemudian mulai menghitung, "Sembilan, delapan...."

Forfa mendekatkan ujung korek api yang sudah terbakar ke ujung kembang api yang tertanam di dalam perut Papanya yang separuh terjahit.

"Tujuh, enam...."
Ujung kembang api sudah terbakar.

"Lima, empat...."
Ujung kembang api hampir terbakar sepenuhnya.

"Tiga, dua, satu...."
Aku mendongak. Sekonyong-konyong suara letupan kembang api riuh meramaikan malam. Kembang api jumbo itu sukses meledak ke langit malam. Namun hal yang membuatku nyaris muntah adalah... isi perut Papa Forfa turut terhambur keluar dari tempatnya begitu kembang api meluncur ke atas.

Forfa yang ada di dekat situ langsung bersorak histeris seperti orang kehilangan akal. Ia melonjak-lonjak tak karuan. Forfa tak lagi memedulikan pakaiannya yang kini kotor tercimprati darah. Isi perut seperti lambung, usus, limpa, dan sebagainya mutlak teronggok dengan menjijikan di sekitar kakinya. Namun Forfa malah menari-nari di atasnya.

Perutku terasa muak. Suara ledakan kembang api yang belum usai kini membuatku pening. Aku terhuyung. Aku pun menyandarkan tubuh ke atas balkon yang ada di dekatku. Melihatku yang limbung, Forfa langsung mendekatiku. Dia menyentuh pipiku dengan tangannya yang ternodai darah.

"Kamu nggak pa-pa?" tanyanya.

Aku tak sanggup menjawab.
Kemudian Forfa memelukku sekilas. Tubuhku gemetar mengingat apa yang baru saja kulihat. Dan di saat itu pula, pelukan Forfa semakin erat. Aku pun jadi tidak mengerti. Setelah apa yang kulalui dengannya selama ini, aku baru tahu bahwa Forfa bukanlah wanita baik-baik seperti yang ada di pikiranku.

Dan bodohnya, aku malah terjebak dalam permainan busuknya ini.

Masih dengan memelukku, Forfa mendongak. Wajahnya yang memesona terpaut beberapa senti dariku. Aku menahan napas.

"Would you congrats me, please?" katanya.

Dengan bibirku yang nyaris kering, aku berkata dengan tergagap-gagap, "S-selamat ulang tahun A-abnormal Forfattare...."

=END=

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro