The Birtday

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

By: Hannifa_Raissa

============


Aby

TERKADANG, tiap hari tiap tahun, aku selalu terbangun. Dalam keadaan tubuh penuh luka. Dulunya sendirian.

Kali ini, Ada naruto di sisiku. Lalu baru sadar kalo hitana eh, hinata juga ada di sampingnya. Pandanganku cukup kabur tapi aku tahu dari struktur tubuh mereka. Pertanyaannya, apa yang mereka lakukan di sini? Apa akhirnya mereka menjawab doaku?

"Aduh, sayang! Lepas dong, wignya! Banyak semut nih!" Dan ketika pandanganku semakin jelas, ternyata orangtuaku sedang bercosplay sebagai pasangan anime : Naruto-Hinata buat reunian sekolah mereka, SMA ApAjaBoleh. Barusan teringat, besok adalah hari ultahku.

"Ini udah berapa kali, By (dibaca Bi ya, bukan Bai)?" Belum apa-apa ayah sudah mengatakan pertanyaan tidak sakral itu. Disebut tidak sakral karena aku sudah muak mendengarnya dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan kata yang pas dan cukup tersensor untuk pertanyaan itu.

"Sayang, apa perlu kita panggil psikolog? Aku selalu yakin itu karena stress? Apa lagi alasan sleepwalking selain stress?"

Sudah berapa kali ibu katakan itu? Ada salahnya juga aku memberitahu ortuku tentang aku selalu berada di ranjang rumah sakit karena sleepwalking.

Malam tadi memang malam yang super sial. Mungkin harus ditambah duper karena jika hanya super, mungkin aku masih bisa bangun di kamarku tanpa ketahuan ortuku.

"Baiklah, mungkin kita harus panggil psikolog aja deh, Say! Aku takutnya mental Aby kita beneran rusak gara-gara kita menamainya Abnormal."

Yee, harusnya kalian yang diperiksa bukannya gue.
Kalian tahu kenapa bisa-bisanya mereka menamaiku Abnormal? Karena (kalo kata mereka), ayah dan ibuku bertemu di rumah sakit jiwa. Sama-sama pasien, lalu mereka jatuh cinta. Setelah mereka berdua leluar dari rumah sakit (keluarnya bersamaan lagi), mereka memutuskan untuk menikah. Bukannya karena ibu hamil dulu baru mereka menikah, walau mereka gila tapi tidak segila anak-anak gaul jaman sekarang kalee....

Dan begitu aku lahir, entah mereka tidak pernah baca buku nama untuk bayi atau setidaknya menggunakan otak mereka untuk menggabungkan nama mereka atau sebagainya, mereka malah menamaiku Abnormal Indah. Dan mereka lebih memanggilku dengan Aby dibanding Indah.

Gilak kan mereka? Tentu saja. Seperti yang aku bilang sebelumnya, mereka bertemu di rumah sakit yang sama. Dewi fortuna mengatakan bahwa mereka juga alumni di sekolah yang sama yaitu, SMA ApAjaBoleh. Dan aku masih kelas 2 di sana.

Kembali ke topik awal cerita ini, bagaimana bisa aku ada di rumah sakit ini? Ini bukan rumah sakit jiwa betewe, ataupun rumah sakit bersalin (iya kale!). Hanya rumah sakit biasa aja.
Kita putar lagi waktunya ya! Seperti memundurkan waktu di video player. Kalian pasti suka melakukan itu ketika melihat adegan yang lucu kocak abis membuat kalian ingin melihatnya lagi dan lagi...sampe bosan.

Saat itu aku sedang berada di atas gedung berlantai dua. Aku hanya memakai pakaian serba hitam minus jubah. Aku juga memakai topi lebar serta topeng untuk menutupi identitasku. Targetku saat itu adalah sepasang pria di sebuah klub. aku sempat curiga kalau aku disuruh menghabisi nyawa sepasang gay, ternyata hanya seorang pembeli dan penjual. Ya, Inilah pekerjaanku tiap malam dan ortuku tidak pernah tahu.

Jika kau membunuh sesorang, kau tidak perlu masuk ke gedung jika kau bisa menghabisinya dari jauh. Dengan senjata Sniper! Cukup aktifkan sinar inframerah, atur arah dan kecepatan angin, serta detak jantungmu, dua target itu bisa dihabisi dalam waktu lima detik. Beruntungnya mereka duduk berhadapan. Bayaran seratus juta cukup adil untuk misi ini.

Tapi, aku ingin lihat dulu apa yang target-targetku lakukan sebelum menghabisinya. Awalnya aku sempat heran kenapa tidak ada bodyguard di sekeliling mereka berdua. Apa mereka bersembunyi? Di depan pintu club hanya ada dua orang dan antrian panjang.

Owh, seseorang berusaha menerobos masuk. Ah, nekat banget sih, pak! Ngapain nerobos pake tenaga kalo punya lembaran di dompet?

Ah, lupakan. Aku harus fokus. Vegeta menyuruhku menghabisi mereka saat tengah malam. Entah kenapa, aku tidak tahu dan tidak mau tahu juga.
Dua puluh detik lagi.

Dan tiba-tiba muncul seseorang diantara mereka. Terlihat familiar tapi aku baru sadar ternyata orang itu tadi yang berusaha menerobos pintu masuk! What?!

Dan saat itulah aku melihatnya. Entah bagaimana aku tahu, tapi orang itu terlihat familiar.
Kemudian atmosfer di sekitarku berubah drastis, aku langsung bangkit dan mendapati seseorang menodongkan senjata ke arahku. Sejak kapan dia disitu?

"Slime, kau sudah terkepung! Jatuhkan senjatamu!" Ternyata polisi! Bagaimana mereka tahu aku di sini? Padahal di bawahku kan lagi pada pesta semua. Musiknya bahkan masih kedengaran.

Tidak ada waktu! Kabuuurrr!!

Aku langsung melompat. Kalian pikir aku bunuh diri? Enak aja. Namaku abnormal. Artinya tidak biasa. Fisikku tidak seperti manusia pada umumnya. Lompat dari gedung ini ke gedung sebelah bukan masalah bagiku. Walau jaraknya 10 meter.

Saatnya pindah ke plan B, hancurkan jendela dan habisi target.

Loh, kok ku spoil pulak sih! Aaarhghhghhh!! Nggak asik lagi kan!!! F@$k you police!

***

Tare

Tiap hari tiap tahun, aku selalu terbangun pada jam yang sama. Memukul jam weker yang sama. Dan bangun di kamar yang sama. Hari-hari biasa siap kulewati. Ohya, aku baru ingat lusa ultahku. Hari ini aku masih sekolah. Sebagai Forfattare, siswa kelas dua di SMA DimanAjaBoleh.

Hei, kalian pikir kalo namaku mirip penulis Tere Liye aku harus menulis paragraf penuh analog, diksi, dan feel-feel apalah itu gitu? Sukak aku dong! Aku sedang tidak mood untuk bercerita karena....tidak banyak yang bisa aku ceritakan. Hidupku hanya dipenuhi hari-hari tenang dengan segala aktivitas yang tenang juga. Tak heran beberapa novel yang sedang kutulis tidak pernah kelar-kelar. Habis mau gimana lagi? Kalo kutulis asal-asalan malah membuat cerita ini tanpa makna. Dan hidup.

Beberapa yang sudah kelar dan diterbitkan terlihat begitu membosankan walau banyak yang menyukainya.
Ah, hidup ini membosankan. Dan sepertinya ultah lusa nanti akan menjadi sama saja dengan tahun2 sebelumnya. Harus traktir temen lah, dikagetin ama ortu pas tengah malam lah, dan segala bentuk perayaan ultah sudah seperti rutinitas tahunanku.

"Pagi, penulis!" Begitulah julukanku di sekolah selain penerus Tere Liye.

"Pagi." Aku jawab dengan (seperti biasa), ramah.

"Aku dengar kau sudah jadian ama adikku,"lanjutku. Pacaran jaman sekarang sudah tdk bisa ditolong lagi.

"Ahaha... Jangan bilang lo nagih PJ." Dia tersenyum masam.

"Ntar gue traktir lusa deh!"

"Aku doang?" Rasanya aku tahu prmbicaraan ini mulai mengarah ke mana.

"Ntah." Aku mengangkat bahu. Bukan karena tdk tahu tapi karena malas ngasih tahu. Aku tahu Selma sudah lama naksir padaku. Dan aku tahu ia jadian sama Dara, adikku yang masih kelas satu hanya ingin dekat-dekat dgnku. Yah, aku cowok dan mungkin tdk normal bagiku utk tdk menyukai gadis secantik Salma. Yah aku akan suka padanya, mungkin jatuh cinta jika dia seagama denganku.

Gilak, gara2 terlalu banyak baca cerita romantis pikiranku penuh dgn prediksi-prediksi gaje.

"KAK TAREEEEEE!!!" Dara berlari dengan kecepatan yang sunggu luar biasa utk anak-anak seumurannya sampai-sampai dianya sendiri tidak bisa mengontrolnya. Dan aku beruntung aku tidak jatuh setelah ditubruknya.

"Apaan?" jawabku cuek.

"Dora tidak ada di rumah kak!"

"Ko udah di rumah? Ini barusan jam pulang sekolah?" tanyaku.

"Tadi aku bolos jam terakhir." Alasan itu sudah biasa di telingaku. Aku beruntung aku bukan kakak kandungmu.

"Pintu dikunci?" Dara mengangguk.

"Pintu belakang?" Dara terdiam sejenak. Lalu menggeleng. Oh tidak!
Ini bukan pertama kalinya Dora menghilang. Usianya baru saja menginjak lima tahun tapi tenaganya tdk setara dgn usianya. Kabur lewat jendela, pintu belakang, bahkan jika pintu2 emang dikunci, memanjat lemari sekedar mengambil kunci bukanlah hal sulit baginya. Entah ibu ngidam apa saat masih hamil. Apa jangan-jangan saat dia hamil dia sering menonton kartun itu?
Ibu belum pulang jadi kami masih punya waktu untuk mencarinya.

"Kak, sori ya! Tolong cariin Dora kak! Kak Salma ngajak makan bareng!"

"Nggak bisa ditunda dulu kek?"

"Sori kak, ntar kak Salma ngancem putus." Aku hanya bisa geleng-geleng kelapa eh kepala. Entah apa yang Dara inginkan dari Salma sampe nurut gitu. Aku tahu aku bukan kakak kandungnya tapi menemukan Dora lebih penting daripada menggebuki Dara.

Ibu selalu pulang pukul sembilan malam. Ayah? Jarang pulang. Entah dia ngapain aja di luar sana. Ke klub ama selingkuhan? Atau memburu buronan? Aku lebih berharap yang kedua.

Tidak ada tetangga yang melihatnya, tentu saja karena masih siang bolong jadi perumahan kami sepi kayak kuburan.

Tapi aku yakin Dora tidakjauh. Dengan sinar matahari terik menyinari jalanan, Dora tidak akan tahan panas ini, jadi dia pasti cari tempat yang dingin. Heran, padahal suhu di kamarnya udh 16 derajat, masih panas?

Hanya ada dua warnet dan lima supermarket ber-AC tersebar di seluruh komplek. Tdk ada satupun tanda-tanda Dora pernah mengunjungi salah satunya. Aku mulai frustasi. Mana hari udah sore lagi.

Aku bisa dibunuh ibu. Hei, kenapa aku doang yg kepikiran bakal dibunuh, Dara pasti juga dong! Dia sibuk kencan sementara aku harus mengorbankan bensin motorku sampai keliling komplek.

Tidak ada jalan lain, aku berangkat ke kantor polisi. Begitu sampai aku baru ingat kalo melaporkan orang ilang harus 24 jam kemudian. Hei, tapi ini anak ilang! Anak lima tahun lagi.

"Permisi pak! Apa di kantor ini ada kedatangan anak laki2 usia lima tahun?"

"................................"

Ternyata Dora pernah di sini. Tiga bulan yang lalu. F@k yu police! Kenapa polisi negara ini tdk ada yg bener ?! Mau benernya pas artis molek yg minta tolong! Atau mungkin pas pembunuh terkenal seperti Slime membunuh salah satu (atau mungkin seluruh) keluarga mereka.
Dengan frustasi aku kembali ke rumah. Di lampu merah aku melihat sosok anak kecil berlarian dari jauh. Dora! Tanpa peduli lampu lalu lintas, aku langsung ngebut. Toh, jalan raya sepi juga. Masa bodo.

"Dora!" Saat aku memanggilnya aku baru nyadar ada banyak orang di sekelilingnya. Tanpa melawan Dora masuk ke dalam mobil besar.

Penculikan? Tapi kenapa mobil itu ada logo?
Baru saja aku hendak tancap gas, kepalaku kembali pusing. Astaga, aku lupa minum obat. Kapan terakhir kali aku minum?

Ah pusingnya nggak pusing-pusing amat lah!" Aku mencoba positive thinking. Aku kembali melaju motorku. Mobil itu mungkin sudah jauh tapi aku pernah melihat logo itu.

Dan disinilah aku, klub Senang. Klub yg masih tergolong baru setahuku. Aku hanya melihat barisan super panjang di depan pintu masuk, beberapa motor dan dua penjaga pintu, tapi tidak satupun mobil apalagi mobil besar berlogo itu.

Begitu aku mengenali salah satu dari penculik Dora masuk ke dalam klub, aku langsung menghampirinya, hendak menghajarnya. Tapi begitu dia masuk melalui pintu justru aku malah dihadang dan ditendang.

Aku yakin sebagian orang yg mengantri menertawakanku. Hahaha.... Lucu. Hei aku baru ingat. Kenapa aku harus masuk lewat pintu depan kalo aku bisa lewat pintu belakang? Haha...

Begitu melihat satu-satunya anak kecil di klub itu, aku ingin langsung menggendongnya dan membawanya pergi. Tapi melihat Dora dibawa masuk ke ruangan aku (tanpa pikir panjang) langsung menobrak masuk.

"A...ayah?"

***

Aby

Walau aku bisa melompat sejauh 10 meter, bukan berarti aku bisa melompat selama yang kumau. Staminaku ada batasnya. Tapi mengingat aku lupa makan banyak, tak heran tiga lompatan aja udh capek.
"Hei, tunggu dulu! Kenapa aku kabur? Dia beneran polisi kan?" Aku berkata pada diriku sendiri. Aku bahkan baru sadar kalo dia memanggilku Slime. Entah apa itu. Aku mengecek situasi. Tidak ada yang mengejarku. Dan kedua target tepat dibawahku.

Tunggu dulu, dua? Masa iya. Aku kembali mengecek hape khususku. Bukan Iphone atau Android, cuman Nokia. Walau jadul tapi setidaknya Nokia lebi kuat daripada kedua smarphone itu.

'Lumpuhkan pria berpakaian hitam yang membawa kacamata hitam'

Masalahnya kedua pria yang kulihat tadi pake kacamata juga pakaian hitam. Anjir kek mana nih? Dan melumpuhkan? Kupikir membunuh. Kalo gitu ngapain aku bawa Sniper?!

"IIIHHHH KEZEELLLL!!!!" Aku menghentakkan kaki dan lantai di bawahku hancur berlubang.

***

Tare

"A...ayah?"

"Bang Pareee!!!" Dora langsung memeluk kakiku. Yah, aku sempet kesal saat dia beraninya memanggilku Pare (lagi)! Tapi melihat wajah imut ini, bagaimana bisa aku marah?

Kembali aku menatap pria di depanku. Mereka ada dua. Pakaian mereka sama, model rambut sama,  bahkan sama2 memakai kacamata hitam. Jika mereka dilihat dari jauh, pasti susah membedakannya. Aku sendiri sempat bingung melihat pria kembar di depanku. Berkat perbedaan struktur wajah aku bisa membedakan yang mana ayahku.

"Itu anakmu?" tanya pria di sebelah ayahku. Ayah terdiam.

"Ya."

"Begitu. Pak Andy, jika Anda ingin transaksi ini berjalan lancar, Anda tahu harus apa?"

Ayah mengangguk. Ia berjalan sembari memasukkan tangannya ke dalam jas. Mengambil sesuatu. Pikiranku langsung memprediksi lagi. Mungkin kalian lebih menyebutnya paranoid.

"Kalian berdua tahu kenapa ada di sini?" Suara bariton ayah malah membuat jantungku semakin menjerit-jerit. Apa aku harus menendangnya agar kita bisa keluar dari sini? Aku bahkan tidak bisa membuka tutup botol saus tomat yang baru! Bagaimana aku bisa mengalahkannya?

"Yey! Dapat permen!" Mataku terbuka dan di tangan kami ada bungkusan kecil berwarna putih. Dora bilang ini permen.

"Permen?" Tanyaku. Kupikir Ayah akan mengeluarakan pistol.

"Makan." Dora langsung memakannya tapi tidak denganku. Kenapa aku meras curiga?

BRak!!

Sesuatu telah jatuh di belakangku. Aku mungkin terkejut tapi tidak seperti Dora yang sampe-sampe bilang,
"Ahhhh, tadi itu Swiper kan kak? Dia pengen mencuri permen Dora kak! Ayo, kak! Ucapkan sama2!! Swiper jangan mencu-" kututup mulutnya sebelum ia bicara lebih banyak.

"Aku baru ingat misiku sebenarnya." Suaranya perempuan.

Sosok itu semakin jelas seiring menghilangnya asap dan debu akibat bolongnya atap di atas kami. Apa jangan-jangan ia menghentakkan kakinya lalu lantainya bolong? Bisa jadi. Kenapa debunya banyak sekali sedangkan lubangnya kecil? Oke, aku mulai melantur.

Pertanyaan yang sebenarnya, kenapa dia di sini? Siapa dia? Topeng Phantom yang dia pakai cukup membuatku penasaran.

"Jadi kamu datang, Slime." Aku menoleh ketika mendengar suara ganjil di belakang. Pria di belakang ayahku menodongkan pistolnya.

Aku langsung memeluk Dora dan menunduk. Kemudian aku merasa tubuhku didorong dan suara tembakan menggema di telingaku.

***

Aby

"Itu siapa ya, namanya, anak kelas yang suka kamu usilin itu, Say?" Ibu bertanya.

"Oh, namanya Vegeta, Say! Orangnya nggak suka sayur tapi dia, kan, Vegeta-rian!"

Ba dam tuss.....

Krik.... Krik... Krik...

Pa, plis deh! Orangnya di depan kita padahal.

"Baiklah, Pak VaLak dan Ibu KaLav. Silahkan Anda keluar dulu, ya! Anak Anda ingin sembuh, kan?" Walau suara Pak Vegeta begitu lembut, aku yakin ia kesel sama orangtuaku. Maklumlah, Pak! Namanya mantan orang gila.
(Aduh... Mantan. Aye aja belom pacaran..... #mendadakbaper)

Oh iya, mana pria tadi, ya? Aku tidak melihatnya lagi sejak malam itu. Dia tidak sadarkan diri jadi dialah yang pertama kali ditolong paramedis. Pria yang memegang pistol itu tertangkap karena berniat menjual narkoba dalam bentuk permen. Andy, anggota kepolisian undercover yang hendak membeli produk itu ternyata harus memberikannya ke anaknya. Entah kenapa.

"Jadi, Abnormal. Bagaimana misimu?" tanya Pak Vegeta. Aku menghela napas.

"Plis deh, Pak! Saya minta maaf atas ejekan bapak saya barusan. Saya mengerti bapak tersinggung, tapi saya sebenarnya juga tersinggung karena dipanggil nama lengkap," jawabku.

"Padahal bapak akui, nama yang orangtuamu berikan cukup bagus. Masih mending saya Vegeta karena ortu saya sama-sama nge fans Dragon Ball."

"Kenapa namanya nggak Goku aja? Kan dia tokoh utama?"

"Kalo kamu, kenapa nama kamu nggak Hinata saja? Atau nggak Sakura? Ortumu masih nge fans Naruto, kan?" Aku yakin Pak Vegeta bertemu ayahku di reunian kemarin.

"Ortumu mungkin pernah gila, Ab! Tapi aku yakin mereka tidak sembarangan ngasih nama. Kamu tahu, kan, bahwa nama pemberian ortu adalah doa? Mungkin ortumu ingin anaknya tumbuh menjadi orang yang berbeda. Orang yang mempunyai bakat yang tidak biasa. Bakat istimewa dimana orang lain jarang melihat atau mengakuinya."

"Ya, dan istilah kerennya tuh,  gilak, aneh, freak, dan sebagainya."

"Haha... Bukankah enak menjadi aneh? Aneh tapi luar biasa?"

Aku memaksakan diriku untuk tertawa.

"Jadi, saya ulangi pertanyaan saya. Bagaimana misimu?"

"Alhamdulillah, sukses Pak!" Pak Vegeta sebenarnya bekerja di kepolisian.  Beliaulah yang memberiku tugas dan aku bebas menerimanya atau tidak. Bersama istrinya mereka juga membuka praktek konsultasi psikologi di rumah kecil tak jauh dari rumahnya.

"Apa menghancurkan atap merupakan kesuksesan?"
"Hei, kan, nggak hancur semuanya sih! Cuman lubang doang!"

"Kalo hujan gimana? Banjir dong!"

"Kan masih bisa ditutup sih, Pak! Lagipula barang buktinya nggak rusak, kan?"

"Haha, kamu memang tidak biasa, Nak! Fisikmu mungkin tidak biasa tapi otakmu amburadul. Gimana mau ngelajutin? Kamu bahkan sempat membawa Sniper. Kau pikir melumpuhkan sama dengan membunuh?" Aku hanya cemberut. Sungguh sia-sia aku membawa senjata itu. Lalu aku ingat sesuatu.

"Oh, ya, Pak! Slime itu apa sih?"

Belum Pak Vegeta menjawab, pintu ruangan kami didobrak. Pelakunya? Tentu saja ibu. Aku tdk tahu mengapa ortuku masuk RSJ. Tapi yang jelas bukan karena membunuh orang pake tendangan kan?

"Vegetarian! Dah selesai belom? Gue mau boker nih!"

"Sayang, sabar sedikit dong! Kamu mengganggu sesinya," ucap ayahku yang hanya bisa nongol di balik tembok. Haha, bahkan suami bisa takut ama istri.

"Ih, tapi gue takut, Say! Kalo Aby diapain gimana???!!!!" Ibuku masih aja teriak.

"Justru itu kita menamainya Abnormal. Dia pasti bisa mengatasinya jika ada yang macam-macam dengannya. Ayo, di sini ada toilet kan, Veg?"

"Ya, Pak! Itu ada di ujung sana." Ayah langsung menuntun ibu keluar dari ruangan.

"Apa kita perlu mengembalikan ibumu ke RSJ?" tanya Pak Vegeta sambil menutup pintu. Untung aja pintunya tidak hancur.

"Ibu tidak biasa begini kok! Ayah bahkan lebih parah kalo abis pulang kerja,"

"Bisa jadi. Jadi, Aby, identitasmu sudah ketahuan. Karena itu kamu gagal. Kamu sudah tidak bisa bekerja di kepolisian lagi,"

"Lah? Karena saya buka topeng gara-gara bersin?" tanyaku tidak terima. Sesaat kakiku mendarat di lantai bawah atap, aku kembali mendengar nama Slime diikuti bunyi tembakan.

Aku menghindari peluru itu dengan mudah tapi gara-gara debu sialan menggelitik hidungnya, aku bersin. Sangat keras, sampai lendir--entah ini ingus apa bukan--keluar dan membasahi topengku bagian dalam. Aku tidak mungkin menghirup kembali lendir penuh bakteri itu jadi terpaksa aku melepaskan topengku. Hanya beberapa orang dewasa dan satu anak.kecil yang melihat wajahku dan itu disebut ketahuan? AYOLAH!

Jujur, aku sangat menyukai pekerjaan ini. Menangkap  penjahat, menjadi pahlawan di malam hari, serta banyak penggemar dan pembenci. Awalnya aku melakukannya demi kondisi ekonomi kami tapi lama-kelamaan jadi keaayika. Walau bagian yang membosankan hanyalah aku harus rela dirawat di rumah sakit karena sering terluka. Juga membohongi ortuku.

"Kamu nggak sadar, ya? Apa ortumu tidak memberi tahu apapun?" Dahiku berkerut. Aku punya kembaran?

"Ayah! Ibu!" Aku masuk ke dalam rumah karena aku tdk menemukan mereka di kantor Pak Vegeta. Pasti mereka sudah pulang. Hapeku tdk kubawa karena begitu keluar dari rumah sakit aku langsung dibawa ke psikolog.

Pasti mereka nggak tahu kalo aku bawa hape. Baik ayah maupun ibu, selalu meng-smsku jika mereka ingin pergi meninggalkanku. Agak sedih, sih! Tapi setidaknya mereka masih ingat aku ada.

Satu jam aku menunggu mereka sambil mengecas IPhone-ku. Tunggu dulu, Pak Vegeta bilang aku memang punya kembaran. Jika orang itu adalah kembaranku, ngapain aku di sini? Astajiim....

Aku kembali berlari ke rumah sakit. 


***


Kali ini, Author lah yang bercerita.

"Gimana kabarnya, Dokter?" Tare bisa mendengar ibunya bertanya sebelum pintunya tertutup. Di dalam lubuk hatinya, ia merasakan ada kecemasan dalam nada bicara wanita itu. Wanita yang sudah rela merawatnya selama enam belas tahun. Walau ia berpenyakitkan dan bukan anak kandung, keluarga itu masih mau merawatnya.

Tare menghela napas perlahan. Pikirannya mulai melayang sembari mengistirahatkan tubuhnya. Tubuhnya mungkin lemah tapi pikirannya bisa dibilang cukup kuat. Wajah yang ia lihat malam itu. Rasanya ia seperti melihat dirinya sendiri. Walau beda jenis kelamin, tapi ia merasakan banyak sekali kemiripan mereka. Terutama mata.

Pintu terbuka dan yang masuk bukanlah orangtuaku ataupun dokter. Mereka orang asing, tapi Tare merasakan ada sesuatu yang familiar. Jika Tare bukan anak kandung, apa merekalah orangtua kandungnya?

"Masih sakit, ya, Forfattare?" Seorang wanita angkat bicara, memotong aura hening di ruangan itu.

"Su-sudah baikan, Bu!" Tare bukannya gugup, dia... Oke, dia beneran gugup. Bagaimana tidak, bertemu dengan orangtua kandungnya setelah enam belas tahun? Tare bahkan sempat berasumsi kalau orangtua aslinya sudah meninggal setelah ia lahir. Tapi dalam otaknya kembali berputar ingatan tahun-tahun sebelumnya dimana ia mengetahui dirinya adalah anak angkat.

"Ibu, kalo aku anak angkat, kemana orangtuaku, Bu?" Tare kecil bertanya. Usianya masih sembilan tahun saat itu.

"Mereka sedang bekerja di tempat lain, Re! Suatu saat kamu akan bertemu mereka," jawab ibu tirinya. Saat itu Tare sudah tahu kalau dia anak penyakitan jadi ia sempat mengambil kesimpulan kalau ia akan bertemu dengan orangtuanya di surga. Tare pernah tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu tirinya dengan dokter yang merawatnya. Tare tidak akan selamat dari penyakitnya. Dan pengobatan yang ia lakukan hanyalah mengurangi efek yang lebih parah. Karena itulah Tare bertekad, ia akan berusaha menggapai mimpinya yaitu sebagai penulis profesional, sebelum akhirnya Tuhan memintanya untuk kembali.

Tetapi, lambat laun semangat itu semakin padam ketika penyakitnya makin parah. Tare selalu percaya jika seseorang bekerja keras sampai ia lupa akan penyakitnya sendiri, maka penyakit itu akan hilang dengan sendirinya. Memang keajaiban, tapi keajaiban itu tidak pernah datang ke Tare.

Keluarga tirinya Tare masuk, "Tare, perkenalkan Pak Valentine Laktesa dan Ibu Kanaya Lavira. Mereka orangtua kandungmu-"

Brak! Pintu kamar terbuka terlalu keras sampai pintunya menabrak dinding tanpa ampun. Seorang gadis tersengah-sengah memasuki ruangan. Peluh membasahi wajah serta pakaiannya. Seisi ruangan kembali hening.

"Abnormal, udah selesai bokernya?" tanya Kanaya. Ruangan masih hening.

"Ibu... Itu siapa?" Aby yang bertanya duluan. Sekaligus mengabaikan pertanyaan ibunya.

"Aby, kenalkan. Ini adik kembarmu, Forfattare." Jawaban ayahnya belum cukup membuat Aby berbicara. Begitu banyak pertanyaan dalam pikirannya tapi dia sendiri bingung bagaimana menanyakannya satu persatu.

"Baiklah, Valen, Kanaya, kami pergi dulu, ya!" Orangtua tiri Tare keluar ruangan. Sedari tadi Tare tidak melihat kehadiran Dora atau Dara. Yah, mungkin Dora masih teler juga Dara masih berkencan.

***

"Ibu."

"Apa?"

"Yakin nih, dia kembaran gue? Jelek amat! Kalo dia jelek gue juga jelek dong!" sewot Aby.

"Cih, gue jelek? Jelek2 gini banyak yang ngefans ya, ama gue!" balas Tare.

"Kalo gitu yang ngefans bodoh! Masih cakepan Robin Williams daripada elo, keles!"

"Oh, jadi kamu suka yang kakek- kakek, ya, Aby?" Kali ini Valentine ikut campur.

"Lah, bukannya Aby lebih suka yang brondong ya?" sela Kanaya.

"Oi, kok jadi gue yang dibully sih? Dimana-mana tuh, si adik yang mestinya gue bully!"

"Lah, lo bahkan belom kenal gue!"

"Ibu, Ayah! Kok bisa-bisanya kalian pisahin kami?" Pasangan itu terdiam.

"Kita tunggu Tare sembuh dulu, ya!" ujar Valentine.

"Tidak, Pak! Saya butuh penjelasan! Bisa-bisanya kalian datang semua datang seenaknya ke kamarku dan bilang kalo aku anak kandung kalian?! Apa buktinya??!" bentak Tare. Aby mengangguk.

"Karena itulah tunggu sampai kamu sembuh. Semua buktinya ada di rumah kami. Jika kamu masih tidak percaya," Valentine menghela napas, "kamu boleh kembali ke rumah lamamu."

"Aku tidak mau!"

"Oi, rewel banget sih! Lagian sembuhnya lama amat! Padahal cuman ditembak sekali aja."

"Tembak?" Aby sadar bahwa dia keceplosan. Sekarang rahasianya terbongkar sudah.

"Aduuuh, Aby! Jadi ini kenapa kalian udah saling kenal? Tare Sayang, gimana Aby menembakmu? Apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?" Kanaya kembali bicara, tak ada seorang pun yang menjawab saking gajenya.

"Ayolah, sekarang kalian adalah sodara. Jadi tdk usah pacaran aja ya!" Kanaya terus berbicara bahkan sampai mereka pulang dari rumah sakit, meninggalkan Tare dalam masa penyembuhan. Tare kini sendirian. Tapi kesendirian itu akhirnya hilang karena keluarga tirinya datang dan menginap di sana. Ketika ditanya, Tare menjelaskan bahwa ia masih belum percaya kalau merekalah keluarga asli Tare.

"Tare, saat kalian berdua lahir, ayah dan ibu kalian sedang susah. Mereka kesulitan mendapat pekerjaan karena riwayat sakit jiwa mereka cukup parah sehingga mereka dianggap tidak bisa bekerja dengan baik. Tapi ayah dan ibumu sudah sembuh, kok! Belum lagi hutang-hutang menumpuk dan bantuan dari teman-temannya tidak cukup untuk memenuhi asupan gizi kalian. 

Karena itulah ibumu menitipkan salah satu dari kalian di keluarga kami. Saat itu aku masih sedih karena keguguran. Karena ibumu itu teman baikku aku bersedia merawat salah satu dari kalian. Nah, kenapa kamu yang kami rawat? Saat itu suamiku ingin anak lelaki, ya, kamulah yang dipilih. Orangtuamu tdk keberatan juga. Walau kami masih sanggup merawat kakakmu sekalian, tapi mereka tdk mau merepotkan. Mereka berjanji akan mengambil kembali anaknya sampai mereka sudah berkecukupan. Masa kamu lupa mereka? Mereka kan selalu datang setiap minggu? Oh, ya saat itu kamu masih kecil banget ya! Yah, begitulah! Kenapa kamu bisa berada dI keluarga kami." Ibu--Tante Pasha--mengakhiri penjelasannya. Tare belum angkat bicara karena begitu banyak pertanyaan. Hingga muncul satu yang membuatnya penasaran daripada yang lain.

"Tante, kalo mereka sedang kesusahan, kenapa mereka tidak menitipkan kami berdua di panti asuhan aja daripada menitipkan salah satu ke kalian?"
  
Tante Pasha hanya mengangkat bahu. Tare hanya bisa menunggu sampai besok. Menunggu keluarganya membawakan bukti kekeluargaan mereka. Sementara Tare tertidur, Aby di rumahnya tidak bisa tidur. Karena ayah menuntut penjelasan. Ayah tidak akan percaya bahwa Aby membenarkan cerita ibu. Aby sudah tidak bisa berbohong lagi.

Saat itu Aby masih kelas satu smp. Keluarga mereka masih kesulitan walau tidak seburuk tahun lalu. Aby selalu kesepian di rumah karena orangtuanya pergi pagi pulang malam. Dirinya juga dididik keras untuk bangun pagi dan melakukan segala urusan rumah sendirian mengingat mereka tidak sanggup menyewa pembantu. Sampai akhirnya di televisi diberitakan seorang napi kabur dari tahanan dan Aby menemukannya sedang merampok rumahnya. Tidak susah bagi Aby karena dia terbekahi oleh nama Abnormal (Sebenarnya karena Aby mukul-mukul sambil teriak). Napi itu tertangkap dan Aby mendapat hadiah berupa uang. Disitulah Aby termotivasi menjadi seorang Bounty Hunter. Butuh tiga tahun sampai polisi mau menyewanya menemukan penjahat yang kabur. Baik itu pembunuh maupun koruptor.

"Jadi, begitulah. Soal kenapa Tare bisa ditembak, itu karena buronan sialan itu mau membunuh kami semua. Gue hanya bisa nyelamatin adek kecil ama polisi itu." Aby mengakhiri ceritanya. Dirinya benar-benar kelelahan walau sebenarnya Aby suka berkeliaran di malam hari.

"Sekarang ayah sudah punya pekerjaan tetap begitu juga dengan ibumu. Apa kamu mau berhenti menjadi ... Bounty Hunter?" Tanya Valentine.

"Sebenarnya Aby udah dikeluarin, Yah!"

"Bagus, bangunkan ibumu! Kita ke rumah sakit sekarang!"

"A-Apa?! Ini kan baru jam sebelas, Yah! Lagipula ibu sudah tidur!"

"Ayo, sudah siap kalian? Kuenya ada di kulkas, kan?" Panjang umur, baru saja dibicarain Kanaya sudah keluar dari kamar dengan berpakaian rapi. Aby tidak punya pilihan lain selain menuruti orangtuanya.

***

"Bagaimana kalian bisa masuk ke sini?" Bisik Pasha. Kanaya dan Valentine hanya tersenyum, kecuali Aby.

"Sudah jam dua belas, kan? Ayo, Aby, kamu masuk duluan kagetin dia!" Abu hanya menuruti ibunya. Menakuti bukanlah hal yang susah. Hanya dengan menendang pintu semua juga kaget.
BRAK!!!

Tare, yang sedang tertidur tentu saja kaget. Tapi kagetnya berganti menjadi haru ketika lampu dinyalakan sebuah kue dibawa masuk.

"Selamat ulang tahun, Abnormal Forfattare!!!" Semuanya berseru demikian dan Aby memeluk Tare dengan erat. Tak terbayangkan betapa senangnya dirinya. Sselama ini ia selalu ulang tahun sendirian karena orangtuanya sibuk bekerja. Hanya saat-saat tertentu mereka ingat ulang tahun anak mereka. Mengagetkan orang, menyanyikan lagi ulang tahun bersama-sama, juga merayakannya bersama saudara kembarnya, mungkin terdengar biasa tapi itulah yang Aby inginkan.

Lain hal pada Tare. Dikagetin saat tengah malam? Itu sudah biasa bagi Tare. Tapi rasanya begitu berbeda dari tahun-tahun aebelumnya. Ia bertemu dengan keluarga aslinya oleh kejadian yang sepertinya tidak akan bisa ia lupakan di klub itu. Itu sudah cukup luar biasa bagi Tare. Jika seandainya Tare akan mati esok hari, ia dengan senang hati menerima takdirnya.
Tapi bagaimana dengan keluarga aslinya? Apakah mereka rela melepaskan anggota keluarga yang baru saja mereka temui setelah bertahun-tahun berpisah?

=END=

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro